China Kontribusi Mayoritas Energi Terbarukan Global 2023, Indonesia Sumbang Panas Bumi
Asia menjadi penyumbang terbesar untuk penambahan kapasitas energi terbarukan pada 2023. China berkontribusi 91 persen.
Energi terbarukan di dunia tumbuh pesat sepanjang 2023 seiring penambahan 473 gigawatt pada sektor pembangkitan listrik atau penambahan tertinggi dalam setahun sepanjang sejarah.
Energi surya dan angin menjadi jenis energi terbarukan yang memiliki peran signifikan dalam penambahan itu. Adapun Indonesia memimpin penambahan kapasitas pada energi panas bumi.
Penambahan energi surya atau solar photovoltaic (PV) adalah yang paling dominan dengan kontribusi 345 GW.
Berdasarkan laporan Badan Energi Terbarukan Internasional (International Renewable Energy Agency/Irena), yang dipublikasikan Rabu (27/3/2024), penambahan kapasitas 473 GW itu mencakup 86 persen dari total penambahan kapasitas pembangkit di dunia pada 2023. Dengan tamabahan tersebut, hingga akhir 2023, kapasitas pembangkit energi terbarukan di tingkat global mencapai 3.870 GW.
Penambahan energi surya atau solar photovoltaic (PV) adalah yang paling dominan dengan kontribusi 345 GW. Berikutnya adalah energi angin dengan sumbangan 116 GW dan energi air dengan sumbangan 7 GW.
Sementara sisanya, 5 GW, disumbang jenis energi terbarukan lain, di antaranya bioenergi dan panas bumi, serta dari kelistrikan off-grid atau pembangkit listrik yang tidak terhubung dalam jaringan kelistrikan di satu negara.
Asia terbesar
Asia menjadi penyumbang terbesar dengan 69 persen dari total penambahan kapasitas energi terbarukan pada 2023. Penambahan signifikan di Asia tersebut ditopang China dengan sumbangan mencapai 91 persen dari total penambahan di Asia.
Adapun Indonesia menjadi negara penyumbang penambahan kapasitas panas bumi terbesar di dunia. Akumulasinya mencapai 58 megawatt. Disusul kemudian oleh Kenya sebesar 35 MW dan Chile sebesar 32 MW.
Penambahan signifikan di Asia tersebut ditopang China dengan sumbangan mencapai 91 persen dari total penambahan di Asia.
Direktur Jenderal Irena Francesco La Camera mengatakan, lonjakan penambahan kapasitas energi terbarukan itu menunjukkan bahwa energi terbarukan merupakan satu-satunya teknologi tersedia dalam rangka transisi energi yang sejalan dengan Persetujuan Paris (Paris Agreement).
Namun, itu tetap belum cukup untuk mengejar target 7,2 terawatt energi terbarukan dalam tujuh tahun ke depan. Target ini merujuk pada Transisi Energi Outlook oleh Irena dalam mencapai skenario kenaikan rata-rata suhu bumi tak lebih dari 1,5 derajat celsius.
”Intervensi kebijakan dan koreksi di tingkat global benar-benar dibutuhkan,” kata La Camera, dikutip dari situs Irena.
Terkait emisi
Intervensi kebijakan itu antara lain untuk mengatasi hambatan-hambatan struktural pada negara-negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam transisi energi. Semua diharapkan bermuara pada peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan global, sebuah target yang perlu diwujudkan dalam mencapai tantangan perubahan iklim global.
Peningkatan kapasitas energi terbarukan berkaitan dengan pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) di tingkat global. Analisis Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) menunjukkan kelanjutan ekspansi pembangkit energi surya, angin, nuklir, serta kendaraan listrik membantu dunia dalam menghindari penggunaan energi yang lebih besar.
Baca juga: Energi Terbarukan Belum Terakselerasi
Menurut data IEA, tanpa teknologi energi bersih, emisi CO2 dalam lima tahun terakhir akan tiga kali lipat lebih besar. Pada 2023, emisi meningkat 410 juta ton atau 1,1 persen, lebih rendah dari peningkatan pada 2022 yang 490 juta ton.
Tahun lalu, untuk pertama kalinya setidaknya, separuh pembangkitan listrik di negara-negara maju berasal dari energi rendah emisi, seperti energi terbarukan dan nuklir.
Investasi
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol mengatakan, transisi ke energi yang ramah lingkungan teruji dalam lima tahun terakhir dan telah menunjukkan ketahanannya. Energi bersih bisa terus ditumbuhkan meski terjadi pandemi Covid-19, krisis energi, dan ketidakstabilan geopolitik yang berpotensi menggagalkan upaya membangun sistem energi yang lebih bersih serta aman.
”(Di tengah tantangan itu) Transisi energi bersih terus berlanjut dengan cepat dan mengekang emisi, bahkan ketika permintaan energi global meningkat pada 2023 dibandingkan 2022. Komitmen yang dibuat oleh hampir 200 negara pada COP28 di Dubai (Uni Emirat Arab) pada Desember 2023 menunjukkan bahwa pengurangan emisi dibutuhkan oleh dunia,” kata Birol.
Namun, masih ada pekerjaan rumah besar untuk membuat energi rendah emisi semakin cepat berkembang demi mencapai target-target pengurangan emisi di tingkat global. ”Paling penting, perlu upaya yang jauh lebih besar agar negara-negara berkembang terus meningkatkan investasi energi ramah lingkungan,” katanya.
Senjang
Dominannya ekspansi pembangkit energi terbarukan di China juga menunjukkan belum meratanya realisasi oleh negara-negara lain, termasuk di Asia. Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, energi terbarukan dalam bauran pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) hingga akhir 2023 sebesar 12,21 persen atau turun dari 2022 sebesar 13,3 persen.
Kendati demikian, tetap ada penambahan 539 MW kapasitas terpasang energi terbarukan sehingga realisasinya menjadi 13.155 MW pada 2023. Namun, secara persentase menurun.
Ini disebabkan salah satunya karena meningkatnya penggunaan energi fosil, seperti batubara. Penggunaan batubara dalam bauran pembangkit PLN pada 2023 sebesar 67,66 persen, naik dari 2022 sebesar 67,21 persen.
Baca juga: Kapan Indonesia Bisa Mengandalkan Energi Terbarukan?
Adapun kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Indonesia hingga akhir 2023 ialah 2.417,7 MW atau bertambah 57,4 MW dari 2022 sebesar 2.360,3 MW. Penambahan dalam empat tahun terakhir belum signifikan karena hanya bertambah 282,1 MW sejak 2019. Padahal, Indonesia memiliki potensi panas yang besar lantaran berada di kawasan cincin api (ring of fire).
Selain masih tingginya ketergantungan pada energi fosil, tantangan lain belum optimalnya perkembangan energi terbarukan di Indonesia ialah adanya gap antara sumber potensi dan pusat permintaan (demand). Oleh karena itu, yang dibutuhkan Indonesia ialah pembangunan infrastruktur transmisi kelistrikan guna mengevakuasi energi terbarukan ke pusat permintaan.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Jisman P Hutajulu mengatakan, peluang Indonesia tetap besar dengan potensi energi terbarukan sebesar 3.600 GW.
”(Dari jumlah itu) 3.300 GW di antaranya dari PLTS (surya). Harga PLTS sudah semakin turun dan nanti saat ada ekspansi akan semakin turun. Angin juga potensial dan pemanfaatannya baru 1 persen. Jadi, peluang Indonesia besar,” katanya di Jakarta, Rabu (6/3/2024).