Defisit Fiskal dan Pasar Modal dalam Bayang Kemenangan Prabowo
Pelebaran defisit fiskal akan menambah utang negara dan memengaruhi pasar keuangan dan pertumbuhan ekonomi.
Prabowo Subianto dengan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, resmi menjadi calon presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2024 pada Rabu (20/3/2024). Kemenangan pasangan ini sudah terprediksi sejak hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan rekapitulasi sementara Komisi Pemilihan Umum yang menunjukkan keunggulan mereka dibanding dua pasangan peserta lainnya.
Pelaku pasar modal pun tidak banyak beraksi atas pengumuman tersebut. Kondisi ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih banyak bergerak mengikuti kejadian penting lainnya, terutama yang berkaitan dengan perekonomian dan politik wilayah luar negeri. Peristiwa yang tengah menjadi perhatian adalah pengumuman rencana penurunan suku bunga tahun ini dan kelanjutan perang di Timur Tengah.
Sejak hari-H pengumuman kemenangan Prabowo dan Gibran oleh KPU hingga Kamis (21/3/2024), IHSG naik turun di atas level 7.300. Posisi itu masih positif setelah IHSG melewati harga tertinggi sepanjang sejarah pekan sebelumnya, Kamis (14/3/2024), di posisi 7.433,3. Kinerja IHSG yang saat ini tumbuh sekitar 6 persen dibanding tahun lalu, menurut banyak analis, tidak lepas dari kepastian pasar akan penurunan suku bunga di masa depan.
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna, dalam kegiatan berbuka puasa bersama wartawan di Jakarta, Rabu (20/3/2024) kemarin, menilai, saat ini pelaku pasar termasuk investor tidak bersikap wait and see atas peristiwa politik di dalam negeri. Menurutnya, masyarakat kini sudah dapat membedakan dinamika politik dan pelaksanaan perekonomian.
Baca juga: Rezim Ekonomi Prabowo: ”Segala Cara” untuk Genjot Pertumbuhan
”Bisa lihat dari data yang ada, tiga kali pelaksanaan pemilu termasuk pemilu yang terakhir, relatif enggak berpengaruh pada pasar modal. Artinya, maturity investor sudah kelihatan. Kalau sebelumnya ada wait and see, kami berharap, para (bisnis) owner di kondisi saat ini sudah confirm siapa yang jadi pemenang, dan kelanjutan dari perekonomian kita dan program-program yang ada, tentu optimistis,” ujar Nyoman.
Kendati demikian, kelangsungan dan rencana kebijakan perekonomian oleh calon presiden dan wakil presiden terpilih menjadi sorotan pelaku pasar, bahkan sebelum pemilu diselenggarakan.
Program unggulan yang banyak digembar-gemborkan pasangan Prabowo-Gibran adalah program makan siang dan minum susu gratis kepada anak-anak sekolah, para santri, ibu hamil, dan anak balita di Indonesia. Program itu diperkirakan membutuhkan anggaran Rp 450 triliun setahun. Ini hampir sama dengan dana perlindungan sosial tahun 2024 sebesar Rp 496,8 triliun, atau setara 15 persen belanja negara.
Kebutuhan dana yang besar itu membuat banyak pihak menduga pemerintah transisi kini berstrategi dengan menetapkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 di rentang 2,45-2,8 persen produk domestik bruto (PDB). Meski masih di bawah 3 persen, target itu lebih longgar dari penetapan defisit APBN 2024 yang sebesar 2,29-2,3 persen.
Baca juga: Mengalkulasi Nilai Program Makan Siang Gratis
Defisit anggaran atau defisit fiskal adalah kelebihan belanja pemerintah dibandingkan pendapatannya. Semakin besar angka persentase defisit anggaran yang ditargetkan, semakin besar pengeluaran yang bisa diambil pemerintah dibandingkan pendapatan yang diterima. Jika lebih besar pasak daripada tiang, tentu pemerintah berpotensi berutang untuk menutup kekurangan anggaran tersebut.
Pada periode yang sama dengan target defisit fiskal 2025 disahkan pemerintah, Prabowo Subianto menyinggung defisit fiskal saat berpidato pada acara Mandiri Investment Forum 2024 di Jakarta, Selasa (5/3/2024). Hal ini disampaikan setelah mengungkapkan keinginannya menaikkan rasio pajak Indonesia untuk membiayai program-program pemerintah.
Prabowo, yang berpidato dalam bahasa Inggris, pun menyebut bahwa defisit anggaran yang saat ini sekitar 2 persen sebenarnya bisa dinaikkan menjadi hingga 2,8 persen. Ia menilai, batas maksimum 3 persen yang diadopsi Indonesia dari Uni Eropa itu bagus meski negara-negara di ”Benua Biru” tidak lagi menggunakan kebijakan tersebut. Ia mencontohkan defisit anggaran Perancis, Jerman, dan Italia bahkan sudah di atas 6 persen.
Indonesia pernah menerapkan defisit fiskal di atas 3 persen. Ini terjadi selama masa pandemi Covid-19, tepatnya sejak tahun 2020. Pemerintah menerbitkan peraturan pengganti undang-undang yang memungkinkan defisit APBN di atas 3 persen selama tiga tahun. Strategi ini terbukti ampuh memperkuat ketahanan dan mempercepat pemulihan pertumbuhan ekonomi yang sempat terkontraksi minus 2,07 persen pada tahun 2020 dibanding 2019.
Utang dan pasar keuangan
Pelebaran defisit fiskal yang bisa menambah utang negara selayaknya diikuti kemampuan pemerintah mengatur likuiditas keuangan untuk membayar utang. Pasalnya, kebijakan ini bisa berimplikasi pada likuiditas pasar keuangan dan sektor riil.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, skenario yang mungkin dilakukan pemerintah untuk menambah utang adalah menerbitkan produk obligasi di bursa pasar modal, yakni Surat Berharga Negara (SBN).
Baca juga: Kenaikan Tarif PPN Bisa Jadi Bumerang
SBN diketahui mendominasi utang pemerintah. Di awal 2024, total utang pemerintah yang sebanyak Rp 8.253,09 triliun mayoritasnya adalah SBN senilai Rp 7.278,03 triliun. Utang SBN tersebut lebih banyak disumbang investor domestik sebesar Rp 5.873,38 triliun, diikuti SBN dalam bentuk valuta asing sebesar Rp 1.404,65 triliun. Sementara itu, sisa utang negara berasal dari pinjaman sebesar Rp 975,06 triliun dengan Rp 938,83 triliun di antaranya dari luar negeri.
Kementerian Keuangan tahun ini menargetkan penjualan SBN senilai Rp 666 triliun dalam APBN 2024, naik 115 persen dibandingkan Rp 308 triliun dalam realisasi tahun 2023. Dengan longgarnya defisit anggaran pada 2025, ada peluang untuk menambah target penjualan SBN pada tahun depan.
Fenomena itu, kata Bhima, disebut sebagai crowding out effect, yakni perebutan dana di pasar keuangan antara penerbitan SBN dan produk keuangan lain. ”Akibat dari crowding out effect, likuiditas di pasar keuangan lebih banyak parkir di SBN karena imbal hasil lebih menarik,” ujar Bhima.
Per 21 Maret 2024, imbal hasil obligasi negara 10 tahun sebesar 6,58 persen dan imbal hasil obligasi pemerintah dalam valuta asing sebesar 5,08 persen. Imbal hasil ini lebih besar daripada deposito yang berkisar setengah imbal hasil SBN. Imbal hasil SBN juga lebih tinggi dibanding yield dari berbagai produk investasi reksa dana sepanjang 2023.
Tidak hanya unggul dari produk investasi atau keuangan berisiko rendah lainnya, bertambahnya SBN karena pelebaran defisit fiskal juga dapat menurunkan minat investor berinvestasi di produk saham.
”Konsekuensinya, investasi di sektor riil juga kekeringan likuiditas, kemudian perusahaan yang mau IPO (mencatatkan saham perdana) juga kalah saing sahamnya dengan SBN. Bahkan, imbas lain sampai penyaluran kredit perbankan yang lebih lambat,” ujarnya.
Tambah pemasukan
Daripada berutang setelah melonggarkan defisit fiskal, pemerintah diharapkan mencari solusi yang lebih bijak untuk memperbesar anggaran program pemerintah.
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai, menambah utang dengan menjual SBN, terutama ke dalam negeri, memang terbukti membantu negara dalam banyak hal. SBN yang diperkenalkan sejak 2005 menjadi salah satu instrumen andalan untuk pembiayaan defisit anggaran. Instrumen ini bagus untuk menahan tekanan nilai tukar dan tekanan asing sehingga menguatkan nilai tukar rupiah.
”Tetapi, tetap saja yang namanya utang walaupun (banyak) dari dalam negeri, ada bunga yang harus dibayarkan. Itu bisa memberatkan. Sekarang, pemerintah sudah harus membayar bunga utang sebesar Rp 500 triliun dari APBN,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Baca juga: Masyarakat Belum Sejahtera, Rasio Pajak Sulit Naik
Menambah pemasukan pun menjadi alternatif yang lebih baik daripada berutang. Meningkatkan rasio pajak hingga pendapatan ekspor jadi pilihan. Kenaikan rasio pajak memang menjadi kebijakan yang sering diserukan Prabowo. Ini relevan dengan rasio pajak yang saat ini tergolong masih rendah, yakni sekitar 10 persen terhadap PDB. Lagi-lagi, angka ini di bawah negara-negara peer Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, yang bisa sekitar 16-18 persen.
Seolah mengamini hal tersebut, pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas konsumsi barang dan jasa menjadi 12 persen pada 2025. Nilai itu naik dari nilai PPN hari ini yang berada di angka 11 persen. Lagi-lagi, kebijakan ini menjadi kontroversi di masyarakat. Kenaikan PPN akan menaikkan harga barang dan jasa yang harus ditanggung masyarakat.
”Masalahnya, ini berefek kontraksi juga pada pertumbuhan ekonomi, dikaitkan dengan daya beli nasional yang rendah. Pajak ini, kan, yang kena seluruh masyarakat yang melakukan transaksi. Ini tidak fair karena bebannya sama antara yang kaya dan miskin. Ini memang enggak mudah. Alternatif lainnya adalah menggenjot pendapatan dari ekspor. Kalau ekspor meningkat, beban utang turun, risiko turun,” imbuhnya.
Dalam hal ini, Indonesia pun masih perlu menghadapi tantangan perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Di tengah berbagai tantangan yang ada untuk menambah pemasukan, pemerintah transisi dan yang mendatang di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran perlu lebih cermat dalam kebijakan besar pasak daripada tiang defisit fiskal.
Baca juga: Rasio Pajak Masih Rendah, Upaya Mencegah Kebocoran Diperkuat