BI Rate Naik, Perusahaan Asuransi Fokuskan Investasi Jangka Panjang
Pendapatan premi industri asuransi per Maret 2024 mencapai Rp 87,53 triliun atau tumbuh 11,49 persen secara tahunan.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski kenaikan suku bunga acuan tidak berpengaruh langsung, perusahaan asuransi berupaya menjaga liabilitas. Hal ini dilakukan dengan berfokus menempatkan portofolio investasi jangka panjang.
Presiden Direktur PT Avrist Assurance Simon Imanto mengatakan, kenaikan suku bunga mengakibatkan pasar modal tertekan sehingga berdampak terhadap kinerja investasi. Namun, dampak tersebut tidak berpengaruh secara langsung bagi industri asuransi.
”Kami mengelola investasi aset kami, khususnya untuk menjaga liabilitas. Jadi, investasi-investasi (difokuskan) jangka panjang, khususnya obligasi. Meski mungkin terpengaruh harga karena suku bunga naik, kupon dan jangka panjangnya kami jaga,” katanya dalam acara Media Gathering di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Dalam mengelola investasi, Simon melanjutkan, perlu dilakukan secara prudent dan berorientasi jangka panjang. Pengelolaan ini tidak hanya untuk menjaga kewajiban jangka panjang pemegang polis, tetapi juga sebagai upaya untuk mengantisipasi berbagai potensi dampak dari perubahan ekonomi makro.
Menurut Simon, kondisi makroekonomi akan menentukan perusahaan dalam menyasar pangsa pasarnya. Sebab, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan sentimen perekonomian memengaruhi kemampuan atau daya beli masyarakat.
”GDP Indonesia masih cukup baik pada angka 5 persen selama 2023 didukung oleh aktivitas ekonomi, khususnya selama persiapan kampanye. Proses-proses itu membuat ekonomi bergeliat, khususnya pada kuartal I-2024. Ada pula faktor terkendalinya inflasi,” kata Simon.
Selama 2023, Avrist membukukan laba bersih secara konsolidasi, termasuk konvensional dan syariah, sebesar Rp 144,5 miliar atau tumbuh 18,3 persen secara tahunan. Torehan tersebut ditopang oleh upaya efisiensi operasional terkait produk asuransi jiwa dan kesehatan, asuransi pendidikan, serta asuransi pensiun.
Untuk menyiasati hal tersebut, perusahaan asuransi harus lebih aktif dan selektif dalam mengelola portofolio aset serta penempatan investasi.
Senada, Pelaksana Tugas Direktur Utama BNI Life Eben Eser Nainggolan menyampaikan, ketidakpastian kondisi ekonomi memang tidak langsung berdampak terhadap industri asuransi. Kenaikan suku bunga acuan menjadi 6,25 persen menyebabkan kondisi investasi bergerak fluktuatif sehingga berdampak terhadap proyeksi penempatan investasi.
”Untuk menyiasati hal tersebut perusahaan asuransi harus lebih aktif dan selektif dalam mengelola portofolio aset serta penempatan investasi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Eben optimistis kinerja asuransi jiwa ke depan akan membaik dan terus tumbuh mengingat peluang inklusi serta penetrasi asuransi terbuka lebar. Hal ini juga didukung oleh regulator dan pemerintah melalui Peta Jalan Perasuransian dan dibentuknya Lembaga Penjaminan Polis sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Sepanjang 2023, BNI Life mencatatkan pendapatan premi senilai Rp 5,4 triliun atau tumbuh 7,7 persen secara tahunan. Pada 2024, BNI Life menargetkan pendapatan premi sebesar Rp 6,4 triliun.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), akumulasi pendapatan premi industri asuransi per Maret 2024 mencapai Rp 87,53 triliun atau tumbuh 11,49 persen secara tahunan. Secara umum, rasio permodalan (risk based capital/RBC) industri asuransi jiwa sebesar 448,76 persen atau di atas ambang batas 120 persen.
Peneliti senior IFG Progress, Ibrahim Kholilul Rohman, berpendapat, dampak dari makroekonomi agak sulit diterjemahkan kepada industri asuransi ketimbang perbankan. Kendati demikian, ada dua sisi industri asuransi yang terdampak.
Pertama, kenaikan suku bunga akan meningkatkan risiko sehingga akan menciptakan kebutuhan terkait mitigasi risiko. Hal ini membuat kebutuhan terhadap premi atau asuransi akan meningkat.
Di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan akan meningkatkan biaya dana (cost of fund) dan biaya bunga, terlebih bagi perusahaan yang memiliki kewajiban utang. Dengan demikian, kebutuhan asuransi justru bukan menjadi prioritas utama.
"Dampak langsung terhadap industri asuransi umumnya terkait dengan imbal hasil obligasi. Sudah jadi hubungan berbanding terbalik ketika imbal hasil obligasi naik, maka valuasi obligasi akan turun. Sebab, perusahaan (bond insurance) akan membutuhkan imbal hasil lebih tinggi untuk menarik orang guna membeli obligasi," ujarnya.
Menurut Ibrahim, hal ini berpengaruh terhadap nilai aset atau investasi dari perusahaan asuransi karena valuasi asetnya turun. Lebih lanjut, penurunan valuasi aset tersebut secara otomatis akan mengurangi RBC.
Jika dilihat dari dampaknya, kenaikan suku bunga tersebut akan berpotensi lebih berdampak terhadap industri asuransi jiwa mengingat komposisi obligasinya cukup tinggi. Sementara itu, industri asuransi umum tidak terlalu terdampak karena porsi obligasi yang dimiliki cenderung dalam jangka pendek.