Indonesia Masuk Negara yang Memiliki Pekerja Platform Daring Terbanyak
Penyebutan mitra perusahaan platform teknologi kerapkali menyesatkan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sesuai laporan Organisasi Buruh Internasional, Indonesia termasuk dalam daftar 15 negara yang memiliki jumlah pekerja platform daring terbanyak di dunia. Persentase porsi pekerja platform daring terhadap total pekerja di Indonesia sudah mencapai kurang lebih 1,5 persen.
Laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang bertajuk ”Realizing Decent Work in The Platform Economy” yang dirilis baru — baru ini menyoroti, kegiatan ekonomi yang dihasilkan dari platform teknologi merupakan salah satu manifestasi digitalisasi industri yang menimbulkan problem kerja layak yang serius. Misalnya, dugaan akses jaminan sosial yang rendah dan pengelolaan tenaga kerja manusia yang dominan berbasis algoritma.
Di tingkat internasional belum ada kesepakatan pada definisi pekerja platform teknologi. Tetapi laporan ini menyebut orang-orang yang bekerja untuk aplikasi on-demand services atau layanan berbasis permintaan daring sebagai pekerja platform.
Dalam laporan yang sama, ILO menyebutkan, terdapat 80 persen pekerja di platform daring utama di 15 negara di seluruh dunia. Kelima belas negara yang disebut ILO mempunyai porsi jumlah pekerja platform ekonomi terbanyak di dunia berturut-turut, yaitu India (26,9 persen), diikuti Bangladesh (14,62 persen), Pakistan (12,05 persen), Amerika Serikat (5,59 persen), Inggris (3,83 persen), Filipina (3,33 persen), lalu Ukraina (2,62 persen). Kemudian, Rusia (2,57 persen), Mesir (1,79 persen), Indonesia (1,52 persen), China (1,42 persen), Serbia (1,37 persen), Sri Langka (1,13 persen), Kanada (1,07 persen), dan Kenya (1,01 persen).
ILO, dalam laporan itu, mengakui bahwa perekonomian yang dihasilkan dari platform teknologi bersifat dinamis dan berkembang. Diperkirakan, cakupannya meliputi miliaran pengguna di sisi penawaran dan permintaan, jutaan pengembang aplikasi, ribuan perusahaan infrastruktur digital, dan ratusan perusahaan platform multisisi. Upaya untuk menghitung jumlah platform secara akurat masih menjadi sebuah tantangan.
Kendati demikian, lewat berbagai sumber penelitian, ILO memperkirakan, jumlah platform teknologi telah naik dari 193 pada 2010 menjadi 1.070 platform pada tahun 2023. Di antaranya ialah platform pengiriman (334 platform) dan platform transportasi (119 platform).
Untuk bekerja di platform teknologi, ILO mengakui hambatan masuknya rendah karena hanya bermodal ponsel pintar dan koneksi internet. Beberapa kelompok kelas sosial yang kesulitan mengakses pasar kerja menjadikan platform teknologi menjadi peluang kerja.
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia Lily Pujiati, Rabu (8/5/2024), di Jakarta, mengatakan, kendati hambatan masuk menjadi pekerja platform teknologi itu rendah, orang-orang yang bekerja di sana belum pernah diakui sebagai ”pekerja” oleh negara. Penyebutan mitra kerap kali menyesatkan. Pada saat Lebaran, misalnya, sejumlah platform teknologi on-demand services, seperti transportasi daring, mengeluarkan kebijakan insentif. Kebijakan ini malahan membuat pengemudi harus bekerja lebih keras memenuhi target pesanan dalam sehari.
”Banyak kawan pengemudi diputus status mitra, tetapi saldo mereka hangus. Ketika kami ikut aksi unjuk rasa buruh, kami mendapat notifikasi ancaman akan dibawa ke meja hijau oleh perusahaan platform,” ujarnya.
Menurut dia, perempuan -perempuan sudah banyak bergabung sebagai pengemudi platform teknologi. Di antaranya sudah berumah tangga. Akan tetapi, perlindungan terhadap mereka cenderung lemah.
”Pemerintah sempat menyebutkan akan dibuat regulasi khusus yang mengatur hubungan kemitraan. Yang kami mau ialah kami, pengemudi transportasi daring, diakui sebagai pekerja oleh negara,” tegas Lily.
Sementara itu, Research Officer Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada Arifatus Sholekhah berpendapat, orang - orang yang bekerja untuk platform teknologi kerap kali merasa lebih fleksibel alias tidak terikat jam kerja yang ketat. Akan tetapi, fleksibilitas ini yang kerap kali disalahgunakan oleh perusahaan platform untuk mengeksploitasi. Misalnya, akses terhadap kepesertaan jaminan sosial tidak diberikan oleh perusahaan platform.
”Dari sisi upah, data BPS pada Agustus 2021 saja menyebutkan bahwa pekerja di Indonesia yang menerima upah di bawah upah minimum mencapai lebih dari 50 persen. Kami menduga data ini belum mencakup orang-orang yang bekerja secara lepas (freelance),” ucap Arifatus.
Pekerja di Indonesia yang menerima upah di bawah upah minimum mencapai lebih dari 50 persen. Kami menduga data ini belum mencakup orang-orang yang bekerja secara lepas (freelance).
Peneliti The SMERU Research Institute Palmira Permata B, memandang, selama ini, orang-orang yang bekerja untuk platform teknologi kerap dianggap mitra atau tenaga kerja informal. Desakan supaya mereka diformalkan alias dijadikan pekerja formal, seperti pekerja perusahaan, akan menemui jalan panjang.
“Pengemudi ojek daring dan lainnya yang kerap disebut mitra itu tidak harus menunggu ‘diformalkan’. Terus dorong saja supaya kebijakan yang sudah ada, seperti kebijakan jaminan sosial, terimplementasi secara optimal,” katanya.
Pasal 32 Ayat (2) Permenaker Nomor 5 Tahun 2021 mewajibkan pekerja dengan status di luar hubungan kerja, seperti orang-orang yang bekerja sebagai mitra pengemudi transportasi daring, mengikuti program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM). Lalu, Pasal 34 Permenaker Nomor 5 Tahun 2021 menyebutkan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja dengan hubungan kemitraan harus dapat dipastikan oleh penyedia jasa layanan.
Sebelumnya, Menaker Ida Fauziyah mengatakan, pihaknya berencana mempersiapkan regulasi khusus yang mengatur hubungan kerja kemitraan. Isi regulasi khusus ini rencananya meliputi ketegasan pekerja dalam hubungan kemitraan menjadi peserta jaminan sosial, kesetaraan upah, serta kesehatan dan keselamatan kerja. Rencana ini dia sampaikan setelah rapat bersama dengan Komisi IX DPR, Selasa (26/3/2024), di Jakarta.