Menakar Untung-Rugi Pencabutan Status Internasional 18 Bandara
Pencabutan status internasional pada 18 bandara di Indonesia menuai pro dan kontra. Bagaimana idealnya keputusan itu?
Pencabutan status 18 bandara internasional menimbulkan polemik, baik dari sisi pariwisata maupun perhubungan. Dari sisi perhubungan, para tokoh terkait mendukung keputusan ini, tetapi pemerhati serta pelaku usaha pariwisata menentangnya. Butuh kerja sama semua pihak agar isu ini tak berlarut-larut.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah merampingkan bandara internasional, dari 35 menjadi 17 bandara. Hal ini demi mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid-19. Keputusan ini tertulis dalam Keputusan Menteri (KM) Nomor 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada 2 April 2024.
”Selama ini, sebagian besar bandara internasional hanya melayani penerbangan internasional ke beberapa negara tertentu, bukan merupakan penerbangan jarak jauh, sehingga hub internasional justru dinikmati negara lain,” kata Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati di Jakarta, Jumat (26/4/2024).
Terbitnya KM No 31/2024 diharapkan mendorong peran bandara internasional sebagai hub di negara Indonesia. Bandara lainnya mendukung sebagai penyangga.
Data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub menunjukkan hanya segelintir bandara internasional yang melayani penerbangan berjadwal ke luar negeri. Dari 35 bandara internasional yang dibuka pada 2015-2021, hanya lima bandara yang rutin melayani keberangkatan serta kedatangan luar negeri dari sejumlah negara. Mereka adalah Bandara Soekarno-Hatta (Banten), I Gusti Ngurah Rai (Bali), Juanda (Jawa Timur), Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), serta Kualanamu (Sumatera Utara).
Sementara itu, Adita melanjutkan, bandara internasional lainnya hanya melayani penerbangan jarak dekat dari dan ke satu hingga dua negara. Penerbangan hanya dilakukan beberapa kali, bahkan ada yang sama sekali tak memiliki pelayanan penerbangan internasional. Dua kriteria bandara terakhir ini mengakibatkan operasionalisasi menjadi tak efektif dan tak efisien dalam pemanfaatannya.
Senada, pihak PT Angkasa Pura Indonesia (InJourney Airports) juga menyambut positif pemangkasan status bandara internasional ini. KM No 31/2024 dinilai mampu membangun konektivitas udara yang lebih efektif guna mendorong pertumbuhan pariwisata dan ekonomi.
Direktur Utama InJourney Airports Faik Fahmi mengatakan, banyak bandara berstatus internasional tetapi hanya melayani penerbangan luar negeri 2-3 kali sepekan. Akhirnya, banyak fasilitas terminal internasional yang hanya dimanfaatkan terbatas, bahkan menganggur terlalu lama.
Dengan penataan ini, InJourney Airports akan menerapkan pola regionalisasi pada bandara internasional sebagai hub serta bandara domestik untuk penyangga (spoke). Nantinya, konektivitas antarbandara dapat meningkat.
”Pola seperti ini best practice di industri aviasi global dan sudah berlaku umum di banyak negara yang terbukti lebih efektif,” kata Faik.
Salah satu maskapai penerbangan, PT Garuda Indonesia, tak begitu terpengaruh atas keputusan Kemenhub ini. Sebab, penerbangan internasionalnya terpusat pada beberapa bandara di Indonesia.
”Buat Garuda Indonesia, saat ini tak terdampak. Kami hanya terbang dari Tangerang, Denpasar, dan Surabaya,” ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, Rabu (8/5/2024).
Konsep baru
Langkah ini diapresiasi Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) Alvin Lie. Menurut data yang dihimpunnya, hanya 15-17 bandara internasional yang aktif memiliki jadwal penerbangan ke dan dari luar negeri. Sisanya hanya menyandang status ”internasional”.
Mayoritas bandara hanya melayani penerbangan internasional ke Singapura dan Malaysia. Kondisi ini dinilai tak ideal bagi Indonesia, baik politik maupun ekonomi.
”Bandara-bandara kita hanya jadi pengumpan atau feeder untuk bandara-bandara di Singapura dan Malaysia. Hal ini diperkuat dengan data pihak imigrasi yang menunjukkan, dari total penumpang, 60-90 persen berpaspor Indonesia,” ujar Alvin.
Sayangnya, bandara-bandara itu lebih banyak mengakomodasi perjalanan warga negara Indonesia ke luar negeri daripada sebaliknya. Padahal, bandara internasional semestinya mampu mendatangkan warga negara asing.
Dua negara berpopulasi besar turut menyesuaikan jumlah bandara berstatus internasional. India dengan penduduk 1,42 miliar mempunyai 35 bandara internasional, sedangkan Amerika Serikat berpenduduk 399,9 juta mengelola 18 bandara internasional.
Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo berpendapat, selama ini bandara berstatus internasional didominasi permintaan Kementerian Pariwisata serta pemerintah daerah demi alasan prestise dan politis.
Berdasarkan data 2019, jumlah penumpang penerbangan internasional di Indonesia mencapai 37 juta orang. Namun, hanya sekitar 12 juta orang atau 32 persen diangkut maskapai nasional. Sisanya diangkut maskapai asing.
Pada 2023, jumlah penumpang internasional sebesar 29 juta orang. Maskapai nasional hanya mengangkut sekitar 8 juta orang atau 28 persen dari total.
”Jadi, yang menikmati itu sebenarnya maskapai asing. Devisa nasional juga pasti lebih banyak keluar daripada ke dalam (negeri),” kata Gatot.
Pengurangan bandara internasional diharapkan meningkatkan penerbangan dalam negeri. Adanya asas cabotage yang merujuk pada kedaulatan negara akan mengoptimalkan penerbangan domestik dilayani maskapai nasional.
Konsep hub and spoke dalam negeri, kemudian internasional juga bisa meningkat. Penumpang dari bandara internasional (hub) akan diterbangkan ke bandara sub-hub atau spoke oleh maskapai nasional, begitu pula sebaliknya. Proses perjalanan ini hanya dilayani maskapai nasional.
”Kalau pola hub and spoke ini terlaksana baik, tentu saja kunjungan wisatawan juga akan lebih merata. Tempat wisata yang berkembang tak hanya yang punya bandara internasional, tetapi juga di tempat lain yang bandaranya kecil dan hanya dilayani pesawat kecil,” tutur Gatot.
Pernyataan serupa diutarakan Irfan. Ia menilai, konsep hub and spoke lebih menguntungkan maskapai penerbangan karena berkaitan dengan efisiensi dan memastikan kapasitas penerbangan terpenuhi.
Upaya itu juga bisa meminimalisasi kursi kosong saat pergi dan pulang. Apabila kapasitas tak terpenuhi, banyak kursi kosong, kerugian tetap akan ditanggung maskapai.
Tak ada alternatif
Keputusan pencabutan status internasional bandara tak hanya menimbulkan gelombang pro, tetapi juga kontra. Setelah pencabutan status internasional ini, pemerintah daerah, pelaku usaha, pemerhati wisata, dan masyarakat menyayangkan keputusan itu.
Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, merupakan salah satu bandara yang dicabut status internasionalnya. Sebagian besar masyarakatnya kerap ke Kuching, Sarawak, Malaysia, untuk berobat. Terkadang, mereka juga memerlukan pelayanan kedaruratan sehingga memanfaatkan jalur darat dari Pontianak menuju Kuching. Berbeda dengan pesawat yang memakan waktu 30 menit, waktu tempuh jalur darat berkisar 6-8 jam.
Sejak pandemi Covid-19 pada 2020, Bandara Supadio tak melayani penerbangan internasional. Hingga pandemi berakhir, pelayanan itu juga tak kunjung berlaku (Kompas.id, 27/4/2024).
Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Soeharno mengemukakan, sebenarnya pihaknya tak mempermasalahkan pencabutan status internasional sejumlah bandara. Sebab, pelaku perjalanan internasional memiliki opsi bandara lainnya.
Misalnya, Bandara Husein Sastranegara di Bandung yang memiliki alternatif Bandara Kertajati, Majalengka. Hal serupa terjadi pada Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, yang dialihkan ke Bandara Internasional Yogyakarta.
Namun, pencabutan status internasional pada beberapa bandara lainnya menjadi masalah. Sebab, pelaku perjalanan internasional harus mengakses pesawat ke bandara yang jaraknya jauh. Persoalan lain adalah bahwa bandara itu menjadi simpul akses ke sejumlah lokasi wisata di daerah setempat dan sekitarnya.
”Tetapi, yang mengagetkan seperti Pontianak (Kalimantan Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan Belitung (Kepulauan Bangka Belitung) yang notabene memiliki potensi pariwisata dan ekonomi,” ujarnya.
Pauline melanjutkan, tiket pesawat domestik masih tergolong tinggi. Di samping itu, belum seluruh wilayah memiliki infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya yang memadai. Akibatnya, belum seluruh wilayah terjangkau.
”Bayangkan kalau dari Kuala Lumpur (Malaysia) mau ke Semarang, berarti harus via Yogyakarta atau Jakarta, artinya perlu memakan waktu beberapa jam untuk perjalanan darat dan kereta api. Transportasi kita belum sepenuhnya terintegrasi,” kata Pauline yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).
Selain itu, Pauline menambahkan, urusan kargo juga terpengaruh. Tak ada lagi ruang khusus, imigrasi, dan karantina (CIQ) untuk bandara yang status internasionalnya dicabut. Sebab, persyaratan kirim dan terima barang kargo harus melalui tahap bea cukai dan karantina.
Pergerakan wisatawan
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kunjungan wisatawan mancanegara pada 2023 sebanyak 7,97 juta kunjungan. Dari jumlah itu, Bandara I Gusti Ngurah Rai mendominasi dengan kedatangan hingga 65,8 persen, diikuti Soekarno-Hatta (24,5 persen). Tepat di bawahnya ada pula Juanda (2,7 persen), Kualanamu (2,5 persen), serta Bandara Internasional Yogyakarta (1,3 persen). Sisanya proporsinya di bawah 1 persen, bahkan empat bandara di antaranya tercatat proporsinya 0 persen.
Tren serupa tampak pada jumlah perjalanan wisatawan nusantara menurut pintu kedatangannya. Ada 5,78 juta perjalanan sepanjang 2023. Mayoritas kedatangan terpusat di Bandara Soekarno-Hatta (64 persen), lalu Juanda (11 persen) dan Kualanamu (11 persen). Posisinya diikuti I Gusti Ngurah Rai (3 persen), Sultan Hasanuddin (3 persen), Supadio (2 persen), Bandara Internasional Yogyakarta (1 persen), Minangkabau (1 persen), dan Iskandar Muda (1 persen).
Guna mencapai tujuan pemerataan konektivitas antardaerah, pemerintah perlu menerapkan konsep hub and spoke dengan tegas dan lebih baik. Semua pihak harus dirangkul agar semua segmentasi pasar bandara bisa terakomodasi.
Menurut Gatot, harga-harga yang memengaruhi biaya operasional pesawat, seperti avtur, harus disesuaikan. Pemerintah harus menyosialisasikan hal ini secara berkala kepada masyarakat, pemda, serta kementerian terkait.
”Untuk maskapai dan bandara, mereka akan menyesuaikan dengan aturan pemerintah. Kalau aturan ditegakkan, pasti mereka ikut juga,” katanya.
Pemda perlu menyesuaikan aturan penerbangan dan menyediakan pasar dengan menggenjot potensi di daerah masing-masing. Beberapa contohnya, peningkatan aktivitas ekonomi serta aktivitas pariwisata.
Polemik pencabutan status internasional pada 17 bandara diharapkan tak berkepanjangan. Perlu kerja sama semua pihak agar bisa melihat serta menyikapi isu ini dari berbagai sudut pandang. Jalan tengah terbaik bagi semua pihak bisa dicapai jika duduk bersama untuk mencapai kesepakatan bersama.