Masalah Internal dan Penugasan Pemerintah Gelembungkan Utang BUMN Karya
BUMN Karya terbelit beban utang tinggi. Masalah tata kelola dan model bisnis investor memperparah situasi ini.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masalah beban utang menumpuk yang membelit sejumlah badan usaha milik negara di sektor konstruksi atau BUMN Karya ditenggarai muncul karena permasalah internal dalam tata kelola. Situasi ini diperparah oleh beban penugasan proyek dari pemerintah yang tidak dilandasi perencanaan yang matang.
Salah satu BUMN Karya yang kini tengah terbelit beban utang adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Berdasarkan laporan keuangan triwulan III-2023, perseroan tercatat memiliki liabilitas Rp 84,1 triliun, tertinggi dibandingkan dengan beban utang BUMN karya lainnya. Adapun proporsi utang terhadap total aset perseroan mencapai 87,1 persen.
Sementara itu, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk tercatat sebagai BUMN Karya dengan nilai liabilitas tertinggi kedua sebesar Rp 55,6 triliun. Dengan total aset mencapai Rp 66,6 triliun, proporsi utang perseroan terhadap total aset sebesar 83,5 persen.
Waskita Karya yang dalam enam tahun terakhir mengubah model bisnis dari kontraktor menjadi investor.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan, tumpukan beban utang yang ditanggung BUMN Karya dipicu oleh masalah internal terkait tata kelola perseroan. Ia mencontohkan Waskita Karya yang dalam enam tahun terakhir mengubah model bisnis dari kontraktor menjadi investor.
”Bisnis model investor adalah mereka berupaya membangun banyak jalan tol untuk kemudian dijual. Keuntungan yang lebih tinggi dari hasil penjualan akan dinvestasikan atau digunakan untuk proyek di tempat lain,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Persoalan di Waskita Karya, Toto melanjutkan, adalah bahwa kecepatan perseroan dalam mendivestasi aset tol yang mereka kerjakan terhambat oleh sejumlah hal. Salah satunya harga jual yang kelewat mahal. Padahal, modal pembangunan tol mulai dari akuisisi lahan hingga konstruksi jalan tol bersumber dari berbagai instrumen utang.
Di tengah upaya untuk merestrukturisasi utang, perseroan mendapatkan penugasan-penugasan pemerintah untuk membangun infrastruktur lain. Menurut Toto, kondisi ini justru malah menambah beban keuangan dari Waskita Karya, terlebih penugasan pemerintah kerap tidak diimbangi dengan penempatan ekuitas.
”Hingga akhirnya semua menumpuk hingga tiba di suatu masa hingga mereka mengalami problem likuiditas. Itu menyebabkan BUMN Karya berada dalam situasi seperti saat ini di mana kebutuhan kreditor tidak bisa dipenuhi dan utang jatuh tempo tidak bisa dibayar,” ujar Toto.
Restrukturisasi utang
Direktur Keuangan Waskita Karya, Wiwi Suprihatno, mengatakan, restrukturisasi utang akan efektif pada akhir triwulan I-2024. Upaya tersebut, termasuk juga penandatanganan master restructuring agreement (MRA) dengan 21 kreditor yang direncanakan juga selesai di akhir triwulan I-2024. Namun, Wiwi belum membuka skema MRA yang akan dijalankan.
Beberapa pekan lalu, tepatnya pada 21-22 Februari 2024, Waskita Karya baru saja menggelar empat rapat umum pemegang obligasi (RUPO). Hasil RUPO menyetujui perpanjangan tanggal jatuh tempo, tingkat bunga, dan mekanisme pembayaran bunga untuk tiga obligasi miliki WSKT.
Ketiga obligasi yang dimaksud adalah Obligasi Berkelanjutan III Tahap III Tahun 2018, Obligasi Berkelanjutan IV Tahap I Tahun 2020, dan Obligasi Berkelanjutan III Tahap II Tahun 2018.
Sepakati saldo utang
Adapun peserta RUPO Obligasi PUB III Tahap IV Tahun 2019 tidak menyetujui usulan WSKT. Oleh karena itu, WSKT pun berencana menggelar kembali RUPO untuk Obligasi PUB III Tahap IV Tahun 2019 pada 22 Maret 2024.
”Diterimanya usulan restrukturisasi di dalam RUPO diharapkan bisa membuat Waskita Karya melakukan pengondisian atas kondisi suspensi saham,” ujar Wiwi.
Nilai saldo utang yang disepakati dalam MRA mencapai Rp 20,58 triliun atau setara dengan 87,1 persen jumlah utang yang direstrukturisasi per 23 Januari 2024.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Wijaya Karya, Mahendar Vijaya, menginformasikan bahwa perseroan telah menyepakati MRA dengan 11 lembaga keuangan. Nilai saldo utang yang disepakati dalam MRA mencapai Rp 20,58 triliun atau setara dengan 87,1 persen jumlah utang yang direstrukturisasi per 23 Januari 2024.
Wijaya Karya juga menggelar RUPO untuk Obligasi Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap II Tahun 2021 dan Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUPSU) untuk Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap II Tahun 2021 pada 16 Februari 2024. Wijaya Karya telah mengantongi restu pemegang obligasi dan sukuk terkait perpanjangan pembayaran pokok.
Akuisisi dan merger
Menurut Toto, restrukturisasi utang perlu menjadi prioritas dalam menyelesaikan penyelesaian persoalan utang yang membelit BUMN Karya dalam jangka pendek. Namun, di luar itu, terdapat alternatif penyelesaian utang lewat mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ataupun penyertaan modal negara (PMN).
Sementara untuk jangka panjang, Toto berpendapat, perlu dilakukan perbaikan struktur keuangan. Porsi ekuitas harus ditingkatkan agar terjadi kesimbangan dengan unsur keuangan dari utang. Apabila PMN dari pemerintah kian terbatas, opsi mengundang investor menjadi strategis.
Selain itu, di tengah tren merger perusahaan plat merah, Toto melihat langkah akuisisi atau merger BUMN Karya dapat menjadi alternatif lain untuk meningkatkan daya saing perusahaan milik negara di sektor konstruksi.
”Cara kerjanya, aset dan ekuitas yang meningkat jadi faktor positif saat negosiasi dengan kreditor. Spesialisasi setiap BUMN Karya juga bisa difokuskan dan perseroan bisa saling berbagi sarana dan fasilitas untuk meningkatkan efisiensi,” ujar Toto.