HPP Gabah Rp 6.000 Per Kilogram Dinilai Belum Untungkan Petani
Kenaikan HPP GKP menjadi kabar baik bagi petani. Di sisi lain, kenaikan HET beras bisa menghambat penurunan harga beras.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pangan Nasional telah menyesuaikan harga pembelian pemerintah atau HPP gabah kering panen di tingkat petani dari Rp 5.000 per kilogram menjadi Rp 6.000 per kg. HPP itu dinilai belum menguntungkan petani.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa, Kamis (25/4/2024), mengatakan, HPP gabah kering panen (GKP) Rp 6.000 per kg jauh di bawah usulan HPP sejumlah organisasi tani. Usulan HPP tersebut di kisaran Rp 6.500-Rp 7.000 per kg.
AB2TI mengusulkan HPP GKP di tingkat petani Rp 6.900 per kg. Jumlah itu berasal dari biaya produksi GKP di lahan 1.500 meter persegi sebesar Rp 5.966 per kg dan keuntungan petani sebesar 15 persen.
”Dari biaya produksi GKP saja, petani hanya untung sedikit sekali. Apalagi jika merujuk pada ambang batas nilai tukar petani tanaman pangan (NTP TP),” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta.
Dari biaya produksi GKP saja, petani hanya untung sedikit sekali. Apalagi jika merujuk pada ambang batas nilai tukar petani tanaman pangan.
Dwi menjelaskan, ambang batas NTP TP sebesar 100. Angka itu menunjukkan pendapatan dan pengeluaran petani sama besar atau tidak untung atau rugi. Dari NTP TP tersebut, harga wajar GKP Rp 6.035 per kg. Jika Badan Pangan Nasional (Bapanas) menetapkan HPP GKP Rp 6.000 per kg, berarti petani tidak untung.
”Oleh karena itu, kami berharap Bapanas mengoreksi lagi HPP itu. Angka kompromi antara HPP GKP Bapanas dan usulan berbagai organisasi petani adalah Rp 6.450 per kg,” katanya.
Selain HPP GKP, Bapanas juga merelaksasi HET sementara beras medium dari Rp 10.900-Rp 11.900 per kg menjadi Rp 12.500-Rp 13.500 per kg berdasarkan zonasi. HET sementara berlaku pada 24 April-31 Mei 2024. Bapanas juga memperpanjang masa berlaku HPP sementara beras premium Rp 14.900-Rp 15.800 per kg hingga 30 Mei 2024.
Baca juga: HET Beras Medium dan HAP Jagung Dinaikkan
Daging dan telur ayam
Bapanas juga sedang menggodok harga acuan penjualan (HAP) daging dan telur ayam ras. Pada 25 April 2024, Bapanas mengundang pemangku kepentingan di sektor peternakan ayam dan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mendiskusikan HAP tersebut.
Dalam pertemuan itu, harga acuan pembelian jagung pipilan kering berkadar air 15 persen di tingkat petani telah disetujui Rp 5.000 per kg. Harga acuan pembelian itu meningkat dari sebelumnya Rp 4.200 per kg.
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS Kadarmanto menuturkan, dalam lima tahun terakhir, biaya produksi jagung meningkat. Biaya produksi jagung pada 2017 sebesar Rp 2.440 per kg, kemudian pada 2023 sudah mencapai Rp 4.600 per kg.
”Jadi memang ada peningkatan biaya produksi jagung yang lumayan besar, yakni hampir dua kali lipat,” tuturnya melalui siaran pers.
Direktur Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Bapanas Maino Dwi Hartono mengemukakan, kenaikan harga acuan pembelian jagung akan berpengaruh pada kenaikan biaya produksi di peternakan ayam. Oleh karena itu, HAP daging dan telur ayam ras juga perlu disesuaikan.
Kendati hasilnya nanti mungkin tidak bisa mewakili atau memuaskan semua penyesuaian HAP tetap perlu dilakukan. Di tengah kenaikan biaya produksi, petani, peternak, dan pelaku usaha juga ingin mendapatkan keuntungan.
”Namun, perlu diingat, konsumen juga perlu diperhatikan agar mendapatkan harga yang masih terjangkau dan wajar,” katanya.
Baca juga: Harga Pangan Seusai Lebaran
Sejak 2022 hingga kini, Bapanas belum mengubah harga acuan jagung serta daging dan telur ayam ras. HAP telur ayam ras yang berlaku saat ini untuk di tingkat peternak Rp 22.000-Rp 24.000 per kg dan di tingkat konsumen Rp 27.000 per kg.
Adapun HAP daging ayam ras di tingkat peternak sebesar Rp 21.000-Rp 23.000 per kg. Untuk HAP komoditas itu di tingkat konsumen sebesar Rp 36.750 per kg.
Daya beli
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, kenaikan HPP GKP akan berdampak positif ke petani. Kenaikan HPP itu dapat menaikkan kembali harga gabah petani yang anjlok saat panen raya padi, sekaligus mengompensasi kenaikan biaya produksi GKP.
Sebaliknya, kenaikan HET beras justru akan menahan laju penurunan harga beras saat ini. Tanpa kenaikan HET beras, harga beras lambat turun meski panen raya padi tengah berlangsung.
”Hal itu akan membuat inflasi pangan cenderung bertahan cukup tinggi atau bahkan meningkat. Selain itu, daya beli masyarakat bisa semakin tergerus setelah banyak pengeluaran selama Ramadhan-Lebaran,” kata Tauhid.
Kenaikan HET beras justru akan menahan laju penurunan harga beras saat ini. Tanpa kenaikan HET beras, harga beras lambat turun meski panen raya padi tengah berlangsung.
Merujuk data Bank Indonesia, Tauhid menunjukkan, pada Maret 2024, inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile food) sebesar 2,16 persen secara bulanan. Tingkat inflasi itu lebih tinggi daripada inflasi kelompok pangan bergejolak pada Februari 2024 yang sebesar 1,53 persen.
Peningkatan inflasi kelompok tersebut disumbang terutama oleh kenaikan harga daging dan telur ayam ras serta beras. Jika kenaikan HET beras menahan penurunan harga beras, komoditas itu akan berkontribusi terhadap inflasi lagi.
Untuk itu, ujar Tauhid, agar daya beli masyarakat, khususnya kelas bawah, tidak tergerus, program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) serta bantuan beras harus digulirkan lagi. Namun, sasarannya harus lebih terukur, yakni memprioritaskan daerah-daerah yang harga pangannnya, termasuk beras, tinggi.
Baca juga: Meski Ekonomi Berpeluang Tumbuh 5 Persen, Daya Beli Masyarakat Rentan
Dwi yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University berpendapat, kenaikan HPP GKP otomatis akan memicu kenaikan harga eceran beras medium dan premium di tingkat konsumen. Namun, kenaikan harga eceran itu tidak akan berdampak signifikan terhadap konsumen.
Alasannya, pemerintah akan menggulirkan kembali bantuan beras bagi 22 juta keluarga tidak mampu hingga Juni 2024. Dengan begitu, keluarga tidak mampu bisa mendapatkan perlindungan sosial setelah dompet dan tabungan tergerus selama Ramadhan-Lebaran.
”Selain itu, dengan kenaikan HET beras medium saat ini, pengeluaran rumah tangga untuk sepiring nasi yang dimasak sendiri masih tidak terlalu tinggi, yakni Rp 1.200,” kata Dwi.