Industri Furnitur Optimistis Ekspor Tumbuh 10 Persen Tahun Ini
Terkait aturan EUDR, pelaku industri ini bisa menggali potensi pasar nontradisional di luar pasar Eropa.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menguatnya nilai tukar dollar Amerika Serikat membuat eksportir Industri furnitur, mebel, dan kerajinan Indonesia bersemangat. Mereka optimistis ekspor industri furnitur, mebel, dan kerajinan bisa bertumbuh setidaknya 10 persen dibandingkan kinerja ekspor 2023.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, Rabu (8/5/2024), mengatakan, saat ini eksportir sektor industri ini sedang bersemangat. Salah satunya karena memanfaatkan momentum menguatnya nilai tukar dollar AS. Apalagi industri furnitur, mebel, dan kerajinan Indonesia berbahan baku 80-90 persen dari dalam negeri.
Pada triwulan pertama tahun ini, pihaknya sudah banyak menggelar pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini mendatangkan banyak calon pembeli baru, khususnya pasar luar negeri.
Ia optimistis ekspor industri furnitur, mebel, dan kerajinan bisa bertumbuh setidaknya 10 persen dibandingkan kinerja ekspor 2023. Adapun nilai ekspor industri ini pada 2023 mencapai 1,8 miliar dollar AS, turun 28 persen dibandingkan dengan 2022 yang sebesar 1,8 miliar dollar AS.
Senada dengan Sobur, Pemilik CV Surya Java Furnindo (Soul Timber) Johan Lesmana mengatakan, posisi kurs dollar AS saat ini jadi peluang eksportir mebel untuk lebih ekspansif pada pasar ekspor.
Hanya saja, lanjut Johan, saat ini pihaknya juga dihadapkan pada tantangan distribusi barang ekspor. Adanya ketegangan geopolitik di Timur Tengah mengganggu distribusi barang ekspor untuk kawasan Eropa dan Asia Tengah.
Karena ada ketegangan di Timur Tengah, pengiriman barang jadi harus mengambil jalur memutar lebih jauh lewat Afrika dari sebelumnya melewati Terusan Suez. Hal ini membuat lama distribusi meningkat dari biasanya 20-35 hari kini menjadi 60 hari. Dampaknya, biaya pengiriman pun membengkak hingga 40 persen.
”Kondisi kurs saat ini memang menguntungkan eksportir berbahan baku lokal seperti industri kami. Tapi tantangannya yang kami hadapi juga masih cukup banyak,” ujar Johan.
CV yang berlokasi di Jepara ini berdiri sejak 2014. Mereka fokus ekspor produk furnitur dan aksesori rumah. Adapun negara tujuan ekspor mereka adalah Jerman, Italia, Spanyol, Malaysia, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab.
Namun, hal berbeda dipilih oleh CV Kirana Cipta Lestari yang fokus pada pasar dalam negeri. Salah satu pemilik dan Direktur Desain CV Kirana Cipta Lestari, Rico Kirana, mengatakan, sejak 2006 hingga saat ini pihaknya fokus pada pasar dalam negeri. Awalnya, perusahaan ini berdiri 1998 dan langsung fokus pada ekspor. Namun, setelah delapan tahun aktif sebagai eksportir, dia lebih memilih pasar dalam negeri.
Kondisi kurs saat ini memang menguntungkan eksportir berbahan baku lokal seperti industri kami.
Produsen dekorasi, suvenir, dan hiasan rumah ini memasok barangnya ke hotel, kafe, dan restoran di Tanah Air. Selain itu, mereka juga kerap memasok suvenir untuk acara-acara resmi kenegaraan, seperti saat G20 ataupun seremoni kementerian/lembaga maupun BUMN.
”Ekspor memang menjanjikan peluang, tetapi juga tantangan yang sama besarnya. Padahal di dalam negeri pun ada potensi pasar yang belum digarap matang. Maka, kami lebih memilih ke pasar dalam negeri,” ujar Rico
Salah satunya penerapan undang-undang antideforestasi Uni Eropa (EUDR). Padahal, Eropa adalah salah satu pasar tradisional dari industri furnitur, mebel, dan kerajinan dalam negeri. Ekspor ke Eropa mencakup sekitar 25 persen dari total ekspor industri ini.
Secara prinsip, regulasi ini melarang sejumlah komoditas yang berasal dari lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020 masuk pasar Uni Eropa.. Komoditas ini berlaku untuk kopi, minyak sawit, sapi, kedelai, kakao, kayu, arang, dan karet serta produk-produk turunan atau olahannya, seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat.
Menurut Sobur, terkait aturan EUDR, pelaku industri ini bisa menggali potensi pasar nontradisional di luar pasar Eropa yang juga punya peluang besar. Pelaku industri sektor ini bisa mencoba eksplorasi pasar nontradisional di luar Eropa seperti Korea Selatan, China, Jepang, dan Asia Tenggara. Di sisi lain, mereka juga tetap perlu meningkatkan kapasitas bisnisnya agar bisa memenuhi persyaratan EUDR agar bisa mengekspor ke Eropa.