Peluang Investasi di Tengah Ketidakpastian Tinggi
Kendati memberi tekanan, setiap krisis selalu memberikan peluang. Kita hanya perlu jeli untuk melihatnya.
Dalam bahasa Mandarin, kata yang menyebut krisis itu weiji’. Kata itu terdiri dari wei yang artinya 'bahaya' dan ji yang berarti 'peluang'. Artinya, setiap ada bahaya, krisis, atau ketidakpastian, maka juga ada peluang di dalamnya.
Saat ini dunia tengah dilanda ketidakpastian yang tinggi. Ekonom Senior Mari Elka Pangestu, dalam sebuah webinar yang digelar IDN Times pekan lalu, mengatakan, memanasnya konflik antara Israel dan Iran akan meningkatkan tensi ketidakpastiaan ekonomi. Fenomena ini pun memicu serangkaian tindakan yang makin menekan perekonomian.
Hal ini akan membuat harga minyak dunia terkerek naik. Sebab, Israel dan Iran adalah negara di jazirah Timur Tengah yang merupakan kawasan pemasok minyak dunia. Ketika ada ketegangan di kawasan itu, pasokan minyak akan berkurang, sementara permintaan dunia tetap. Sesuai hukum ekonomi, harga pun akan naik.
Kenaikan harga minyak itu memicu inflasi global termasuk di Indonesia. Hal ini akan menggerus daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan membuat perlambatan ekonomi, tak hanya pada Indonesia, tetapi juga dunia.
Selain ketegangan geopolitik ini, tekanan pada perekonomian Indonesia bertambah seiring terjadinya depresiasi rupiah. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), kurs rupiah pada perdagangan Jumat (19/4/2024) ditutup pada level Rp 16.280 melemah 371 basis poins atau 2,33 persen dari awal April yang ada pada level Rp 15.909.
Ekonom Senior Bambang Brodjonegoro dalam forum yang sama mengatakan, sebelum perang terjadi, sejatinya kurs dollar AS sudah menguat dibandingkan mata uang dunia lainnya termasuk Indonesia. Ini karena bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), diprediksi belum akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Karena suku bunga The Fed masih tetap tinggi, investor menilai menyimpan uang di AS akan memberikan keuntungan yang lebih besar.
Akhirnya, pemodal di seluruh dunia menarik uangnya dari pasar negera berkembang termasuk Indonesia untuk dipindahkan kembali ke AS sehingga terjadi arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia. Dampaknya, pasokan dollar AS di dalam negeri menurun, sedangkan permintaannya tetap. Akhirnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pun melemah.
Seperti halnya kenaikan harga minyak dunia, depresiasi rupiah itu pun bisa bertransformasi menjadi inflasi. Harga barang produksi manufaktur dalam negeri bisa ikut naik lantaran bahan bakunya masih banyak yang impor. Selain itu, harga barang impor juga ikut terkerek naik seiring dengan depresiasi rupiah (imported inflation).
Baca juga: Inflasi Pangan dan Energi Bisa Kembali Jangkiti RI
Jeli melihat peluang
Baik Bambang maupun Mari mengatakan, dalam kondisi seperti ini akan muncul fenomena flight to safety dari para pemodal dunia. Para pemodal akan memindahkan asetnya menuju instrumen yang lebih berisiko rendah dan menguntungkan.
Pemodal dunia akan memindahkan asetnya pada dollar AS dan US Treasury Bond atau Obligasi Negara AS. Dengan suku bunga acuan The Fed yang belum akan turun dan diiringi tren apresiasi dollar AS, ”memegang” instrumen itu akan jadi keuntungan bagi para investor.
Selain itu, instrumen yang selalu laris manis di kala dunia penuh ketidakpastian adalah logam mulia atau emas. Mengutip situs pemantau harga emas, Logammulia.com, harga emas pada Minggu (21/4/2024) mencapai Rp 1,34 juta per gram.
Angka ini meningkat Rp 37.000 per gram atau naik 2,82 persen dibandingkan Minggu (14/4/2024) atau saat awal terjadinya perang. Bahkan, bila ditarik dari awal tahun ini, harga emas sudah naik Rp 218.000 atau 19,30 persen.
Penasihat Keuangan sekaligus pendiri Oneshildt Financial Planning Risza Bambang mengatakan, saat kondisi penuh ketidakpastian, logam mulia adalah instrumen yang memberikan keamanan dan imbal hasil. Sebab, logam mulia adalah aset yang betul-betul memiliki nilai nyata dan laku diperdagangkan di seluruh dunia sejak ribuan tahun lalu.
”Saat kondisi uncertainty, investasi logam mulia menjadi safe haven, apalagi seluruh bangsa pernah menggunakan emas sebagai alat pembayaran jual beli barang di masa lampau,” ujarnya dihubungi pada Senin (22/4/2024).
Berkaca pada 2020, saat dunia dilanda pandemi, harga logam mulia pun melonjak cepat. Pada awal tahun 2020, harga emas dijual Rp 771.000 per gram. Pada akhir tahun harga emas melonjak Rp 198.000 atau meningkat 25,68 persen menjadi Rp 969.000 per gram.
Di saat dunia penuh ketidakpastiaan, justru permintaan akan logam mulia meningkat karena sifatnya yang beresiko rendah. Itulah kenapa emas disebut save haven.
Agar investor memiliki simpanan dollar AS dalam bentuk tunai sebagai dana darurat jika terjadi situasi yang sangat tidak diinginkan.
Menurut Risza, dalam kondisi ketidakpastian, investor ritel perlu berhati-hari dalam berinvestasi, apalagi berutang khususnya untuk utang konsumtif dan mata uang asing.
”Hindari atau kurangi secara signifikan utang produktif atas barang-barang komoditas, perkebunan, atau tambang yang harganya ditentukan oleh pasar geopolitik,” tambahnya.
Ia menambahkan, karena masyarakat dunia masih banyak yang mengandalkan dollar AS sebagai alat pembayaran, investasi valas dalam bentuk dollar AS juga menarik untuk dilakukan. Ia menyarankan agar investor memiliki simpanan dollar AS dalam bentuk tunai sebagai dana darurat jika terjadi situasi yang sangat tidak diinginkan.
Kocok ulang
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, di tengah kondisi depresiasi rupiah seperti saat ini, untuk tetap bisa mendapatkan keuntungan, investor perlu melakukan komposisi ulang kepemilikan sahamnya.
Ia merekomendasikan untuk melepas saham-saham yang mempunyai beban utang dalam kurs dollar AS. Sebab, dengan pelemahan rupiah, beban utang perusahaan meningkat dan bisa menggerus laba perusahaan. Pada ujungnya sahamnya pun tidak lagi menarik dan harganya bisa merosot.
Selanjutnya, investor bisa memilih saham-saham yang diuntungkan dengan menguatnya dollar AS, seperti saham perusahaan yang berorientasi ekspor dengan bahan baku dari dalam negeri. Perusahaan seperti ini bisa menikmati kenaikan keuntungan dari kondisi kurs rupiah saat ini.
”Investor bisa menyusun ulang komposisi sahamnya dan melihat, saham mana saja yang memiliki peluang baik di kondisi seperti ini,” ujar Budi.
Berkaca dari berbagai fenomena ketidakpastian global itu, agaknya kita perlu jeli melihat arah angin yang menguntungkan berembus. Perang memang tidak akan pernah memberikan keuntungan, tetapi krisis selalu melahirkan peluang.