Tumpang Tindih Lahan Masih Marak, Kebijakan Satu Peta Dibenahi
Akses Kebijakan Satu Peta dibuka ke publik. Basis data terbaru juga akan memasukkan peta partisipatif wilayah adat.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konflik agraria yang muncul akibat maraknya tumpang tindih lahan kerap menjadi ”noktah hitam” pembangunan. Meski Kebijakan Satu Peta atau KSP sudah diluncurkan sejak tahun 2018, sengketa lahan masih banyak ditemukan. Pemerintah akan segera membenahi KSP agar lebih terbuka dan akomodatif terhadap publik sebelum lengser akhir tahun ini.
Selama ini, isu tumpang tindih lahan atau ketidaksesuaian pemanfaatan ruang kerap terjadi akibat informasi seputar tata ruang yang tidak jelas dan tidak terintegrasi. Dari pusat ke daerah, setiap kementerian dan lembaga mempunyai versi pendataan geospasialnya sendiri-sendiri.
Data yang berbeda-beda itu membuka celah untuk praktik ”mafia tanah” dalam proses perizinan usaha, seperti pungutan liar dan penerbitan izin penggunaan lahan yang tidak sesuai fungsi dan peruntukan. Akibatnya, konflik dengan masyarakat setempat tidak terhindarkan. Iklim investasi juga ikut terganggu.
Geoportal Kebijakan Satu Peta alias One Map Policy sudah diluncurkan sejak tahun 2018 untuk mengatasi isu tersebut. Pembentukan platform itu bertujuan untuk menyediakan satu basis data geospasial yang akurat dan terpadu sebagai acuan tunggal dalam merumuskan kebijakan pembangunan.
Namun, selama ini datanya belum cukup terintegrasi dan tertutup dari publik. Basis data geospasial itu juga belum memasukkan peta partisipatif wilayah adat dan peta tematik batas desa yang disusun masyarakat adat di berbagai daerah. Hasilnya, pemetaan tumpang tindih lahan kurang komprehensif dan mengakomodasi kepentingan masyarakat adat. Ikhtiar menekan potensi sengketa agraria pun jadi terhambat.
Menurut Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pertanahan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Marcia, sejak diluncurkan lima tahun lalu, hasil implementasi portal Kebijakan Satu Peta telah mampu mengurangi persoalan tumpang tindih lahan, tetapi belum maksimal.
Berdasarkan data Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik (PITTI), selama empat tahun terakhir telah terjadi penurunan luas tumpang tindih lahan di seluruh Indonesia, dari awalnya 77 juta hektar pada 2019 menjadi 47 juta hektar pada 2023.
Masih banyak pekerjaan rumah kita ke depan. Potret potensi konflik lahan masih cukup besar.
Namun, capaian itu masih jauh dari ideal. ”Masih banyak pekerjaan rumah kita ke depan. Potret potensi konflik lahan masih cukup besar. Oleh karena itu, ke depan kami akan fokus menyelesaikan persoalan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang ini,” kata Marcia dalam konferensi pers di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Untuk tahun 2024, pemerintah menargetkan tumpang tindih lahan bisa dikurangi lagi hingga 8,6 persen atau seluas 9 juta hektar. Sinkronisasi peta geospasial di semua daerah pun akan dipercepat sesuai mandat Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah.
Akses dibuka ke publik
Sejalan dengan itu, beberapa perbaikan akan dilakukan untuk memperbaiki kinerja portal Kebijakan Satu Peta. Pertama, mempercepat tahapan kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi data peta tematik dari berbagai kementerian/lembaga (K/L) ke dalam satu basis data. Ada 151 peta tematik dari berbagai K/L yang saat ini sedang diverifikasi dan disinkronkan ke dalam KSP.
Kedua, membuka akses geoportal KSP kepada masyarakat luas. Selama ini, situs portal KSP hanya bisa diakses terbatas oleh pemerintah pusat dan daerah. Secara rinci, sampai hari ini, platform itu hanya bisa diakses oleh 42 kementerian dan lembaga, 35 pemerintah provinsi, dan 467 pemerintah kabupaten/kota.
Tertutupnya akses publik itu kerap jadi sorotan kelompok masyarakat sipil. Pasalnya, publik tidak bisa mendapat informasi seputar pemetaan tata ruang dan status lahan serta memantau proses pemberian izin berusaha.
Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Aris Marfai mengatakan, pembukaan akses portal KSP kepada publik akan dilakukan secara bertahap. Hal itu sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2023 tentang Kewenangan Akses untuk Berbagi Data dan Informasi Geospasial.
Keppres tersebut memperluas unsur pemegang akses data dan informasi geospasial menjadi masyarakat yang terdiri dari orang-perseorangan, badan hukum, dan badan usaha. Menurut rencana, geoportal KSP versi terbaru yang bisa diakses publik ini akan diluncurkan pada 26-27 Juni 2024 bertepatan dengan perhelatan One Map Policy Summit.
”Saat ini peraturan soal akses data KSP ini sedang dalam proses revisi. Kami menambahkan mekanisme akses masyarakat dan klasifikasi peta tematik apa saja yang bisa dilihat publik,” kata Aris.
Integrasi data peta wilayah adat ke dalam basis data geoportal KSP saat ini masih terus berproses.
Memasukkan wilayah adat
Selain membuka akses ke publik, Kebijakan Satu Peta juga mulai memasukkan peta wilayah adat ke dalam basis datanya. Sebelumnya, informasi geospasial yang diintegrasikan ke dalam basis data geoportal KSP tidak melibatkan peta tematik wilayah adat yang disusun oleh masyarakat adat dan sudah diakui serta ditetapkan pemerintah daerah.
Pemerintah pun dianggap tidak berpihak kepada masyarakat adat dan mengakui wilayah kelola rakyat dalam upaya penyelesaian konflik lahan.
Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial Lien Rosalina mengatakan, integrasi data peta kawasan adat ke dalam basis data geoportal KSP saat ini masih terus berproses.
Sampai akhir 2023, total ada 123 hutan adat, 9 tanah ulayat, dan 9 wilayah kelola masyarakat hukum adat di kawasan pesisir dan perairan yang sudah mendapat pengakuan sebagai informasi geospasial tematik terverifikasi dan siap terintegrasi dalam KSP.
”Ini lagi berproses di tahapan kompilasi (pengumpulan data) dan nanti kalau sudah terintegrasi akan masuk ke geoportal dan masuk ke dalam kelompok wilayah adat,” kata Lien.