Petani Karet Kesulitan Penuhi Syarat EUDR
Harga karet mentah lebih rendah dari harga beras. Panjangnya rantai pasok karet domestik menyulitkan penelusuran.
JAKARTA, KOMPAS — Petani karet dan pemilik usaha pengolahan dan pemasaran bokar kesulitan memenuhi persyaratan Undang-Undang Bebas Produk Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Hal itu terjadi di tengah masih susahnya petani karet memenuhi kebutuhan harian kendati harga karet mulai membaik.
Di sisi lain, industri hilir pengolahan karet juga kesulitan melacak asal bahan baku karet. Hal itu disebabkan panjangnya rantai pasok karet di dalam negeri.
Ketua Umum Usaha Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) Nasional Roizin, Jumat (10/5/2024), mengatakan, mayoritas petani karet di Indonesia adalah petani kecil dan tidak bermitra dengan perusahaan karet. Mereka menyadap getah karet untuk memenuhi kebutuhan harian.
”Untuk membeli beras yang harganya lebih mahal dari tahun lalu saja susah, apalagi diminta memenuhi persyaratan EUDR,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Padahal, data BPS dan Gapkindo menunjukkan jumlah petani karet di Tanah Air lebih dari 2,1 juta jiwa.
Baca juga: Karet Jangan sampai ”Rungkad”
Roizin menjelaskan, saat ini, harga karet mentah di tingkat petani Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram (kg). Harga tersebut sudah cukup membaik dibandingkan dengan beberapa tahun lalu yang berkisar Rp 3.000-4.000 per kg.
Namun, harga karet itu belum ideal karena masih di bawah harga beras yang saat ini Rp 13.000-14.000 per kg. Harga beras di tingkat eceran itu juga masih lebih tinggi daripada harga eceran tertinggi (HET) sementara beras medium yang ditetapkan pemerintah Rp 12.500-Rp 13.500 per kg sesuai zonasi.
Selain itu, lanjut Roizin, produksi karet rakyat juga terus turun dari rerata 100 kg per minggu per hektar menjadi 50 kg per minggu per hektar. Kondisi itu juga memengaruhi produksi bahan olahan karet rakyat (bokar) UPPB yang turun dari 20-50 ton per minggu menjadi 10-25 ton per minggu.
Banyak faktor penyebabnya, seperti banyak tanaman karet berusia tua 20-30 tahun karena tidak pernah diganti tanaman baru. Tanaman karet juga bertubi-tubi terserang penyakit, terutama gugur daun dan jamur akar putih.
”Persoalan karet di hulu tersebut sudah kian menumpuk dan belum ada upaya perbaikan yang signifikan. Penerapan EUDR akan semakin menambah beban petani. Mereka khawatir karet tidak laku di pasar UE (Uni Eropa),” katanya.
Untuk membeli beras yang harganya lebih mahal daripada tahun lalu saja susah, apalagi diminta memenuhi persyaratan EUDR.
Roizin berharap pemerintah, perusahaan karet besar, dan lembaga terkait membantu petani karet rakyat agar dapat memenuhi syarat EUDR. Selain itu, peremajaan tanaman karet perlu dilakukan menggunakan skema seperti peremajaan sawit rakyat agar produksi karet meningkat.
”Pemerintah daerah dan segelintir perusahaan karet swasta memang sudah mulai mendata dan menerapkan ketelusuran tanaman karet rakyat, tetapi jumlahnya masih sedikit dan belum masif,” kata Roizin.
UE akan mengimplementasikan secara penuh EUDR pada Januari 2025. Regulasi itu mewajibkan komoditas yang diekspor ke UE bersertifikat verifikasi atau uji tuntas (due diligence) berbasis geolokasi (titik koordinat atau polygon) berdasarkan citra satelit dan sistem pemosisi global (GPS) dari perkebunan yang disertai dengan penerapan metode ketelusuran.
Regulasi ini melarang sejumlah komoditas yang berasal dari lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020 masuk pasar UE. Selain karet, komoditas ini juga berlaku untuk kopi, minyak sawit, sapi, kedelai, kakao, kayu, arang, dan karet serta produk-produk turunan atau olahannya, seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat.
Hingga saat ini baru terdapat 971 E-STDB pekebun karet yang sudah terbit. Khusus sektor karet, dibutuhkan sedikitnya 491.106 E-STDB untuk memenuhi porsi ekspor karet dan produk turunannya ke UE.
Kesulitan industri
Wakil Direktur Eksekutif Gapkindo Uhendi Haris menuturkan, pelaku industri pengolahan karet yang sudah lebih dini bermitra dengan petani akan relatif lebih mudah mempersiapkan diri menghadapi implementasi EUDR. Namun, kebanyakan pabrik pengolahan karet tidak memiliki interaksi secara langsung dengan petani.
”Dari sisi rantai pasok, bahan baku karet alam dari petani akan melalui sedikitnya tiga pedagang perantara atau pengepul sebelum sampai ke pabrik pengolahan. Ini akan menyulitkan pengusaha karet di hilir untuk menelusuri asal-usul karet,” tuturnya.
Ia menjelaskan, pengepul di tingkat pertama saja telah mengakomodasi bahan baku yang dihasilkan dari puluhan petani. Sementara pengepul di tingkat kedua akan mengumpulkan bahan baku dari puluhan pengepul di tingkat pertama, yang berarti ia sudah mengoplos bahan baku dari ratusan petani.
Adapun untuk memenuhi kebutuhan pabrik akan bahan baku yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan ton per hari, pengepul di level terakhir akan mengoplos bahan baku yang berasal dari ribuan petani yang ia dapat dari pengepul tingkat kedua. Kondisi ini yang membuat kebanyakan pabrik pengolahan karet kesulitan untuk menelusuri dari mana sumber bahan baku yang mereka gunakan.
”Segregrasi di sini menjadi tantangan tersendiri. Lain halnya dengan pabrik-pabrik yang sudah punya kemitraan kuat dengan para petani. Mengidentifikasi sumber bahan baku akan relatif lebih mudah bagi mereka,” ujar Uhendi saat berdiskusi dengan Kompas, pekan lalu.
Baca juga: Percepat Pendataan Pekebun untuk Antisipasi Aturan Antideforestasi Uni Eropa
Masalah lainnya, lanjut Uhendi, adalah terkait legalitas sebagian besar lahan produksi karet Indonesia yang berstatus sebagai perkebunan rakyat. Persoalan ini berpotensi menghambat upaya pemerintah dalam realisasi percepatan pendataan pekebun melalui Sistem Terpadu Pendaftaran Usaha Budidaya Elektronik (E-STDB).
Berdasarkan data yang dihimpun Gapkindo, hingga saat ini baru terdapat 971 E-STDB pekebun karet yang sudah terbit. Khusus sektor karet, dibutuhkan sedikitnya 491.106 E-STDB untuk memenuhi porsi ekspor karet dan produk turunannya ke UE.
”Saya tidak bisa memperkirakan seberapa banyak petani yang sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM). Persoalan terkait legalitas lahan sumber bahan baku bisa juga menjadi benturan bagi pabrik pengolahan yang terlambat bermitra dengan petani,” kata Uhendi.
Di luar itu, lanjut Uhendi, lokasi perkebunan karet di Indonesia sangat terpencar dengan infrastruktur penunjang seperti jalan, listrik, hingga akses internet yang sangat minim. Medan tersebut juga menjadi tantangan tersendiri bagi pabrik pengolahan karet turun langsung menjemput bola untuk melacak dan mengidentifikasi sumber bahan baku.
Memenuhi regulasi EUDR penting bagi para pemangku kepentingan komoditas karet di Indonesia. Sebab, meskipun dari total 1,79 juta ton produk karet yang diekspor pada 2023 hanya 11 persen atau 206.203 ton yang diekspor ke UE, pasar ekspor lain seperti Jepang dan Korea, yang mengimpor karet alam dari Indonesia dalam bentuk mentah atau setengah jadi, tetap akan mengekspor produk jadi mereka ke UE.
Jika persoalan ini tidak segera menemukan jalan keluar, lanjut Uhendi, volume ekspor produk karet Indonesia yang tiap tahun telah menurun akan semakin terancam.
”Jika Indonesia tidak mampu memenuhi ekspor sesuai persyaratan EUDR, trader kemungkinan besar akan mencari pasar alternatif atau mengalihkan porsi ekspor yang tidak bisa dipenuhi Indonesia ke negara produsen karet lain yang memenuhi persyataran itu,” katanya.
Baca juga: Beda Nasib Karet RI dan Thailand
Dorong penundaan EUDR
Dalam pertemuan bilateral Indonesia-Jerman di Berlin, Jerman, pada 6 Mei 2024, Indonesia kembali menyuarakan keberatan terhadap penerapan EUDR. RI berharap Jerman bisa memahami keberatan itu dan turut mendukung RI.
Hal itu disampaikan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga kepada Kanselir dan juga Menteri Perekonomian dan Aksi Iklim Jerman Robert Habeck. Waktu itu, Jerry diminta mendampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Jerry mengatakan, dalam hal kebijakan lingkungan dan keberlanjutan, Indonesia mengedepankan keadilan. Implementasi EUDR akan merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan penting Indonesia, seperti kakao, kopi, karet, produk kayu, dan kelapa sawit.
Indonesia dan sejumlah negara lain mendorong agar kebijakan tersebut ditunda. Selain itu, Uni Eropa juga diharapkan bisa lebih fleksibel mengadopsi regulasi standardisasi komoditas negara lain dalam sistem ketelusuran dan keberlanjutan.
Langkah RI tersebut, lanjut Jerry, telah mendapat dukungan dari negara-negara yang berpikiran sama, salah satunya Amerika Serikat. Pada pertemuan dewan Agriculture Fisheries Council Configuration (AGRIFISH), sebanyak 20 negara dari 27 negara juga menyerukan penundaan EUDR, termasuk Jerman.