”Friend-shoring” dan Prabowo-Gibran
”Friend-shroring” perdagangan dunia semakin menguat. Indonesia akan ”melawannya” dengan ”good neighbor policy”.
Pada tahun ini, friend-shoring diperkirakan semakin menguat. Perdagangan antarnegara berdasarkan kesamaan pandangan geopolitik itu bakal mewarnai transisi pemerintahan di Indonesia. Friend-shoring akan bersanding dengan politik tetangga baik.
Dalam Global Trade Update yang dirilis Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) pada 21 Maret 2024, nilai perdagangan dunia pada 2023 turun 3 persen secara tahunan. Nilainya sebesar 31 triliun dollar AS.
Perdagangan barang dunia turun 1,3 triliun dollar AS atau sekitar 5 persen secara tahunan. Adapun perdagangan jasa dunia justru naik 500 miliar dollar AS atau tumbuh 8 persen secara tahunan.
Lembaga tersebut memperkirakan perdagangan dunia tahun ini mulai membaik. Pada triwulan I-2024, nilai perdagangan barang dunia tumbuh 3 persen dan perdagangan jasa 2,9 persen. Hal itu dipengaruhi perkiraan inflasi global yang lebih moderat, membaiknya proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan permintaan barang-barang ramah lingkungan.
Baca juga: Alarm Disrupsi Perdagangan Dunia Berbunyi
Kendati begitu, prospek perdagangan global pada 2024 masih mengandung ketidakpastian yang signifikan. Ketegangan geopolitik yang terus-menerus, kenaikan biaya pengiriman, dan tingginya tingkat utang di banyak negara masih berpengaruh negatif terhadap perdagangan global.
Perdagangan dunia juga semakin terkotak-kotak dalam sejumlah kubu kesamaan pandangan politik dan ekonomi global. Kondisi itu membentuk tren utama perdagangan bilateral dalam dua tahun terakhir ini.
”Tentu saja tidak hanya berdampak pada perdagangan antarnegara besar, tetapi juga negara-negara mitra dagang,” sebut laporan itu.
UNCTAD menunjukkan, perang Rusia-Ukraina menyebabkan ketergantungan perdagangan Rusia terhadap Uni Eropa (UE) turun 5,3 persen secara tahunan. Hal itu juga membuat ketergantungan Rusia terhadap China meningkat 7,1 persen.
Sebaliknya, ketergantungan perdagangan Ukraina dengan UE semakin meningkat sebesar 5,8 persen. Akibat perang itu pula, perdagangan UE dengan Rusia tumbuh negatif 0,6 persen secara tahunan.
Perang dagang Amerika Serikat-China juga belum mereda. Perdagangan AS terhadap China tumbuh minus 1,2 persen secara tahunan. Begitu juga perdagangan China terhadap AS, tumbuh minus 0,8 persen.
Perdagangan dunia juga semakin terkotak-kotak dalam sejumlah kubu kesamaan pandangan politik dan ekonomi global. Kondisi itu membentuk tren utama perdagangan bilateral dalam dua tahun terakhir ini.
Selain konflik geopolitik itu, UNCTAD juga mengingatkan dua tantangan perdagangan global yang lain. Pertama, kebijakan restriksi dagang dan subsidi semakin meningkat. Ini menunjukkan banyak negara di dunia bergerak ke dalam memperkuat perekonomian domestik.
Kedua, gangguan jalur perdagangan maritim di Laut Hitam, Laut Merah dan Terusan Suez, serta Terusan Panama. Hal itu membuat biaya logistik meningkat, memperpanjang durasi pelayaran, dan mengganggu rantai pasokan. Kendati tidak setinggi sebelumnya, kedua faktor tersebut membuat harga pangan dunia terus bergejolak.
Baca juga: ”Montase” Perdagangan
Politik tetangga baik
Sejumlah tantangan perdagangan dunia itu bakal membayangi transisi pemerintahan Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto. Apalagi, tren kinerja ekspor RI terus turun di tengah tren penurunan harga komoditas ekspor andalan dan perlambatan permintaan negara mitra dagang utama.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor nonmigas Indonesia pada 2023 turun 11,96 persen secara tahunan menjadi 242,9 miliar dollar AS. Adapun pada Januari-Februari 2024, nilainya sebesar 37,19 miliar dollar AS, turun 9,24 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2023.
Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, mengatakan, aspek geopolitik dan geoekonomi tentu berdampak pada arah pergerakan ekonomi dan politik dunia. Konflik geopolitik Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas, serta perlambatan ekonomi China, menyebabkan ketidakpastian ekonomi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
”Bersama dengan ketatnya suku bunga yang memperlambat pertumbuhan likuiditas dan krisis pangan akibat perubahan iklim, sejumlah konflik tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia,” ujarnya dalam Kompas Collaboration Forum (KCF) ”Arah dan Mesin Kebijakan Ekonomi Pembangunan 2025-2029” yang digelar harian Kompas di Jakarta, Jumat (22/3/2024).
Baca juga: “Mimpi” Mendorong Ekonomi Mandiri, Prabowo-Gibran Pacu Tiga Mesin Pertumbuhan
Politik luar negeri kita secara tradisi sejak awal merdeka adalah bebas aktif, nonblok tidak memihak. Hubungan baik dengan semua (negara) bisa mengamankan kepentingan nasional kita.
Dalam sejumlah forum lain, Prabowo-Gibran ataupun TKN juga beberapa kali menyinggung tentang tantangan geopolitik dan geoekonomi tersebut, serta sikap politik luar negeri. Salah satunya adalah politik tetangga baik (good neighbor policy). Sikap politik itu menjadi bagian dari 17 program prioritas, terutama poin kesembilan, yakni penguatan pertahanan dan keamanan negara, serta pemeliharaan hubungan internasional yang kondusif.
”Politik luar negeri kita secara tradisi sejak awal merdeka adalah bebas aktif, nonblok tidak memihak. Hubungan baik dengan semua (negara) bisa mengamankan kepentingan nasional kita. Akan menjalankan politik tetangga baik,” ujar Prabowo dalam debat ketiga Pilpres 2024, Minggu (7/1/2024) malam (Kompas, 7/1/2024).
Di sektor perdagangan dan industri, Prabowo-Gibran bakal melanjutkan hilirisasi industri berbasis sumber daya alam. Melalui hilirisasi itu, industri nasional diharapkan bisa tumbuh signifikan dan ekspor komoditas bernilai tambah tinggi semakin meningkat.
Ekonom dari Universitas Indonesia dan juga Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi berpendapat, Indonesia dapat belajar dari pengalaman menangkap peluang perdagangan dan investasi saat awal perang dagang AS-China dan selama pandemi Covid-19. Pada awal perang dagang, baik AS maupun China memindahkan perdagangan dan investasi ke sejumlah negara di kawasan ASEAN.
Di sisi lain, di tengah arus menguatnya friend-shoring, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mampu bersikap netral. Bahkan, Indonesia mampu merangkul dan mencoba mendamaikan sejumlah negara yang tengah berkonflik.
”Modal besar tersebut perlu dilanjutkan dan lebih dikembangkan,” katanya.
Baca juga: Perkiraan Arah Politik Luar Negeri Indonesia di Era Pemerintahan Prabowo