Kartini dan Angkatan Kerja Perempuan
Kartini telah menggaungkan visi kesetaraan sejak akhir abad ke-19 yang hingga kini masih jadi pekerjaan rumah.
Kartini, pahlawan nasional, yang hari kelahirannya setiap 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, telah menggaungkan visi kesetaraan di masa mudanya pada akhir abad ke-19. Meskipun budaya pada zaman itu membuatnya menikah sebagai istri ke-4 dan kemudian meninggal saat melahirkan anak pertama, gaung visinya tidak pernah mati.
Hingga kini, problem kesetaraan pun masih terjadi, yang salah satunya tecermin pada kemiskinan akut perempuan.
UN Women melaporkan, lebih dari 10 persen perempuan di seluruh dunia terjebak dalam siklus kemiskinan ekstrem dan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dollar AS per hari atau Rp 34.400 untuk kurs Rp 16.000 per dollar AS. Dengan tren kemajuan yang dicapai belakangan, diperkirakan masih ada 342 juta perempuan atau sekitar 8 persen perempuan di dunia yang masih akan hidup dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2030.
Baca juga: Kartini
Kemiskinan perempuan itu, menurut laporan yang sama, yang dipublikasikan Februari 2024, dipicu oleh diskriminasi di dunia kerja, terbatasnya akses terhadap sumber daya dan aset keuangan, serta stereotipe mengakar yang membatasi partisipasi perempuan dalam pendidikan, pekerjaan yang layak, dan pengambilan keputusan. Selain itu, juga beban yang disandang perempuan pada tugas perawatan tidak berbayar dan pekerjaan rumah tangga.
Perempuan menanggung beban terbesar pada tugas perawatan tidak berbayar dan pekerjaan rumah tangga. Perempuan menghabiskan 2,8 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki untuk perawatan tidak berbayar.
Akibatnya, perempuan dan anak perempuan mempunyai lebih sedikit waktu dan kesempatan untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan berbayar, atau untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Hal ini pada gilirannya membuat mereka lebih miskin daripada laki-laki.
Padahal, berinvestasi dalam layanan perawatan, seperti penyediaan tempat penitipan anak dan perawatan lansia, dapat menciptakan hampir 300 juta lapangan kerja.
Perempuan menanggung beban terbesar pada tugas perawatan tidak berbayar dan pekerjaan rumah tangga.
Oleh karena itu, sesuai laporan itu, kesetaraan jender merupakan katalis yang kuat untuk mengurangi kemiskinan dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Dengan memastikan akses yang setara terhadap peluang dan pengambilan keputusan bagi semua orang, masyarakat dapat menciptakan perekonomian yang lebih sehat dan adil.
Namun, menjamin pekerjaan bagi perempuan saja ternyata tidak cukup. Inklusi ekonomi perempuan juga harus menjamin akses terhadap pekerjaan yang layak, upah yang setara untuk pekerjaan yang bernilai setara, dan perlindungan sosial yang kuat.
Secara global hanya 61 persen perempuan usia kerja yang masuk dalam angkatan kerja. Bandingkan dengan 90,6 persen laki-laki. Selain itu, hampir 60 persen perempuan di seluruh dunia bekerja di perekonomian informal. Angka itu melonjak hingga lebih dari 90 persen di negara-negara berpenghasilan rendah.
Sebagian besar dari mereka bahkan memiliki pekerjaan yang tidak stabil, berupah rendah, dan tidak memerlukan keterampilan serta tidak memiliki jaring jaminan sosial, seperti menjadi pekerja rumah tangga, pekerja konstruksi, atau buruh tani musiman. Hanya 26 persen perempuan yang tercakup dalam sistem jaminan sosial penuh secara global.
Baca juga: Berinvestasi Pada Perempuan Mempercepat Kemajuan
Diskriminasi di dunia kerja menjebak banyak perempuan pada pekerjaan bergaji rendah dan informal sehingga melanggengkan kemiskinan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut perempuan adalah kelompok yang paling terdiskriminasi dalam dunia kerja, dan juga menghadapi tingkat kekerasan dan pelecehan seksual yang lebih tinggi.
Memperluas akses perempuan terhadap pekerjaan formal dan layak serta program kesejahteraan sosial—seperti layanan kesehatan, sistem pensiun yang mengakui pekerjaan perawatan tidak berbayar, dan perlindungan kehamilan penuh—meletakkan landasan bagi pemberdayaan ekonomi. Hal ini mengatasi akar penyebab ketidaksetaraan sekaligus melindungi perempuan dari bias, diskriminasi berbasis jender, dan kekerasan di tempat kerja.
Penelitian yang dilakukan Doepke dan Tertilt yang diterbitkan dalam jurnal Economic Growth (2019) menunjukkan bahwa uang yang ada di tangan ibu (bukan di tangan ayah) meningkatkan pengeluaran untuk anak-anak. Perempuan membelanjakan lebih banyak uang untuk anak-anak dan berinvestasi lebih banyak pada sumber daya manusia.
Uang yang dikelola perempuan akan lebih menyejahterakan anak-anaknya dibandingkan jika dikelola laki-laki. Jika perempuan memiliki akses pada keuangan, kesejahteraan anak-anaknya pun diperkirakan akan lebih baik. Namun, transfer ke perempuan, selain meningkatkan pengeluaran untuk anak-anak, di sisi lain juga menurunkan tingkat tabungan.
Baca juga: Masih Ada Kesenjangan Tingkat Partisipasi Kerja Perempuan dan Laki-laki
Bagaimana dengan di Indonesia? Data Badan Pusat Statistik 2023 menunjukkan ketimpangan angkatan kerja perempuan dan laki-laki sangat tinggi, yakni 83,98 persen untuk laki-laki dan 53,98 persen untuk perempuan. Adapun rasio penduduk bekerja dengan jumlah penduduk usia kerja untuk perempuan hanya 51,78 persen, sedangkan laki-laki 79,08 persen. Dengan jumlah penduduk perempuan yang mencapai 49,92 persen, potensi perempuan belum maksimal diberi ruang dalam proses pembangunan.
Padahal, kajian yang dilakukan McKinsey and Company (2018) menyebutkan, Indonesia memiliki potensi meningkatkan produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2025 sebesar 135 miliar dollar AS apabila mengupayakan kesetaraan jender. Potensi tersebut setara dengan 9 persen peningkatan PDB dibandingkan dengan proyeksi jika melakukan business as usual.
Peringatan Hari Kartini kembali mengingatkan bahwa potensi perempuan perlu terus diberdayakan.