Saat Surya dan Hujan Bergantian Mengairi Sawah di Muara Enim
PLTS irigasi dengan kapasitas 38 kWp dimanfaatkan sejumlah petani di Desa Karang Raja, Muara Enim.
Di tengah cuaca yang semakin tak menentu, para petani sawah tadah hujan di Desa Karang Raja, Kecamatan Muara Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, biasanya hanya bisa pasrah menghadapi kemarau. Namun, sekitar setahun terakhir, mereka tetap bisa menanam padi karena keberadaan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS yang menyedot dan mengalirkan air sungai ke sawah.
Tangan Mida Mulyana (41) dengan cekatan menanam padi di kala matahari mulai naik di atas langit Karang Raja, Jumat (1/3/2024) pagi. Bersama tujuh perempuan petani lain, ia menyambut hari dengan bekerja demi mendapat upah harian. Gemuruh suara kereta api batubara rangkaian panjang (babaranjang) yang melintas di atas rel di tengah hamparan sawah seakan ikut menyemangati mereka.
”Upah kami (dari pemilik sawah) Rp 60.000 per hari. Sudah setahun ini, setelah ada PLTS, lumayan bisa panen tiga kali, padahal biasanya kalau kemarau sawah dibiarkan saja karena enggak ada air (hanya panen dua kali),” tutur ibu dari dua anak itu.
Baca juga: Energi Terbarukan Belum Terakselerasi
Mida dan tujuh perempuan petani lain menggantungkan hidup dari bertani di sawah seluas 3 hektar. Suami mereka pun bekerja serabutan. Ada yang menjadi buruh tani, tukang ojek, ataupun pekerjaan-pekerjaan harian lainnya. Sebelumnya, saat kemarau panjang tiba, mereka mencari pekerjaan apa pun demi menutupi kebutuhan sehari-hari keluarga.
”Sebelumnya, kalau enggak bisa bertani, kami cari pekerjaan apa saja. Cuci, setrika, bantu-bantu katering. Rata-rata dapat sekitar Rp 1 juta per bulan. Itu sebenarnya enggak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-sehari ditambah keperluan anak saya yang sekolah di SMA. Ya, dicukup-cukupi saja. Kadang pinjam ke tetangga, untuk tutup sana tutup sini,” ujar Mida.
Perempuan petani lainnya, Yulinar (52), juga menuturkan, ada pendapatan tambahan setelah pengairan sawah di Karang Raja menjadi lebih optimal dengan memanfaatkan PLTS. Sebelumnya, para petani sempat mencoba mengandalkan pompa untuk menarik air saat musim kemarau. Namun, biaya penggunaan solar (bahan bakar) dirasa mahal. Belum lagi urusan pupuk yang memakan biaya.
Baca juga: Energi Surya di Sumsel Diharapkan Tumbuh dari Atap-atap
PLTS irigasi Karang Raja ialah program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PT Bukit Asam Tbk (PTBA), perusahaan BUMN batubara Indonesia, yang berkantor pusat di Tanjung Enim, Muara Enim. Program tersebut diresmikan pada Februari 2023 melalui serah terima dari perusahaan kepada pemerintah desa berupa 76 keping panel surya, pompa air, serta bak penampungan air.
Dalam praktiknya, air dari Sungai Enim disedot dengan menggunakan pompa intake yang bekerja pada siang hari dengan memanfaatkan listrik dari PLTS bertenaga 38 kilowatt-peak (kWp). Air kemudian dialirkan ke bak penampungan yang berjarak sekitar 200 meter dari pompa intake untuk nantinya mengairi sawah yang dibutuhkan para petani.
Ada pendapatan tambahan setelah pengairan sawah di Karang Raja menjadi lebih optimal dengan memanfaatkan PLTS.
Assistant Manager Sustainable Community Development PTBA Dewa Made Dwi Parmana mengatakan, setelah beroperasi, keterlibatan PTBA tak signifikan. ”Dioperasikan oleh desa. Pemerintah desa menunjuk penanggung jawab sebanyak 4-5 orang untuk mengoperasikannya. Sebab, kan, perlu perawatan juga alat-alatnya, termasuk pipa dan pompanya. Paling, kalau ada trouble (kendala), mereka melakukan konsultasi ke kami,” katanya.
Sebagaimana karakter PLTS yang intermiten (bergantung cuaca), PLTS beroperasi optimal hanya dari pukul 10.000 hingga 14.00. Saat matahari berada di puncaknya, kapasitas pompa bisa 20 liter per detik, tetapi rata-rata sepanjang beroperasi berkisar 12-13 liter per detik.
Diakui Dewa, PLTS irigasi belum menyelesaikan semua kendala pertanian di Desa Karang Raja, tetapi untuk skala mikro, manfaatnya sudah dirasakan. ”Tentu tidak bisa 100 persen menyelesaikan masalah karena perlu juga sistem (irigasi) yang baik. Tapi, setidaknya sudah ada sumber air. Selanjutnya perlu ada pengembangan swadaya atau melibatkan pemangku kepentingan lain,” ujarnya.
Selain di Karang Raja, kata Dewa, PLTS irigasi juga ada di Desa Tanjung Raja, Muara Lawai (Muara Enim), dan Nanjungan (Kabupaten Lahat). Pembangkit surya efektif bagi kebutuhan para petani yang selama ini hanya mengandalkan air hujan untuk irigasi.
Fleksibel
Koordinator Subnasional Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Rizqi Prasetyo menuturkan, selain memiliki potensi besar dan tersedia di hampir semua daerah, energi surya yang dimanfaatkan dengan fotovoltaik (PV) bersifat fleksibel dan modular. Artinya, ukuran sistem dan jenis pemanfaatannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Pemanfaatan PLTS untuk membantu masyarakat memang lebih banyak mengandalkan CSR perusahaan ataupun pemerintah dalam penyediaan lahan.
Saat ini, kata Rizqi, pemanfaatan PLTS untuk membantu masyarakat memang lebih banyak mengandalkan CSR perusahaan ataupun pemerintah dalam penyediaan lahan. Ke depan, melalui edukasi dan sosialisasi, masyarakat atau kelompok tani dapat digerakkan sehingga lebih terlibat dan berkontribusi secara berkelanjutan, meski di sisi lain, pendanaan menjadi faktor krusial.
”Pendanaan bisa dari pemerintah ataupun dicarikan dari sumber lain. Sebab, kalau dari petani, langsung pasti cukup berat. Jadi, pembiayaan lain untuk mengompensasi pemasangan PLTS irigasi akan dibutuhkan. Tak kalah penting adalah edukasi kepada berbagai kelompok tani sehingga dengan pemanfaatan energi terbarukan ini mereka diharapkan semakin produktif,” ujar Rizqi.
Baca juga: Sumsel Pacu Energi Terbarukan di Tengah Ketergantungan pada Fosil
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, kapasitas terpasang energi surya di Sumsel saat ini sebesar 7,75 megawatt-peak (MWp). Jumlah tersebut masih jauh di bawah potensi energi surya di provinsi itu yang sebesar 17.233 MWp.
Kepala Seksi Energi Baru Terbarukan Dinas ESDM Sumsel Dewi Yusmarni mengakui, kapasitas terpasang pembangkit energi surya yang hanya 7,75 MWp jauh di bawah potensinya. Pengembangan energi terbarukan yang dalam waktu dekat pun lebih pada energi panas bumi, sampah, dan pembangkit hidro (air). Seiring perkembangan, ia berharap PLTS atap bakal semakin dilirik oleh banyak pihak.
Salah satu perusahaan di Sumsel yang memanfaatkan PLTS adalah PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (Pusri), BUMN pupuk di Indonesia, dengan total kapasitas terpasang 110 kilowatt-peak (kWp). Hal itu menjadi bagian dari dekarbonisasi atau upaya penurunan emisi perusahaan, di samping dengan efisiensi energi, penanaman pohon, serta penggunaan kendaraan listrik.
Vice President Lingkungan Hidup Pusri KM Yusuf Riza mengatakan, pada 2024 akan ada penambahan kapasitas PLTS sebesar 100 kWp. ”Sementara target dari Pupuk Indonesia (perusahaan induk BUMN pupuk) sebesar 500 kWp. Kami usahakan pada tahun 2025 atau 2026 target tersebut sudah bisa tercapai,” ujarnya.
Dari rencana pemasangan PLTS dengan total kapasitas 100 kWp itu, akan ada penurunan emisi sebesar 114 ton karbon dioksida (CO2) ekuivalen. Sementara dari program efisiensi energi ditargetkan ada penurunan emisi 8.400 ton CO2 ekuivalen serta dari penanaman pohon sebesar 100 ton CO2 ekuivalen. Dengan demikian, total target penurunan emisi sepanjang 2024 ialah 8.614 ton CO2 ekuivalen.
Energi surya, yang bersifat intermiten atau bergantung cuaca, memang tak bisa dioptimalkan sepanjang hari. Namun, pemanfaatan sekecil apa pun ada pengurangan emisi gas rumah kaca yang akan berdampak pada kelangsungan bumi di masa depan. Implementasi energi terbarukan yang bisa menggerakkan roda perekonomian warga, seperti PLTS irigasi, perlu dioptimalkan di berbagai daerah di tengah melimpahnya potensi energi terbarukan.
Baca juga: Indonesia Harus Ambil Peluang dalam Transisi Energi