Jalan Karet Thailand dan RI Hadapi EUDR
Menghadapi EUDR, Thailand menerapkan sistem Traceable Rubber Trading yang terintegrasi dengan bursa komoditas karet.
Jika tidak ditunda, Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR akan diimplementasikan penuh pada Januari 2025. Terhitung sejak Mei 2024, berarti tinggal tujuh bulan lagi. Thailand sudah meluncurkan program Traceable Rubber Trading. Bagaimana dengan Indonesia?
Thailand merupakan negara produsen karet nomor satu dunia dan Indonesia nomor dua dunia. Pada 2023, produksi karet alam atau mentah Thailand sebesar 4,63 juta ton, sedangkan Indonesia 2,65 juta ton.
Produksi karet Thailand turun 1,65 persen dan Indonesia 2,22 persen dibandingkan 2022. Selain sejumlah faktor lain, penurunan produksi karet alam juga dipengaruhi kemarau panjang akibat El Nino pada 2023.
Di tengah berbagai persoalan karet di dalam negeri Thailand dan Indonesia, implementasi EUDR semakin membebani kedua negara tersebut. Thailand tidak ingin kehilangan Uni Eropa (UE) sebagai pasar ekspor karet kedua setelah China.
Total ekspor nonmigas Thailand ke UE pada 2022 senilai 22,63 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, 7,65 persen atau 1,73 miliar dollar AS merupakan nilai ekspor karet dan produk turunan. Nilai ekspor karet ke UE itu berkontribusi sekitar 2,2 persen terhadap total nilai ekspor barang nonmigas ke dunia.
Salah satu kebijakan yang digulirkan Thailand untuk menghadapi EUDR adalah program Traceable Rubber Trading.
Nilai ekspor karet Thailand tersebut juga tertinggi dibandingkan dengan komoditas lain yang terimbas EUDR. Kayu dan minyak sawit beserta produk turunan, misalnya, nilai ekspor komoditas-komoditas itu ke UE masing-masing 0,57 persen dan 0,1 persen dari total nilai ekspor nonmigas Thailand.
Tidak mengherankan jika Thailand berupaya mempertahankan UE sebagai pasar ekspor karet dan produk turunan. Salah satu kebijakan yang digulirkan untuk menghadapi EUDR adalah program Traceable Rubber Trading (TRT). Program perdagangan karet yang dapat dilacak atau ditelusuri asal-usulnya tersebut digagas Pemerintah Thailand dan Otoritas Karet Thailand (RAoT).
Pada 27 April 2024, Kementerian Pertanian dan Koperasi Thailand bersama dengan RAoT meluncurkan program TRT. Program itu melahirkan pula platform digital TRT yang terintegrasi dengan bursa lelang komoditas karet yang selama ini dikelola RAoT.
Ketua Dewan RAoT Nakorn Tangavirapat mengatakan, pengembangan sistem TRT menandai langkah signifikan Thailand mematuhi persyaratan EUDR. Hal itu juga menunjukkan kesiapan Thailand mengelola sistem informasi data ketelusuran karet.
Sistem TRT memastikan data asal-usul karet dari tiap-tiap anggota RAoT dan petani karet terkumpul secara sistematis dan terekam di setiap lot karet yang diperdagangkan di bursa komoditas. Sistem itu juga memanfaatkan teknologi blockchain atau rantai blok agar semakin andal, transparans, akurat, sehingga turut memperkuat proses audit.
”Penerapan sistem TRT ini juga menaikkan harga karet. Dalam perdagangan perdana karet terlacak tersebut, harga karet yang dilelang melonjak menjadi 94,01 baht per kilogram. Total nilai transaksinya menembus 41,2 juta baht,” kata Nakorn Tangavirapat (Malaysia Kini, 30/4/2024).
Penerapan sistem TRT ini juga menaikkan harga karet.
Thailand memulai program tersebut dengan memutakhirkan data sebaran tanaman dan petani karet. Hal itu dilanjutkan dengan proses registrasi data petani secara sistematis untuk mengidentifikasi dan membedakan perkebunan karet serta memastikan ketertelusuran produk karet dari kelompok tani karet.
Langkah itu merupakan lanjutan program pergantian atau replanting tanaman karet dan agenda reforma agraria di sektor pertanian dan perkebunan. Para petani yang bakal teregistrasi dalam sistem TRT secara bertahap itu sudah memiliki sertifikat tanah dan sertifikat pohon karet terlacak.
Untuk itu, Pemerintah Thailand dan RAoT berharap UE dapat melihat praktik langsung penerapan sistem TRT yang sudah mulai berjalan. Mereka juga berharap UE mengakomodasi sistem tersebut dalam sistem uji layak (due diligence) EUDR.
Baca juga: Beda Nasib Karet RI dan Thailand
Tertinggal jauh
Lalu, bagaimana dengan karet Indonesia? Indonesia masih tertinggal jauh dari Thailand. Bahkan, karet menjadi komoditas yang paling tertinggal dari komoditas Indonesia yang lain perihal memenuhi persyaratan EUDR.
Selama ini, perdagangan karet di Indonesia masih konvensional meski menerapkan sistem lelang secara spasial di sejumlah daerah. Rantai pasok karet dari hulu hingga hilir juga panjang sehingga bakal menyulitkan penelusuran atau pelacakan asal-usul karet.
Pemerintah juga beberapa kali menggaungkan Indonesia bisa memiliki bursa karet sendiri. Namun, bursa itu belum juga terealisasi. Di samping itu, Pemerintah Indonesia telah meluncurkan program Sustainable Natural Rubber Platform of Indonesia (SNARPI) pada 2021. Hingga kini, program tersebut masih bergulir lambat dan belum mencakup semua perkebunan karet.
Kini, Pemerintah Indonesia tengah membangun Dashboard Komoditas Nasional Indonesia yang berfokus pada sejumlah komoditas ekspor yang terdampak EUDR melalui Sistem Elektronik Terpadu Pendaftaran Usaha Budidaya (E-STDB). Selain karet, komoditas lainnya adalah minyak sawit, kakao, kopi, dan kayu beserta produk turunan masing-masing komoditas itu.
Baca juga: Percepat Pendataan Pekebun untuk Antisipasi Aturan Antideforestasi Uni Eropa
Di tengah pembangunan data digital peta sebaran dan ketelusuran komoditas itu, Pemerintah Indonesia bersama sejumlah negara lain melobi agar UE mengakomodasi komoditas yang telah memiliki sertifikat berkelanjutan bisa terakomodasi dalam sistem uji layak EUDR. Komoditas itu terutama adalah minyak sawit dengan ISPO dan RSPO serta kayu dengan sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK).
Terkait karet, Wakil Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Uhendi Haris mengatakan, baru segilintir perusahaan swasta besar yang memiliki sertifikat karet berkelanjutan, yakni Forest Stewardship Council (FSC). Namun, bagi perusahaan karet swasta kecil dan petani karet mandiri sama sekali belum memiliki sertifikat itu.
”Biaya untuk mendapatkan sertifikat itu cukup besar. Di saat seperti ini, kalau kami mengurus kepemilikan sertifikat itu, kami khawatir UE juga tidak mau mengakomodasi sertifikat itu,” katanya dalam diskusi terbatas dengan Kompas beberapa waktu lalu.
Baca juga: Karet Jangan sampai ”Rungkad”
Pada tahun ini, Pemeritah Indonesia telah memulai menerapkan E-STDB, termasuk untuk karet. Namun, program itu masih berjalan lambat.
Menurut Uhendi, baru 971 E-STDB pekebun karet yang sudah terbit. Padahal, dibutuhkan sedikitnya 491.106 E-STDB untuk memenuhi porsi ekspor karet dan produk turunannya ke UE.
UE merupakan pasar ekspor karet peringkat keempat bagi Indonesia setelah Jepang, Amerika Serikat, dan China pada 2023. Dari total ekspor 1,79 juta ton karet dan produk karet pada 2023, sebesar 11 persen atau 206.203 ton diekspor ke UE.
Kalaupun tetap ingin mempertahankan pasar karet di UE, Indonesia memang perlu mempercepat pelaksanaan E-STDB. Namun, jangan lupakan pula peremajaan tanaman dan jaminan harga karet di tingkat petani.
Direktur Eksekutif Gapkindo Erwin Tunas menuturkan, kalaupun Indonesia mengalihkan pasar karet ke negara selain di kawasan UE, bakal timbul persoalan juga. Negara pengimpor karet mentah atau setengah jadi dari Indonesia itu bisa jadi akan meminta persyaratan EUDR ke Indonesia karena mereka juga mengekspor produk turunan karet ke UE.
”Jadi, mau tidak mau, Indonesia tetap perlu memenuhi persyaratan EUDR itu,” tuturnya.
Kondisi tersebut akan semakin membebani industri hulu-hilir karet Indonesia yang tengah dihadapkan pada berbagai tantangan. Tantangan itu seperti serangan penyakit gugur daun dan jamur akar putih serta penurunan produktivitas karet akibat tanaman karet sudah berusia 20-30 tahun.
Ketua Umum Usaha Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) Nasional Roizin berpendapat, kalaupun tetap ingin mempertahankan pasar karet di UE, Indonesia memang perlu mempercepat pelaksanaan E-STDB. Namun, jangan lupakan pula peremajaan tanaman dan jaminan harga karet di tingkat petani.
”Tanpa sejumlah upaya itu dan karet masih saja dianaktirikan, Indonesia akan kalah bersaing dengan negara-negara produsen karet lain,” katanya.
Baca juga: Petani Karet Kesulitan Penuhi Syarat EUDR