Mengobati Gejala ”Sembelit” Sawit
Problem pangan versus energi di sektor sawit akan diatasi. Sistem pertahanan sawit RI versus EUDR juga dibangun.
Industri hulu-hilir sawit tengah mengalami gejala ”sembelit”. Awal tahun ini, ekspor komoditas itu seret. Sejak beberapa tahun terakhir, produksi minyak kelapa sawit mentah stagnan dan peremajaan tanaman juga masih jauh di bawah target.
Padahal, tantangan industri ini semakin kompleks. Hal itu mulai dari merespons perubahan iklim beserta regulasi-regulasinya hingga tarik-menarik antara kebutuhan pangan dan energi baru terbarukan biodiesel sawit.
Pada awal tahun ini, ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya melemah akibat tren penurunan harga dan lesunya permintaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor CPO beserta turunannya pada Februari 2024 senilai 1,1 miliar dollar AS atau turun 30,39 persen secara bulanan dan 39,58 persen secara tahunan.
Volume eskpor CPO dan produk turunan itu juga turun dari 2,06 juta ton pada Januari 2024 menjadi 1,42 juta ton pada Februari 2024. Dalam kondisi normal, volume ekspornya di kisaran 2,5-3 juta ton per bulan.
Produksi CPO dan minyak inti sawit (PKO) juga relatif stagnan pada 2019-2023, rerata sekitar 52 juta ton. Rerata produksi itu masih jauh dari target produksi 2045 yang sebesar 78,35 juta ton.
Baca juga: Industri Sawit Didera Tiga Tantangan Besar
Peremajaan tanaman kelapa sawit juga jauh di bawah target. Sejak 2017 hingga 2023, rerata realisasi peremajaan itu sekitar 50.000 hektar per tahun atau 29 persen dari target 180.000 hektar per tahun.
Begitu juga dengan konsumsi CPO dan produk turunan di dalam negeri yang diperkirakan naik terus hingga 2045 menjadi 45,99 juta ton. Konsumsi domestik itu mencakup pangan, industri oleokimia dan program biodiesel atau pencampuran solar dengan produk turunan minyak sawit.
Pada 2024, misalnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan konsumsi itu diperkirakan meningkat menjadi 25,4 juta ton. Kebutuhan tersebut naik 9,08 persen dari 23,28 juta ton pada 2023.
Kenaikan konsumsi biodiesel diperkirakan bakal mendominasi dengan penyerapan sebanyak 11,6 juta ton dengan asumsi program B35 diimplementasikan sepenuhnya. Jika B40 dijalankan, konsumsi minyak sawit domestik akan bertambah 2 juta ton menjadi 27,4 juta ton.
Baca juga: Jaga Keseimbangan Pangan dan Energi
Di tengah kondisi itu, harga CPO dunia pada dua bulan terakhir tahun ini lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain. Bersamaan dengan itu penerapanan kebijakan Arah Energi Terbarukan (RED) II dan Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) terus menghantui.
Gapki menyebutkan konsumsi itu diperkirakan meningkat menjadi 25,4 juta ton. Kebutuhan tersebut naik 9,08 persen dari 23,28 juta ton pada 2023.
Peremajaan sawit
Pemerintah berupaya mengambil sejumlah langkah penting dalam Rapat Koordinasi Nasional Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan 2019-2024 yang digelar secara hibrida di Jakarta, Kamis (28/3/2024). Beberapa di antaranya adalah percepatan peremajaan tanaman kelapa sawit, legalisasi kebun sawit di kawasan hutan, memperkuat sertifikasi dan penelusuran sawit berkelanjutan, serta membuka sejumlah pasar ekspor alternatif.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) akan terus dilanjutkan. Pengajuan PSR dipangkas dari enam tahap menjadi tiga tahap, sedangkan verifikasi dipercepat menjadi 15 hari.
Petani sawit di kawasan hutan yang sudah mendapatkan legalisasi lahan berdasarkan program Reforma Agraria, kini, bisa mengajukan dana PSR yang dikelola BPDPKS. Selain itu, dana PSR yang semula Rp 30 juta per hektar akan ditambah menjadi Rp 60 juta per hektar.
Dana Rp 30 juta per hektar, lanjut Eddy, hanya mampu membiayai keperluan petani sawit rakyat hingga penananam bibit. Selebihnya, mereka harus mengeluarkan dana sendiri mulai dari pemeliharaan hingga tanaman mulai menghasilkan.
”Dengan dana Rp 60 juta per hektar, petani sawit rakyat bisa membiayai peremajaan sawit, mulai dari pembenihan hingga tanaman mulai berproduksi. Penambahan dana itu membuat petani sawit rakyat tidak terbebani,” katanya.
Berdasarkan data BPDPKS, sejak 2017 hingga 24 Maret 2024, pemerintah telah menyalurkan dana PSR Rp 9,25 triliun. Dana tersebut digunakan untuk meremajakan tanaman kelapa sawit di lahan seluas 331.007 hektar.
Dengan dana Rp 60 juta per hektar, petani sawit rakyat bisa membiayai peremajaan sawit, mulai dari pembenihan hingga tanaman mulai berproduksi.
Sementara itu, penanganan perkebunan sawit di kawasan hutan tengah berjalan. Hal itu berdasarkan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) Nomor 6 Tahun 2023 dalam dua mekanisme, yaitu Pasal 110A dan 110B.
Merujuk hasil identifikasi rekonsiliasi sawit nasional pada 2019, lahan kelapa sawit di Indonesia seluas 16,381 juta hektar. Dari luasan itu, 13,009 juta hektar berada di kawasan bukan hutan dan 3,372 juta hektar di kawasan hutan.
Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Iljas Tedjo Prijono menuturkan, legalisasi lahan sawit di kasawan hutan tengah berlangsung. Dalam prosesnya, Kementerian ATR/BPN berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Dari 3,372 juta hektar lahan sawit di kawasan hutan, yang belum diproses atau dimintakan permohonan proses tersebut seluas 2,659 juta hektar. Adapun yang sedang dalam proses penyelesaikan berdasarkan Pasal 110A UU Ciptaker seluas 713.299 hektar.
“Pemerintah juga telah menerbitkan 75 surat keputusan menteri LHK tentang pelepasan lahan hutan untuk perkebunan sawit seluas 362.820 hektar,” tuturnya.
Baca juga: Pemutihan Kepemilikan Sawit dalam Hutan Perlu Transparan
Sistem pertahanan sawit
Dalam rapat tersebut, pemerintah juga berkomitmen mengembangkan sawit berkelanjutan. Hal itu terutama untuk menghadapi UE yang akan mengimplementasikan EUDR secara penuh pada 2025. Regulasi itu mewajibkan sejumlah komoditas, termasuk sawit, yang masuk pasar UE bersertifikat verifikasi atau uji tuntas (due diligence).
Sertifikat berbasis geolokasi atau berdasarkan citra satelit dan koordinat sistem pemosisi global (GPS) itu diperlukan untuk membuktikan sejumlah komoditas itu tidak berasal dari lahan terdeforestasi. Perusahaan besar punya waktu 18 bulan dan perusahaan kecil 24 bulan untuk mematuhi berbagai persyaratan dalam regulasi yang berlaku sejak 29 Juni 2023.
Baca juga: Uni Eropa: Syarat Uji Tuntas EUDR Tak Tergantikan
Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Umar Hadi menyatakan, pasar ekspor CPO dan produk turunan relatif masih baik kendati ada penurunan permintaan dari sejumlah negara. Yang menjadi pekerjaan rumah terbesar Indonesia adalah menghadapi sejumlah kebijakan UE, termasuk EUDR.
”Pembahasan persoalan sawit juga masih alot, terutama dalam perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-UE (IEU CEPA). RI berupaya mengantisipasinya dengan mencari pasar ekspor sawit alternatif, yakni di kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, Indonesia tengah menyiapkan sistem pertahanan sawit RI untuk menghadapi kebijakan UE. Sistem itu mencakup legalisasi lahan sawit di kawasan hutan, sertifikasi sawit berlanjutan ISPO, dan penelusuran lokasi tanaman kelapa sawit.
Legalisasi lahan sawit di kawasan hutan saat ini terus digarap dan realisasi sertifikasi ISPO juga semakin mengingkat. ISPO juga memuat penelusuran asal tanaman kelapa sawit, sehingga ini bisa dijadikan dasar pertimbangan syarat EUDR.
”Sistem penelusuran tersebut akan ditingkatkan oleh Kementan, Badan Informasi Geopasial, Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, dan BPDPKS. Dalam waktu tiga bulan kalau bisa kita siapkan supaya bisa diumumkan sehingga bisa jadi gaung untuk EUDR yang akan diimplementasikan secara penuh pada 2025,” kata Airlangga.
Berdasarkan data Kementan, per Maret 2024, jumlah ISPO yang telah diterbitkan sebanyak 1.050 sertifikat yang terdiri dari 969 sertifikat perusahaan dan 81 sertifikat koperasi/kelembagaan pekebun sawit. Lahan sawit yang sudah bersertifkat ISPO seluas 5,6 juta hektar dari total luas lahan sawit di Indonesia.
Baca juga: Sawit Berkelanjutan