Pemerintah kembali berencana menambah volume PMN untuk BUMN dengan nilai Rp 5,8 triliun untuk dua tahun ke depan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah mengusulkan penyertaan modal negara atau PMN senilai Rp 57,8 triliun secara kumulatif untuk periode 2024-2025. Diharapkan, negara dapat lebih selektif memutuskan perusahaan pelat merah mana yang layak diberi suntikan modal. Pemberian PMN yang tidak efektif justru malah akan membuat penggunaan anggaran negara sia-sia.
Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, pekan lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengajukan penyertaan modal negara (PMN) tambahan dengan rincian Rp 13,6 triliun untuk 7 BUMN di tahun 2024 serta Rp 44,2 triliun untuk 16 BUMN di tahun 2025.
Di antara BUMN yang diusulkan mendapat suntikan PMN terdapat sejumlah nama BUMN Karya yang sedang terdesak masalah utang, seperti PT Hutama Karya (Persero), PT Adhi Karya (Persero), dan PT Wijaya Karya (Persero). Selain itu, ada pula nama PT Asabri yang sempat tersandung kasus dugaan korupsi.
Saat dihubungi, Selasa (26/3/2024), Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai, pemerintah dan BUMN acap kali berlindung di balik alasan penugasan khusus untuk menarik uang negara ke dalam BUMN, tanpa mempertimbangkan kesehatan tata kelola dan keuangan BUMN terkait.
”Padahal, PMN semestinya harus memegang dua perspektif untuk direalisasikan, pertama terkait tanggung jawab publik, kedua terkait konsiderasi komersial,” kata Ronny.
Terkait tanggung jawab publik, dalam menyuntik PMN pemerintah mesti punya pertimbangan seberapa penting tugas publik BUMN yang membebani kondisi finansial perseroan. BUMN baru dianggap layak mendapatkan investasi tambahan dari negara jika mengerjakan proyek yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Terkait pertimbangan dari sisi komersial, prospek bisnis proyek-proyeknya harus jelas dan menguntungkan. Namun, terdapat syarat bahwa dari sisi finansial, kondisi keuangan perseroan harus berkategori sehat, layak mendapatkan tambahan modal, dan tata kelola perusahaan yang baik.
”Beberapa BUMN sebenarnya belum memenuhi kedua kriteria tersebut. Jadi, misi publiknya tidak terlalu urgent, pun secara komersial dan finansial BUMN karyanya belum terlalu clear, mulai dari beban utang yang besar sampai governance yang masih rawan moral hazard,” papar Ronny.
Proyek strategis
Salah satu pertimbangan pemerintah menginjeksi modal Hutama Karya adalah perseroan tengah mengerjakan proyek strategis nasional (PSN), yakni Jalan Tol Trans-Sumatera. Namun, bagi Ronny, proyek tersebut masuk ke dalam kategori infrastruktur komersial, bukan jalan publik yang bebas akses.
”Karena itu, opsi pertama harus diberikan kepada swasta. Jika tidak ada, opsi kedua public private partnership, bukan menggunakan PMN lewat BUMN. Apalagi, track record BUMN Karya kurang bagus secara komersial karena jalan tol yang sudah dibangun justru dijual kembali dalam kondisi yang belum profitable atas alasan butuh dana,” ujarnya.
Mengutip laman Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, PMN merupakan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain dengan tujuan sebagai modal yang akan dikelola oleh BUMN.
Adapun penyaluran PMN dapat dilakukan dengan dua skema, yaitu tunai dan nontunai yang contohnya dalam bentuk konversi utang pokok menjadi tambahan modal.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohamad Faisal menjelaskan bahwa BUMN memang punya peran ganda, yakni mencari keuntungan sembari melaksanakan proyek untuk kepentingan publik. Ada kalanya, pemerintah perlu menyuntik PMN kepada perseroan untuk mempercepat capaian target pembangunan.
Urusan PMN harus dilihat secara case by caseserta secara profesional dan transparan.
Namun, lajut Faisal, PMN jangan sampai digunakan untuk menambal kinerja tidak sehat, baik dari sisi manajemen keuangan, sumber daya manusia, maupun tata kelola kelembagaan, dari perusahaan pelat merah. Pemberian PMN yang serampangan malah akan membuat pengguanaan anggaran negara kurang efisien.
”Misalnya, dana PMN malah digunakan untuk membeli barang modal ketimbang kebutuhan operasional. Kalau seperti ini, PMN tidak akan memberikan efek multiplier kepada publik,” ujarnya.
Tolok ukur
Dalam kesempatan rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Erick Thohir menyebut bahwa saat ini besaran nilai dividen yang diberikan BUMN kepada kas negara sudah lebih tinggi dari PMN yang diinjeksi pemerintah untuk BUMN. Realisasi setoran dividen BUMN pada 2023 mencapai Rp 82,1 triliun. Adapun target setoran dividen BUMN tahun ini dipatok Rp 85,5 triliun.
Meski begitu, Ronny mengingatkan setoran dividen BUMN tidak bisa menjadi tolok ukur atau faktor utama dalam menentukan besaran PMN. Dividen disumbang oleh BUMN yang sehat, terutama dari BUMN di sektor perbankan, bukan dari BUMN karya. ”Dengan demikian, urusan PMN harus dilihat secara case by case serta secara profesional dan transparan,” ujarnya.
Menurut Ronny, apa pun kondisinya, pemerintah wajib menanamkan PMN kepada perseroan yang mengemban misi publik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, seperti bidang komoditas pokok, energi kelistrikan, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar.
”Tapi, BUMN yang lebih mementingkan pembangunan infrastruktur komersial, seperti jalan tol, saya kira harus dipertimbangkan matang-matang sebelum memberi PMN. Dengan kata lain, dividen BUMN tak bisa dipandang sebagai justifikasi PMN. Itu dua hal yang berbeda,” katanya.