Prospek Harga Komoditas yang Bikin Untung dan Buntung RI
RI bisa mengambil keuntungan sekaligus mengantisipasi kebuntungan dari masih tingginya harga sejumlah komoditas dunia.
Di tengah ketidakpastian ekonomi dunia dan fenomena penguatan dollar AS, Bank Dunia mengeluarkan laporan tentang prospek harga komoditas dunia. Dari prospek harga itu, ada komoditas yang berpotensi membuat untung sekaligus buntung Indonesia.
Dalam Commodity Markets Outlook Edisi April 2024 yang dirilis pada 25 April 2024, Bank Dunia menyebutkan, kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Konflik geopolitik, terutama Iran-Israel dan Rusia-Ukraina, berpotensi memicu kenaikan harga komoditas dunia. Namun, kenaikannya tidak akan setinggi saat pandemi Covid-19 dan kala pertama kali perang Rusia-Ukraina meledak.
”Di tengah masih melemahnya pertumbuhan ekonomi global, harga komoditas pada 2024 dan 2025 kemungkinan besar akan tetap lebih tinggi dibandingkan setengah dekade sebelum pandemi Covid-19,” kata Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia Ayhan Kose melalui siaran pers.
Kendati harga komoditas tidak akan naik terlalu tinggi, dampaknya tetap berpotensi menahan laju penurunan inflasi global.
Secara umum, Bank Dunia memperkirakan indeks harga komoditas dunia pada 2024 dan 2025 masing-masing sebesar 105,3 dan 101,6. Indeks tersebut lebih rendah dari indeks pada 2022 dan 2023 yang masing-masing sebesar 142,5 dan 108. Namun, indeks pada 2024 dan 2025 tersebut masih lebih tinggi dari indeks pada 2021 yang sebesar 100,9.
Bank Dunia juga menyatakan, kendati harga komoditas tidak akan naik terlalu tinggi, dampaknya tetap berpotensi menahan laju penurunan inflasi global. Negara-negara yang bergantung pada komoditas impor juga bakal terbebani, apalagi di tengah tergerusnya nilai tukar mata uang lokal terhadap dollar AS.
Minyak mentah
Untuk minyak mentah, misalnya, harganya bakal bergantung pada skala konflik di Timur Tengah. Pada awal April 2024, harga minyak mentah Brent melonjak menjadi 91 dollar AS per barel.
Jika tidak ada gangguan pasokan akibat konflik, harga rerata minyak mentah tersebut diperkirakan 84 dollar AS per barel pada 2024 dan 79 dollar AS per barel pada 2025.
Baca juga: Inflasi Pangan dan Energi Bisa Kembali Jangkiti RI
Namun, jika konflik di Timur Tengah semakin meningkat dan mengganggu pasokan minyak, harga reratanya bisa menjadi 92 dollar AS per barel pada 2024. ”Dalam skenario terburuk, harga minyak mentah bisa mencapai 102 dollar AS per barel. Jika hal itu terjadi, inflasi global pada 2024 bisa meningkat sekitar 1 persen,” sebut Bank Dunia dalam laporan itu.
Indonesia sebagai negara importir minyak mentah bakal buntung apabila konflik di Timur Tengah semakin meruncing. Di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, RI bakal dihadapkan pada dilema menaikkan atau mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Dalam skenario terburuk, harga minyak mentah bisa mencapai 102 dollar AS per barel. Jika hal itu terjadi, inflasi global pada 2024 bisa meningkat sekitar 1 persen.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, jika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, konsekuensinya adalah inflasi tinggi dan menggerus daya beli masyarakat. Sebaliknya, apabila pemerintah mempertahankan harga BBM, anggaran subsidi energi bakal membengkak dan defisit fiskal semakin melebar.
”Apabila harga minyak mentah di kisaran 95-100 dollar AS per barel atau di atas asumsi makro APBN, setidaknya butuh Rp 50 triliun hingga Rp 100 triliun untuk tambahan subsidi BBM,” ujarnya.
Barang tambang
Bank Dunia juga memproyeksikan harga batubara pada 2024 dan 2025 masih di atas 100 dollar AS per ton kendati turun drastis dari 344,9 dollar AS per ton pada 2022. Harga batubara diperkirakan 125 dollar AS per ton pada 2024 dan 110 dollar AS per ton pada 2025.
Dengan harga tersebut, Indonesia yang merupakan eksportir batubara masih akan diuntungkan. Ini dengan catatan permintaan negara-negara importir batubara cukup kuat.
Harga batubara diperkirakan 125 dollar AS per ton pada 2024 dan 110 dollar AS per ton pada 2025.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume ekspor batubara Indonesia pada Januari-Maret 2024 sebesar 88,86 juta ton atau turun 29,61 secara tahunan. Penurunan permintaan dari China menjadi faktor utamanya.
Sementara untuk nikel dan bijih besi, Bank Dunia memperkirakan harganya akan turun cukup signifikan. Adapun harga tembaga akan turun kendati tidak terlalu dalam.
Harga nikel, misalnya, mencapai 25.834 dollar AS per ton pada 2022.
Pada 2024 dan 2025, harga komoditas yang menjadi andalan hilirisasi Indonesia itu diperkirakan turun, masing-masing menjadi 17.000 dollar AS per ton dan 18.000 dollar AS per ton.
Baca juga: Naik-Turun Harga Nikel dan Potensi Berkah Terselubung
Pangan dan perkebunan
Lalu bagaimana dengan harga komoditas pangan dan perkebunan? Selama ini, RI masih mengimpor sejumlah komoditas pangan, antara lain beras, kedelai, gula, dan gandum. Indonesia juga masih mengimpor bahan baku pupuk.
Bank Dunia memperkirakan, harga beras dunia (merujuk pada beras Thailand berkadar pecah maksimal 5 persen) pada 2024 akan naik menjadi 595 dollar AS per ton. Harga tersebut lebih tinggi dari harga pada 2021-2023 yang berkisar 437 dollar AS-554 dollar AS per ton.
Baca juga: Hati-hati, Indonesia Berpotensi Defisit Beras Lagi pada Juni 2024
Pada 2025, harganya diproyeksikan turun menjadi 550 dollar AS per ton. Kenaikan harga beras pada 2024 disebabkan penurunan produksi di sejumlah negara produsen beras, termasuk Indonesia, akibat El Nino.
Kenaikan harga beras dunia itu tidak menguntungkan Indonesia yang saat ini tengah membutukan impor beras untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP). Berdasarkan Proyeksi Neraca Pangan Nasional 2024 yang dimutakhirkan pada 23 April 2024, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebutkan, realisasi impor beras pada Januari-Maret 2024 sebanyak 1,41 juta ton dan rencana impor beras pada April-Desember 2024 ditargetkan 3,76 juta ton.
Bahan pokok
Pada 25 April 2024, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi menyatakan, biaya impor beras naik seiring dengan pelemahan rupiah terhadap dollar AS dan kenaikan harga beras dunia. Jika dollar AS naik 10 persen, maka total kebutuhan biaya impor naik 10 persen. Penghitungan itu berdasarkan selisih kurs rupiah dengan dollar AS berdasarkan asumsi nilai tukar rupiah pada APBN 2024 sebesar Rp 15.000 per dollar AS.
Untungnya, Bank Dunia memproyeksikan harga kedelai, gandum, dan gula turun dan tidak setinggi harga tertinggi pada 2021-2023. Harga kedelai diperkirakan 500 dollar AS per ton pada 2024 dan 475 dollar AS per ton pada 2025, lebih rendah dari harga tertinggi pada 2022 yang mencapai 675 dollar AS per ton.
Jika dollar AS naik 10 persen, maka total kebutuhan biaya impor naik 10 persen.
Harga gula pada 2024 dan 2025 diproyeksikan masing-masing 0,5 dollar AS per kilogram (kg) dan 0,46 dollar AS per kg atau tidak setinggi pada 2023 yang senilai 0,52 dollar AS per kg. Begitu juga dengan harga gandum yang pada 2024 dan 2025 diperkirakan masing-masing 290 dollar AS per ton dan 285 dollar AS per ton, lebih rendah dari tahun 2022 yang mencapai 430 dollar AS per ton.
Namun, harga sejumlah komoditas itu tetap lebih tinggi dibandingkan separuh dekade sebelum Covid-19. Hal itu tetap akan menjadi beban bagi Indonesia yang mengimpor komoditas-komoditas itu untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Kakao dan minyak sawit
Sementara itu, untuk komoditas pertanian dan perkebunan, seperti kakao dan minyak sawit, harganya diperkirakan masih cukup tinggi. Hal itu akan menguntungkan Indonesia yang merupakan eksportir kakao dan minyak sawit beserta produk turunan.
Bank Dunia memperkirakan harga kakao sebesar 5 dollar AS per kg pada 2024 dan 4 dollar AS per kg pada 2025. Harga komoditas tersebut naik cukup signifikan dibandingkan pada periode 2021-2023 yang berkisar 2,43 dollar AS-3,28 dollar AS per kg.
Baca juga: Kenaikan Harga Kakao Untungkan Investor Perdagangan Berjangka
Adapun harga minyak sawit diproyeksikan sebesar 905 dollar AS per ton pada 2024 dan 825 dollar AS per ton pada 2025. Harga tersebut masih berada di atas harga ambang batas pengenaan bea keluar dan pungutan ekspor, yakni 680 dollar AS per ton.
Indonesia bakal diuntungkan dengan masih tingginya harga kakao dan minyak sawit. Namun, lagi-lagi hal itu bergantung pada permintaan sejumlah negara tujuan ekspor kedua komoditas itu.
Harga minyak sawit diproyeksikan sebesar 905 dollar AS per ton pada 2024 dan 825 dollar AS per ton pada 2025
Untuk minyak sawit, misalnya, permintaan dari negara mitra dagang utama tengah melemah. Hal ini berpengaruh pada realisasi kewajiban memasok kebutuhan domestik (DMO) minyak goreng.
Berdasarkan data BPS, volume ekspor CPO dan produk turunan per Maret 2024 sebesar 1,79 juta ton atau naik dibandingkan Februari 2024 dan Maret 2023 yang masing-masing mencapai 1,42 juta ton dan 1,76 juta ton. Adapun ekspornya senilai 1,56 miliar dollar AS, naik 29,8 persen secara bulanan dan turun 6,18 persen secara tahunan.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Bambang Wisnubroto menuturkan, permintaan ekspor CPO masih cukup lemah meskipun mulai sedikit membaik. Permintaan ekspor itu diperkirakan akan mulai membaik pada Mei-Juni 2024.
Pelemahan permintaan itu berdampak pada penurunan realisasi DMO sejak Februari 2024. Sebab, kebijakan tersebut berkorelasi pada insentif ekspor dengan rasio 1:4. Artinya, eksportir CPO dan produk turunan akan mendapatkan insentif ekspor sebanyak empat kali setiap memenuhi satu kali DMO.
”Pada Februari 2024, realisasi DMO hanya sebanyak 131.000 ton atau 43 persen dari target 350.000 ton. Kemudian, pada Maret 2024, realisasi itu naik menjadi 163.000 ton (54 persen). Namun, pada 1-28 April 2024, realisasi DMO itu turun lagi menjadi 126.000 ton (42,2 persen),” tutur Bambang, Senin (29/4/2024).
Baca juga: Eling (Krisis) Minyak Goreng
Selain kakao dan minyak sawit, Bank Dunia juga memperkirakan harga karet alam jenis TSR 20 atau di Indonesia disebut sebagai SIR 20. Proyeksi harganya 1,55 dollar AS per kg pada 2024 dan 1,6 dollar AS per kg pada 2025. Harga komoditas yang juga diekspor Indonesia itu lebih tinggi dibandingkan harga pada 2022 dan 2023 yang masing-masing 1,54 dollar AS per kg dan 1,38 dollar AS per kg.
Merujuk pada prospek harga komoditas Bank Dunia tersebut, Indonesia diharapkan dapat mengatur strategi untuk mendorong ekspor sejumlah komoditas ekspor utama. Hal itu dalam rangka mempertahankan kinerja ekspor sekaligus memperkuat cadangan devisa negara di tengah pelemahan rupiah.
Di sisi lain, Indonesia diharapkan bisa mengantisipasi lonjakan harga komoditas impor pada saat rupiah melmah dan daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.