Rezim Ekonomi Prabowo: ”Segala Cara” untuk Genjot Pertumbuhan
Tingkat utang dan defisit fiskal negara akan tetap dijaga. Prabowo-Gibran tidak mungkin bisa ”melawan” pasar.
Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang baru saja resmi diumumkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih versi hasil hitung riil saat ini dihadapkan pada satu pertanyaan penting: bagaimana cara mendanai janji-janji kampanye mereka yang ambisius saat pemilu?
Salah satu janji Prabowo-Gibran yang spektakuler adalah mengerek pertumbuhan ekonomi hingga 6-7 persen, di atas tren pertumbuhan satu dekade terakhir yang stagnan di 5 persen. Baru-baru ini, saat berpidato di Mandiri Investment Forum di Jakarta, 5 Maret 2024, Prabowo bahkan optimistis ekonomi masih bisa dikerek hingga tumbuh 8 persen dalam 4-5 tahun ke depan.
Itu baru satu. Masih ada janji-janji lain yang tidak kalah ambisius, seperti program andalannya untuk memberikan makan siang gratis bagi anak sekolah, anak balita, dan ibu hamil. Berbagai spekulasi pun mengemuka mengenai strategi Prabowo-Gibran untuk mengerek pertumbuhan ekonomi dan membiayai kebijakan-kebijakan ekspansifnya.
Baca juga: Jangan Melampaui Batas, Pak Prabowo
Terkait hal itu, Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Drajad Wibowo, yang juga menjadi anggota dewan pakar di tim pemenangan Prabowo-Gibran, mengatakan, Prabowo akan menempuh segala cara untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi sesuai target.
”Segala sesuatu ditempuh untuk menggenjot pertumbuhan. Jadi, gas-nya yang akan dikencangkan, sesuai lagu (saat kampanye) saja. Gas pol, oke gas, oke gas,” kata Drajad saat ditemui di Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Secara umum, ujarnya, Prabowo-Gibran akan melanjutkan kebijakan ekonomi pemerintahan Joko Widodo. Namun, arah kebijakan itu tidak sepenuhnya sama.
”Ada beberapa penekanan yang nanti berbeda, meski narasinya adalah keberlanjutan kebijakan. Ibarat kakak dan adik saja bisa berbeda, kan. Contohnya, kebijakan makan siang gratis, itu program berbeda yang kami harap nanti bisa menggenjot pertumbuhan,” ucap Drajad.
Gas-nya yang akan dikencangkan, sesuai lagu (saat kampanye) saja. Gas pol, oke gas, oke gas.
Tambah utang?
Meski demikian, ia menjamin tingkat rasio utang dan defisit fiskal negara akan tetap dijaga. Sebelumnya memang sempat muncul spekulasi bahwa Prabowo-Gibran akan memperlebar batas defisit fiskal menjadi 2,8 persen atau mendekati batas aman 3 persen yang diatur di undang-undang. Memperlebar defisit fiskal berarti menambah utang negara.
Spekulasi itu muncul setelah pidato Prabowo di acara Mandiri Investment Forum yang menyatakan bahwa defisit anggaran yang saat ini masih di kisaran 2 persen sebenarnya bisa dinaikkan menjadi 2,8 persen. Yang penting, menurut Prabowo saat itu, defisit masih di bawah batas maksimum defisit anggaran yang ditetapkan undang-undang, yaitu 3 persen.
Perkembangan Defisit Anggaran APBN
Saat itu, Prabowo juga membandingkan Indonesia dengan negara-negara Uni Eropa seperti Perancis, Jerman, dan Italia, yang defisit fiskalnya bahkan sudah di atas 6 persen.
Terkait itu, Drajad mengatakan, defisit fiskal akan dijaga di batas aman. Apalagi, Indonesia saat ini sedang dalam proses aksesi menjadi anggota ”Klub Negara Maju” atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Dalam proses aksesi itu, defisit fiskal Indonesia dipantau ketat agar tetap di batas aman sebagai syarat menjadi anggota.
Baca juga: Makan Siang Gratis dan Jebakan Ilusi Fiskal
”Pak Prabowo itu sangat memahami pentingnya disiplin fiskal. Selain itu, beliau juga sangat paham bahwa tidak ada satu presiden atau perdana menteri pun di dunia yang bisa melawan pasar. Sebab, kita tahu untuk menjaga kepercayaan pasar itu ada syarat-syarat dan disiplin tertentu yang harus dijaga,” katanya.
Tidak menaikkan tarif pajak
Menurut dia, alih-alih menambah utang, Prabowo akan menggenjot penerimaan pajak lewat berbagai cara. Dari membenahi sistem, menutup celah kebocoran pajak, hingga memajaki aktivitas ekonomi ilegal atau ekonomi bawah tanah. Salah satunya, dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang terpisah dari Kementerian Keuangan.
Prabowo dalam berbagai kesempatan memang menjanjikan target ambisius untuk mengerek rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 16 persen dari 10 persen saat ini. Berbagai kajian menunjukkan, 15 persen adalah rasio ideal untuk negara berkembang. Kalau penerimaan pajak kuat, pemerintah tidak perlu berutang untuk membiayai kebijakannya.
”Kita akan tutup kebocoran pajak di sistem pajak kita, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan menyasar ekonomi ilegal. PPN kita itu sangat underdeveloped. Potensi-potensi penerimaan yang selama ini sering hilang, itu yang kita benahi. Intinya, dengan BPN nanti, Anda-anda yang nakal akan lebih sulit nakalnya nanti,” katanya.
Pemerintah mesti memilah prioritas untuk dijalankan terlebih dahulu. Menaikkan pendapatan tidak segampang yang dibayangkan.
Upaya mendongkrak penerimaan pajak itu diupayakan tidak membebani masyarakat. ”Tidak akan ada kenaikan tarif. Kalau kenaikan tarif PPN dari 11 persen jadi 12 persen tahun depan itu, kan, sudah keputusan dua tahun lalu. Tetapi, kita lihat kalau nanti penerimaan aman, semua masih mungkin (untuk menurunkan tarif), tergantung nanti,” paparnya.
Sangat-sangat tidak realistis
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto menilai, target pertumbuhan ekonomi yang dipasang Prabowo-Gibran sebenarnya sangat-sangat tidak realistis dengan konteks perekonomian Indonesia saat ini. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, ekonomi RI hanya bisa tumbuh rata-rata 5 persen.
”Indonesia itu bisa tumbuh 5 persen juga sudah cukup bagus. Pertumbuhan di atas 5 persen butuh inovasi dan peningkatan produktivitas. Sedangkan realitasnya produktivitas Indonesia mengalami stagnasi,” katanya.
Baca juga: Jalur Ekonomi Indonesia Kian Terjal Menuju Negara Maju
Meski pertumbuhan ekonomi perlu didongkrak, pemerintah perlu berhati-hati. Ada prinsip kehati-hatian fiskal yang harus dipenuhi agar utang negara tidak membengkak. ”Pemerintah mesti memilah prioritas mana untuk dijalankan terlebih dahulu dengan memperhitungkan cost-benefit. Menaikkan pendapatan tidak segampang yang dibayangkan,” ucap Teguh.
Senada, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menegaskan, selain kehati-hatian menjaga defisit fiskal dan rasio utang negara, pemerintahan baru perlu berhati-hati agar upaya penerimaan pajak tidak sampai membebani masyarakat menengah-bawah dan sektor usaha yang masih bergumul.
”Rambu-rambunya jelas. Jangan sampai kenaikan pajak membebani masyarakat kecil. Apalagi, di saat ini daya beli sedang turun. Kenaikan tarif pajak, misalnya, hanya akan berakhir kontraproduktif terhadap kondisi ekonomi,” katanya.
Sebaiknya, optimalisasi penerimaan pajak bisa ditempuh dengan memperbaiki sistem dan mencegah kebocoran pajak. Selain itu, menyasar sektor-sektor usaha yang pertumbuhannya sedang melejit tinggi atau sektor yang selama ini kerap menghindari kewajiban pajak, seperti sektor ekstraktif.
“Sektor-sektor yang kontribusi pertumbuhannya lagi cukup tinggi, itu bisa dijadikan champion pajak. Jangan menyasar sektor yang lagi turun. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” ucap Tauhid.