Industri Keramik dan Hulu Tekstil Minta Pemerintah Lanjutkan Subsidi Gas
Manfaat dan efek bergandanya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha menilai subsidi melalui program Harga Gas Bumi Tertentu atau HGBT bisa menciptakan nilai tambah perekonomian. Dengan demikian, pelaku usaha berharap pemerintah bisa segera memberi kepastian dengan melanjutkan program ini pada 2024.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto berharap pemerintah jangan hanya memandang subsidi harga gas melalui kebijakan HGBT dari sisi penurunan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) saja. Namun, kebijakan itu juga harus dilihat sebagai suatu motor pendorong perekonomian.
Penerapan HGBT sejak 2020 telah memicu investasi baru hingga Rp 20 triliun dengan serapan tenaga kerja hingga 12.000 orang.
Di industri keramik, Edy mengatakan, penerapan HGBT sejak 2020 telah memicu investasi baru hingga Rp 20 triliun dengan serapan tenaga kerja hingga 12.000 orang. Kontribusi pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) juga naik 30 persen dibandingkan sebelum penerapan HGBT. ”Karena HGBT ini sudah terbukti memberikan efek berganda dan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Edy dihubungi Minggu (31/3/2024).
30 persen biaya
Bila tanpa HGBT, menurut Edy, industri keramik harus membayar harga gas sebesar 15 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Dengan HGBT, mereka bisa menikmati harga gas yang telah ditentukan, berkisar 6-6,5 dollar AS per MMBTU.
Dalam industri keramik, gas mencakup lebih kurang 30 persen dari total biaya produksi. Jika industri tetap menggunakan harga gas yang mahal, pabrik keramik terpaksa mengurangi kapasitas produksi karena besarnya biaya untuk membayar gas.
”Produksi keramik menjadi tidak berdaya saing,” ujar Edy.
Oleh sebab itu, menurut Edy, pemerintah perlu segera memberi kepastian dan melanjutkan program HGBT ini. Belum adanya jaminan HGBT menyusul lambatnya persetujuan alokasi volume gas yang baru membuat perusahaan menunggu untuk ekspansi produksi lebih lanjut.
Ia berharap pemerintahan berikutnya bisa terus melanjutkan subsidi harga gas ini melalui program HGBT.
Dampak luas
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wiraswasta mengatakan, mahalnya harga gas ini bisa berdampak ke mana-mana. Industri tekstil adalah salah satunya.
Industri serat dan benang merupakan industri hulu tekstil. Apabila harus membayar harga gas mahal, industri ini juga akan menjual dengan harga tinggi. Padahal, industri filamen memasok bahan baku ke industri hilir tekstil seperti kain hingga garmen.
Tanpa HGBT, harga gas yang harus dibayarkan industri mencapai 9,8-10 dollar per MMBTU.
Naiknya biaya produksi di hulu akan meningkatkan biaya produksi di hilir. Ujung-ujungnya, harga produk hilir tekstil seperti garmen akan naik dan membebani konsumen.
”Nanti impor bisa makin banyak masuk karena lebih murah. Lalu industri bakal makin kesulitan, nanti bisa terjadi deindustrialisasi dan pengurangan tenaga kerja. Jadi, dampaknya ke mana-mana dari harga gas yang mahal ini,” ujar Gita.
Tanpa HGBT, menurut Gita, harga gas yang harus dibayarkan industri mencapai 9,8-10 dollar per MMBTU. Sementara dengan HGBT, harga gas sekitar 7 dollar per MMBTU.
Gita menjelaskan, harga gas berkontribusi sebesar 17 persen dari harga produk serat dan benang. Sebab, ongkos energi setara dengan 22-25 persen dari total ongkos produksi. Sebesar 75 persen dari ongkos energi adalah gas. Sisanya sebesar 25 persen adalah listrik.
Gita meminta pemerintah melihat persoalan harga gas ini dari perspektif yang lebih luas. Sebab, harga gas ini punya dampak yang luas. Tak hanya dari perusahaan atau sektor yang menerima alokasi HGBT, tetapi punya dampak luas ke industrialisasi, investasi, dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Manfaat dan dampak bergandanya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier menjelaskan, total subsidi pemerintah melalui HGBT, termasuk untuk listrik, dari 2021 hingga 2023 adalah Rp 51,04 triliun. Adapun nilai tambahnya bagi perekonomian nasional mencapai Rp 157,20 triliun atau lebih besar hampir tiga kali lipat dari subsidi yang dikeluarkan.
”Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi,” ujar Taufiek.
Kepastian
Aturan HGBT tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2020 juncto Perpres No 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Aturan pelaksananya berupa Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 89 Tahun 2020 tentang Pengguna dan HGBT di bidang Industri.
Selanjutnya, aturan ini diperbarui dengan Kepmen ESDM No 134/2021 dan Kepmen ESDM No 91/2023.
Kepmen ESDM No 91/2023 menyebutkan, ada 234 perusahaan dari tujuh jenis industri yang memperoleh HGBT. Adapun tujuh jenis industri itu adalah pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, dan sarung tangan karet.
Mereka memperoleh HGBT berkisar 6-6,82 dollar AS per MMBTU, dari harga aslinya 7-8 dollar AS per MMBTU. Adapun total gas yang dialokasikan untuk industri sebesar 1.220,95 miliar british thermal unit per hari (BBTUD).
Kepastian program HGBT dan alokasi volume gas untuk industri semestinya diputuskan dalam rapat antara Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan pada Jumat dua pekan lalu.
Namun, karena jadwal rapat yang berubah-ubah mendadak, sementara Menteri Perindustrian juga sudah punya agenda, rapat ditunda. Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan meminta kehadiran Menteri Perindustrian secara langsung untuk membahas hal ini.