Realisasi DMO minyak goreng pada Februari 2024 hanya 41,2 persen. Hak ekspor CPO juga menumpuk sebanyak 5,58 juta ton.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga minyak goreng untuk rakyat, berupa minyak curah dan kemasan sederhana merek Minyakita, naik. Hal ini terjadi lantaran pasokan minyak goreng yang berasal dari kewajiban memasok kebutuhan domestik atau DMO minyak goreng tersebut seret.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada pekan pertama Maret 2024, harga rerata nasional minyak goreng Rp 17.825 per liter. Harga komoditas tersebut naik 0,44 persen dibandingkan harga rerata pada Februari 2024.
Kenaikan harga minyak goreng itu terjadi di 236 daerah atau 65,56 persen dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia. Jumlah daerah tersebut bertambah dari pekan kelima Februari 2024 yang sebanyak 228 daerah.
Sementara berdasarkan Sistem Informasi Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (Kemendag), per 13 Maret 2024, harga rerata nasional minyak goreng curah dan Minyakita sama, yakni Rp 15.600 per liter. Harga tersebut di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah Rp 14.000 per liter.
Pada Februari 2024, realisasi DMO hanya mencapai 123.536 ton atau 41,2 persen dari target DMO bulanan sebanyak 300.000 ton.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Penting Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Bambang Wisnubroto, Rabu (13/3/2024), mengatakan, kenaikan harga minyak goreng curah dan Minyakita terjadi lantaran realisasi pemenuhan DMO rendah. Pada Februari 2024, realisasi DMO hanya mencapai 123.536 ton atau 41,2 persen dari target DMO bulanan sebanyak 300.000 ton.
”Realisasi DMO pada Februari 2024 itu terendah sejak Juni 2022,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri secara hibrida di Jakarta.
Kemendag mencatat, penurunan realisasi DMO minyak goreng itu terjadi sejak Desember 2023. Pada Desember 2023, realisasi DMO tersebut sebanyak 249.044 ton atau 83 persen dari target bulanan. Kemudian pada Januari 2024, realisasi DMO itu turun menjadi 212.115 ton atau 70,7 persen dari target bulanan.
Bambang menjelaskan, penurunan realisasi DMO itu terjadi lantaran permintaan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunan masih rendah. Salah satu indikasinya, hak ekspor minyak sawit sebagai insentif atas pemenuhan DMO masih menumpuk, yakni 5,58 juta ton atau setara kebutuhan ekspor 2,5 bulan.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan permintaan ekspor minyak sawit tersebut rendah. Saat ini, harga CPO dunia lebih tinggi dibandingkan harga minyak nabati lain. Hal ini membuat negara pengimpor minyak sawit Indonesia, termasuk China dan India, menyubstitusi minyak sawit dengan minyak nabati lain yang harganya lebih rendah.
”Selain itu, penerapan undang-undang produk bebas deforestasi Uni Eropa (EUDR) turut memberikan sentimen negatif terhadap permintaan minyak sawit,” katanya.
Menurut Bambang, Kemendag telah bertemu dengan 78 produsen CPO dan minyak goreng yang memiliki kewajiban DMO pada 4 Maret 2024. Dalam pertemuan itu, Kemendag mendorong mereka mendistribusikan DMO minyak goreng paling banyak dalam bentuk Minyakita.
Kemendag juga meminta mereka segera merealisasikan DMO tersebut. Pemenuhan DMO itu minimal harus 70 persen dari total jumlah DMO setiap perusahaan.
”Kami juga akan memberikan teguran tertulis kepada pelaku usaha yang realisasi DMO-nya masih rendah,” ujarnya.
Dalam rapat tersebut, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Tomsi Tohir Balaw meminta setiap pemerintah daerah mencermati dan mengatasi kenaikan harga minyak goreng. Ia juga berharap Kemendag tidak hanya menegur pelaku usaha yang realisasi DMO-nya masih rendah.
”Kemendag juga perlu meminta kepastian waktu kepada pelaku usaha tersebut untuk merealisasikan DMO,” kata Tomsi.
Sementara itu, Deputi Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono mengemukakan, minyak goreng curah dan Minyakita merupakan minyak goreng yang berasal dari pemenuhan DMO. Waktu itu, pemerintah menerapkan kebijakan tersebut lantaran pengusaha minyak sawit dan produsen minyak goreng lebih suka mengekspor komoditas itu saat harganya tinggi.
Dengan kebijakan DMO itu, ekspor CPO dan produk turunan diperbolehkan asal ada persentase tertentu dari komoditas itu yang dijual di dalam negeri. Yang terjadi saat ini, pasar ekspor minyak sawit tengah lesu, tetapi produksi minyak goreng curah dan Minyakita justru sedikit.
Hal tersebut menunjukkan produsen enggan memproduksi minyak goreng curah dan Minyakita. Jadi, kalaupun mereka mau memproduksi, hanya sekadar memenuhi kewajiban.
Padahal, lanjut Edy, secara teori, jika ekspor minyak sawit rendah, produksi CPO di dalam negeri seharusnya berlimpah. Kalau produksi CPO di dalam negeri berlimpah, seharusnya harga minyak goreng curah dan Minyakita juga turun seperti harga minyak goreng premium.
”Hal tersebut menunjukkan produsen enggan memproduksi minyak goreng curah dan Minyakita. Jadi, kalaupun mereka mau memproduksi, hanya sekadar memenuhi kewajiban,” katanya.
Untuk itu, Edy mengusulkan agar pemerintah kembali duduk bersama dengan para produsen CPO dan minyak goreng. Pemerintah perlu berbicara dan meminta tolong kepada mereka agar meningkatkan produksi minyak goreng curah dan Minyakita untuk memenuhi lonjakan permintaan selama masa Ramadhan-Lebaran.