Langkah Mundur Ekspor Pasir Laut dan Benih Lobster
Dibukanya kembali ekspor pasir laut dan benih bening lobster dinilai memberikan lebih banyak kerugian.
JAKARTA, KOMPAS — Berlakunya kembali ekspor pasir laut dan benih bening lobster dinilai menjadi titik mundur bagi sektor kemaritiman Indonesia yang mengusung hilirisasi. Pengerukan sumber daya mentah untuk mendongkrak penerimaan negara bertolak belakang terhadap prinsip keberlanjutan.
Tahun 2024, pemerintah menetapkan dua kebijakan baru yang membuka kembali eksploitasi dan ekspor pasir laut, serta benih bening lobster. Sebelumnya, ekspor pasir laut telah dilarang selama 20 tahun, sedangkan ekspor benih bening lobster mengalami buka-tutup dalam kurun 10 tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, cara berpikir pemerintah untuk mengejar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dengan membuka kembali keran eksploitasi dan ekspor pasir laut serta benih bening lobster merupakan logika terbalik yang harus diluruskan.
”Perkiraan PNBP yang bakal diperoleh tidak akan sebanding dengan nilai kesejahteraan yang didapatkan oleh masyarakat pesisir, nelayan, dan pembudidaya lokal,” ujar Halim saat dihubungi di Jakarta, Rabu (24/4/2024).
Baca juga: Perusahaan Asing Bidik Pembelian Pasir Laut Indonesia
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi volume pasir laut yang ditawarkan pemerintah sebanyak 17,64 miliar meter kubik, meliputi Laut Jawa sebanyak 5,58 miliar meter kubik, Selat Makassar 2,97 miliar meter kubik, dan Laut Natuna-Natuna Utara 9,09 miliar meter kubik.
Hingga April 2024 terdata 66 pelaku usaha yang mendaftarkan konsesi penambangan pasir laut dengan volume sedikitnya 3,3 miliar meter kubik. Setiap perusahaan mengajukan volume penambangan pasir laut yang bervariasi, yakni mulai dari 50 juta-200 juta meter kubik (Kompas.id, 24/4/2024). Perusahaan-perusahaan itu, menurut rencana, bermitra dengan 51 perusahaan kapal isap pasir laut, serta 54 perusahaan pembeli pasir laut dari dalam dan luar negeri.
Beberapa perusahaan mitra calon pembeli pasir laut tercatat berasal dari China, Johor (Malaysia), dan Brunei Darussalam. Sementara itu, perusahaan kapal isap yang diusulkan ialah yang berasal dari Belanda, Belgia, Jepang, Singapura, dan China.
Pendapatan negara
Perhitungan tarif PNBP untuk pemanfaatan pasir laut dalam negeri ditetapkan 30 persen dari nilai harga pokok penjualan (HPP) pasir laut dikalikan volume pengambilan pasir laut, sedangkan pemanfaatan pasir laut untuk luar negeri ialah 35 persen dari nilai HPP dikalikan volume pasir laut yang dikeruk. Adapun HPP pasir laut untuk pemanfaatan dalam negeri dipatok Rp 93.000 per meter kubik, sedangkan HPP untuk pemanfaatan di luar negeri ditetapkan Rp 186.000 per meter kubik, dengan mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 82/2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut dalam Perhitungan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Jika sebuah perusahaan memperoleh kuota volume penambangan pasir laut 50 juta meter persegi untuk pemanfaatan luar negeri, tarif PNBP pasir laut yang akan didapat sebesar Rp 3,25 triliun per perusahaan.
Baca juga: 90 Persen Stok Benih Lobster di Indonesia Boleh Dikeruk
Sementara itu, keran ekspor benih bening lobster yang juga mulai dibuka tahun ini menetapkan kuota benih bening lobster yang boleh dikeruk dan diekspor sebesar 419.213.719 ekor atau 90 persen dari estimasi stok benih. Jika untuk setiap benih bening lobster dikenakan tarif PNBP Rp 6.000 per ekor, akan terkumpul Rp 2,51 triliun yang berasal dari pengiriman 419.213.719 ekor.
Data FishStat Organisasi Pangan Dunia (FAO) 2024 menunjukkan, ketergantungan Vietnam pada pasokan benih bening lobster asal Indonesia untuk budidaya lobster di negara tersebut. Tahun 2020, saat ekspor benih lobster dibuka, sekitar 95,86 persen impor benih bening lobster bersumber dari Indonesia. Adapun pada tahun 2019 dan 2021 saat ekspor benih dilarang, benih lobster itu masuk ke Vietnam lewat Singapura.
”Alih-alih menghadirkan kemakmuran bagi masyarakat perikanan skala kecil, pemerintah justru membuka peluang bencana alam di wilayah pesisir imbas pengerukan pasir laut secara besar-besaran, serta bencana pangan perikanan akibat eksploitasi benih bening lobster,” kata Halim.
Ugal-ugalan
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB University Yonvitner mengemukakan, kebijakan ekspor pasir laut dan benih bening lobster hanya mengejar pendapatan, tetapi tidak koheren dengan berbagai kebijakan lain menuju negara maritim maju. Penambangan dan eksploitasi besar-besaran pasir laut dan benih bening lobster itu bukan indikator kemajuan di sektor kelautan dan perikanan.
Di sisi lain, ekspor itu memperlihatkan Indonesia justru membesarkan negara lain, tetapi sebaliknya Indonesia semakin tertinggal. Ekonomi maritim yang tumbuh sesaat dari ekspor bahan mentah itu dinilai tidak akan berkelanjutan. ”Singapura yang menunggu durian runtuh pasir laut akan terdorong menjadi negara pelabuhan laut terbesar dunia,” ucapnya.
Baca juga: Mekanisme Ekspor Benih Lobster Berpotensi Ciptakan Praktik Monopoli
Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin mengecam pemerintah yang mengobral pasir laut kepada perusahaan asing. Langkah itu dinilai kontradiktif dengan wacana keberlanjutan di laut dan ekonomi biru yang digaungkan pemerintah di berbagai forum internasional.
Parid menilai, obral pasir laut kepada 66 perusahaan merupakan langkah ugal-ugalan yang tidak mengindahkan prinsip keadilan ekologis dan atau keadilan iklim bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil yang bergantung pada perikanan tangkap di laut. Walhi menilai, kerusakan dan kehilangan keanekaragaman hayati, termasuk kerugian ekonomi nelayan jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang didapatkan dari PNBP.
”Pertambangan pasir laut hanya akan melahirkan kerusakan ekologis yang berdimensi luas dan jangka panjang, termasuk melanggengkan kemiskinan bagi masyarakat pesisir. Kebijakan ini tidak akan mampu mewujudkan Indonesia pada tahun 2045 seperti selama ini digembar-gemborkan, melainkan lebih layak disebut sebagai Indonesia cemas 2045,” ujarnya.
Biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan akibat kerusakan lingkungan dari tambang pasir laut jauh lebih besar, yakni lima kali lipat. Jika sebuah perusahaan memperoleh kuota volume penambangan pasir laut 50 juta meter kubik untuk pemanfaatan luar negeri, lalu dikenai tarif PNBP pasir laut Rp 3,25 triliun, maka biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan kerusakannya sebesar 16,74 triliun.
”Indonesia sebenarnya tidak untung, tetapi rugi bahkan bangkrut secara ekologis akibat penambangan pasir laut ini. Berbagai pengalaman tenggelamnya puluhan pulau kecil pada masa lalu akibat tambang pasir harus dijadikan pelajaran oleh pemerintah bahwa penerimaan negara tidak bisa mengembalikan pulau-pulau kecil yang tenggelam,” tuturnya.
Baca juga: Ekspor Pasir Laut Disorot