VPP menyediakan energi rendah emisi serta andal, stabil, dan fleksibel. Pengembangannya sudah diawali oleh negara maju.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
Pembangkit listrik virtual atau virtual power plant secara perlahan terus memperbesar pasar, khususnya di negara-negara maju. Perkembangan teknologi manajemen energi terdesentralisasi itu tak terlepas dari semakin gencarnya penggunaan pembangkit listrik energi terbarukan, kendaraan listrik, dan teknologi penyimpanan energi, dalam rangka transisi energi.
Virtual power plant (VPP) bukan berarti pembangkitan listrik yang dihasilkan secara virtual. VPP ialah perangkat teknologi yang menggabungkan unit-unit pembangkit listrik, dari berbagai sumber energi dalam satu entitas. Secara sederhana, VPP ialah pengelolaan suplai arus listrik, seperti dari energi surya dan angin, yang penggunaannya dapat diatur berdasarkan keperluan konsumen.
Oleh karena pembangkit listrik energi terbarukan pasokannya bergantung pada cuaca, VPP membutuhkan teknologi penyimpanan energi berbasis baterai. Pengaturan pasokan dan kebutuhan energi termonitor dalam satu sistem yang fleksibel, baik dalam skala residensial maupun industri.
Alat pengisi daya untuk kendaraan listrik di rumah atau home charging, yang kini semakin banyak digunakan, misalnya, juga merupakan bagian dari ekosistem VPP.
VPP juga menggunakan penyimpanan dalam sistem komputasi awan (cloud). Seluruh listrik yang terintegrasi dalam VPP tersistem secara digital. Kecerdasan buatan(artificial intelligence/AI) diprediksi bakal banyak berperan dalam pengembangan VPP.
Dikutip dari Reuters, para pakar energi menyebut VPP sebagai salah satu kunci pengurangan ketergantungan industri pada energi fosil yang buruk bagi lingkungan. Kendati masih dalam tahap awal, VPP dipercaya bakal tumbuh masif di Amerika Serikat (AS) pada tahun-tahun mendatang. Hal itu tak terlepas dari kebijakan Presiden Joe Biden yang memberi insentif untuk mobil-mobil listrik, panel surya, dan teknologi baterai di rumah.
Berdasarkan riset yang dilakukan firma Wood Mackenzie, investasi pada VPP atau juga disebut distributed energy resources (DER), di AS, diprediksi akan mencapai lebih dari 110 miliar dollar AS dalam rentang 2020 hingga 2025.
Negara-negara di Eropa serta Amerika Serikat, Jepang, dan Australia telah mulai menggunakan VPP. Kini, China pun mulai mengembangkannya demi penghematan energi dan upaya melakukan transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan. Penyatuan listrik dari berbagai sumber energi terbarukan memunculkan keunggulan terkait efisiensi dan keandalan sehingga China pun meliriknya.
Mengutip Xinhua, Senin (8/4/2024), Wakil Kepala Pusat Kendali Listrik The State Grid Corporation of China (SGCC), BUMN kelistrikan China, Cabang Yantai, Cong Zhipeng mengatakan, energi terbarukan memiliki sifat intermitensi atau bergantung kondisi cuaca. Hal itu membuat pasokan listrik bisa putus, acak, serta berfluktuasi sehingga pengaturan sistem kelistrikannya lebih menantang.
Meskipun demikian, China terus memasifkan pembangunan infrastruktur energi serta meningkatkan proporsi kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan. Tantangan yang mereka hadapi saat ini dalam hal kelistrikan adalah bagaimana menyeimbangkan serta menjamin keamanan sistem jaringan kelistrikan yang ada. VPP diyakini menjadi salah satu jawaban karena ongkos produksi bisa dikurangi signifikan.
Dalam platform cerdas VPP yang diluncurkan di Yantai pada Agustus 2023, terpampang dalam layar besar berupa pemantauan real-time akses sumber daya, beban listrik, dan data terkait perdagangan daya.
”Daya 242.000 kilowatt (kW) yang terkumpul, yang dibangun oleh Dongfang Electronics Co, Ltd, telah terkoneksi dengan State Grid Shandong Electric Power dan State Grid Cabang Yantai,” kata Kepala Departemen Energi Bisnis Komprehensif Dongfang Electronics Dong Wenjie.
Ia menambahkan, saat sumber daya dari sejumlah wilayah lainnya dapat diintegrasikan, target kapasitas 500.000 kW ia yakini bakal terwujud.
Kendati model bisnisnya belum sepenuhnya berkembang, dukungan dari pemerintah mengisyaratkan masa depan VPP di China bakal menjanjikan. Hal itu akan mendorong partisipasi dunia usaha serta masyarakat yang lebih besar dalam mendukung transisi energi.
Kolaborasi
Di Australia, tepatnya Australia Selatan, pemerintah setempat menggandeng Tesla dalam pengembangan VPP dalam proyek South Australia’s Virtual Power Plant (SAVPP). Proyek ini pertama kali diluncurkan pada 2018. Pada 2023 proyek itu telah menyediakan listrik bagi 4.100 rumah tangga dengan panel surya dan sistem Tesla Powerwall. Proyek direncanakan akan menambah layanan pada 3.000 rumah tangga.
Menteri Energi dan Pertambangan Australia Selatan Tom Koutsantonis, dikutip dari Energy Magazine, Mei 2023, mengatakan, SAVPP merupakan contoh nyata kerja sama industri dengan pemerintah. Proyek tersebut membantu memecahkan tantangan teknis bagaimana memasukkan sumber energi terbarukan ke dalam jaringan kelistrikan, sekaligus membuktikan kelayakan komersialnya dapat dicapai.
Sebagai bagian dari SAVPP panel surya atau baterai, pelanggan, baik publik maupun komunitas, mendapat akses harga listrik murah atau di bawah harga pasar. VPP juga membawa keuntungan bagi penduduk berupa pelayanan jaringan listrik yang lebih baik dari sebelumnya.
Warga Kota Murray Bridge, Australia Selatan, Malcolm, mengatakan, ”Saya menghemat 520 dollar (Australia) sejak bergabung dengan SAVPP April 2022. Saya senang karena jika terjadi blackout (mati listrik), lampu tetap bisa menyala. Itu sangat membantu,” ujarnya.
Posisi Indonesia
Sistem penyediaan energi yang berbasis energi rendah emisi serta andal, stabil, dan fleksibel akan dibutuhkan dalam rangka akselerasi peralihan dari fosil ke energi rendah emisi. VPP menjadi jawaban dan akan semakin berkembang. Pengembangannya sudah diawali oleh negara-negara maju.
Bagaimana dengan Indonesia? Melihat struktur pasar kelistrikan dan realisasi energi terbarukan, Indonesia tampaknya masih perlu waktu untuk menerapkan VPP. Sebagai negara berkembang, Indonesia, yang amat bergantung pada energi fosil dalam pemenuhan energi, masih menghadapi tantangan pembiayaan dan teknologi dalam transisi energi. Apalagi, Indonesia bukanlah pelaku industri dan teknologi energi terbarukan.
Modal besar memang dimiliki Indonesia, yakni melimpahnya potensi energi terbarukan, yang mencapai 3.600 gigawatt (GW). Sebanyak3.300 GW di antaranya ialah energi surya. Sisanya adalah energi angin, air (hidro), biomassa, hingga panas bumi. Sayangnya, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan di Indonesia, hingga akhir 2023, baru 13,2 GW.
RUU EBET hingga kini masih tertunda pembahasan dan pengesahannya.
Dari aspek regulasi, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik ternyata belum mampu mengakselerasi realisasi energi terbarukan. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) lagi-lagi harus tertunda pembahasan dan pengesahannya.
Pada 2020, dalam rapat dengar pendapat di DPR, Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia turut memberi masukan terkait Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), salah satunya agar RUU itu mampu mengakomodasi kebutuhan pengembanganinvestasi pada VPP serta teknologi penyimpanan energi. Sebab, seiring kemajuan teknologi, hal tersebut dapat mendukung pengembangan VPP di Indonesia. Namun, RUU EBET hingga kini masih tertunda pembahasan dan pengesahannya.