Peningkatan keamanan maritim mendesak di tengah kerentanan kejahatan transnasional di laut.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekretaris Negara untuk Urusan Luar Negeri Norwegia, Andreas M Kravik, mengemukakan, keamanan maritim penting dalam pembangunan ekonomi negara. Namun, terdapat tantangan besar dalam keamanan maritim yang harus dihadapi, antara lain kejahatan lingkungan terorganisasi dan kejahatan transnasional di laut; perompakan; penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur atau IUU fishing; serta perbudakan manusia.
Sementara itu, sebanyak 80 persen perdagangan dunia ditransportasikan melalui laut. Disrupsi terhadap pasokan dan distribusi di laut juga memiliki potensi dan ancaman bagi ekonomi dan keamanan dunia.
”Secara global kita menghadapi persaingan yang semakin ketat atas penguasaan sumber daya. Ini menjadi kompleks dan multidimensi karena ada beberapa negara yang berupaya menantang tatanan, menggunakan kekuatan, dan melanggar kedaulatan negara lain,” ujarnya dalam Seminar ”Maritime Security for A Sustainable Ocean Economy” yang diselenggarakan Indonesia Ocean Justice Initiative bekerja sama dengan Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, Selasa (30/4/2024).
Andreas menambahkan, penangkapan ikan berlebih dan perubahan iklim juga menjadi ancaman bagi keamanan laut. Degradasi lingkungan menjadi pengganda risiko terhadap stabilitas dan ketidaksetaraan. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk, konsentrasi kegiatan masyarakat di wilayah pesisir, dan semakin meningkatnya aktivitas daratan terus memberikan tekanan pada laut. Keseluruhan faktor risiko itu dinilai saling terkait.
Upaya mengatasi persoalan keamanan maritim, antara lain, diterapkan dengan pengembangan teknologi inovatif. Namun, seiring transformasi digital dalam industri maritim, kompleksitas kerentanan juga meningkat. Semakin banyak aktor atau oknum pelaku kejahatan yang menggunakan cara siber dan hibrida untuk menyasar infrastruktur maritim, termasuk pipa dan kabel bawah laut.
”Keamanan maritim perlu terus ditingkatkan, termasuk ketangguhan infrastruktur maritim dan navigasi laut untuk melindungi diri dari beragam ancaman keamanan,” tuturnya.
Di acara yang sama, Panglima Komando Armada RI Laksamana Madya TNI Denih Hendrata mengemukakan, peran keamanan maritim sangat vital untuk melindungi keamanan laut, mendukung pembangunan ekonomi, dan keselamatan manusia yang menjadi sasaran ekonomi biru yang berkelanjutan. Keamanan nasional Indonesia, termasuk keamanan maritim, merupakan tanggung jawab seluruh pihak.
Menurut dia, dengan anggaran yang hanya 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kekuatan dan kemampuan TNI Angkatan Laut (AL) masih terbatas untuk menjangkau wilayah laut yurisdiksi nasional. Namun, AL tetap konsisten menjalankan tugas. Koarmada RI bertugas melaksanakan operasi yang mampu memberikan efek jera terhadap pihak yang akan melakukan kegiatan ilegal di Indonesia, termasuk berkolaborasi dengan aparat penegakan hukum lain.
Dicontohkan, sepanjang tahun 2023 dan 2024, kolaborasi tiga pilar, yakni pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL dan Badan Keamanan Laut terus memonitoring Laut Natuna Utara, sehingga kapal ikan asing Vietnam dan China, serta kapal pengawas perikanan Vietnam dan coast guard China, dinilai tidak membuat masalah di Laut Natuna Utara. Di kawasan itu, aktivitas perikanan Indonesia dinilai masih minim.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) TB Haeru Rahayu menambahkan, KKP terus konsisten dalam memerangi IUU fishing, antara lain dengan penerapan teknologi berbasis satelit untuk memantau kapal laut, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, serta mendorong kampung nelayan lebih produktif dan mandiri.
Di sisi lain, pembangunan sektor kelautan dan perikanan berbasis ekonomi biru terus dilakukan meski implementasinya diakui tidak mudah. Tantangan terbesar untuk menerapkan ekonomi biru adalah mendorong pemahaman 270 juta penduduk Indonesia dalam memahami konsep dasar ekonomi biru, yakni menyeimbangkan ekonomi dan ekologi.
”Untuk menciptakan keseimbangan ekonomi dan ketahanan lingkungan, pemerintah harus membuat beberapa instrumen seperti pengawasan dan penegakan hukum yang tegas,” kata TB Haeru.
Sementara itu, CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa mengemukakan, prinsip ekonomi biru merupakan ekonomi kelautan berkelanjutan. Pemerintah dan aparat penegakan hukum memiliki pekerjaan rumah untuk menjadikan ekonomi biru sebagai kebijakan konkret. Keutamaan ekologis menjadi pertimbangan utama di atas pertimbangan ekonomi dan politik.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia mengapresiasi KKP yang berhasil menangkap kapal ikan Indonesia yang diduga melakukan praktik patgulipat dengan kapal ikan asing berupa alih muatan (transhipment) ikan ilegal di laut, penyelundupan bahan bakar minyak (BBM), dan perbudakan terhadap awak kapal perikanan. Namun, ia menyoroti celah kebijakan yang membuka peluang bagi IUU fishing.
Menurut Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Sihar Silalahi, kegiatan alih muatan ikan di laut rentan mengarah ke IUU fishing. ”Kebijakan pemerintah mengizinkan alih muatan ikan di laut yang tidak diimbangi kontrol dan persyaratan pemantauan yang ketat telah membuat celah yang besar bagi para pelaku IUU fishing untuk beroperasi,” ujarnya.