Indonesia Harus Ambil Peluang dalam Transisi Energi
Kolaborasi menjadi kunci penting untuk mewujudkan program transisi energi di Indonesia. Ada peluang dan tantangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Darmawan Prasodjo menyebut ada sejumlah peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia dalam program transisi energi. Peluang tersebut adalah menarik investasi masuk sebanyak mungkin untuk pengembangan energi terbarukan. Namun, tantangan dalam transisi energi di Indonesia juga tak mudah.
”Sampai 2040 nanti akan ada penambahan kapasitas terpasang listrik di Indonesia sebesar 80 gigawatt (GW) dan 75 persennya dari energi baru dan terbarukan, sisanya berbasis gas. Transmisi yang dibutuhkan sepanjang 47.000 kilometer. Semuanya butuh investasi 152 miliar dollar AS,” katanya dalam pidato pembukaan diskusi bertajuk ”Road to PLN Investment Days 2024” di Jakarta, Rabu (6/3/2024), yang digelar PLN dan harian Kompas.
Adapun narasumber diskusi adalah Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN Evy Haryadi; Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar; pakar energi dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Deendarlianto; dan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri.
Darmawan melanjutkan, kolaborasi menjadi kunci penting untuk mewujudkan program transisi energi di Indonesia. Menurut dia, PLN tidak mungkin menanggung beban program tersebut sendirian. Kolaborasi untuk urusan investasi dan pemanfaatan teknologi amat sangat dibutuhkan. Dari seluruh program penambahan kapasitas listrik energi baru dan terbarukan tersebut, swasta akan diberi porsi 60 persen dan sisanya dikerjakan PLN.
”Ini tantangan luar biasa, tetapi ada peluang di balik itu semua. Semoga ini menjadi awal baru di mana semangat kolaborasi bisa menjadi pendorong program transisi energi di Indonesia,” ujarnya.
Di acara yang sama, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jisman Hutajulu menambahkan, listrik sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi, kapasitas listrik juga harus ditingkatkan. Peluang untuk menambah porsi energi terbarukan di Indonesia sangat besar untuk menaikkan kapasitas terpasang listrik tersebut.
”Bagaimana peluangnya? Ada 3,6 terawatt (setara dengan 3.600 GW) energi terbarukan di Indonesia. Apalagi, harga listrik energi terbarukan semakin murah,” katanya.
Kolaborasi menjadi kunci penting untuk mewujudkan program transisi energi di Indonesia. PLN tidak mungkin menanggung beban program tersebut sendirian.
Tak hanya peluang berupa potensi energi terbarukan di Indonesia yang besar, kata Jisman, peluang pengembangan industri di bidang energi terbarukan juga ada. Salah satunya adalah industri manufaktur pengembangan fotovoltaik untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Beberapa mineral penting sebagai sumber bahan baku juga ada di Indonesia.
Terkait pengembangan manufaktur energi terbarukan, menurut Deendarlianto, Pusat Studi Energi UGM melakukan studi pemetaan terkait kemampuan manufaktur di bidang energi terbarukan pada 2017-2019. Hasilnya, manufaktur energi terbarukan didorong untuk dilakukan di luar Jawa karena biaya produksi di Jawa tak bisa bersaing (lebih mahal).
”Namun, industrialisasi yang ada di luar Jawa (saat ini) ternyata tidak mendukung itu. Maka, kita harus mendorong industrialisasi ke arah sana. Industri apa yang hendak kita bangun, kita siapkan. Selain itu, teknologi lokal juga harus dimanfaatkan (untuk percepatan pengembangan energi terbarukan di satu daerah),” tuturnya.
Ragam tantangan
Adapun ragam tantangan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, menurut Yose, ialah apakah Indonesia siap atau tidak dalam mencari investor untuk memacu energi terbarukan nasional. Salah satu yang diperlukan yakni regulasi. Bukan hanya regulasi terkait kelistrikan, melainkan juga yang bisa menjamin ketersediaan barang-barang yang diperlukan dalam transisi energi, termasuk bagaimana meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain.
”Semua perlu dikolaborasikan. Tak hanya regulasi kelistrikan, tetapi juga, misalnya, perdagangan luar negeri. Kita harus terbuka sehingga bisa mengambil keuntungan dari (perkembangan) harga dan teknologi. Perlu kolaborasi dengan berbagai pihak, baik di tingkat kawasan maupun global,” kata Yose.
Hambatan lain yang dipetakan pemerintah adalah letak sumber listrik dari energi terbarukan berjauhan dengan sumber permintaan listrik.
Tak hanya itu, Evy menuturkan bahwa ada masalah mengenai tingkat komponen dalam negeri sebesar 60 persen dalam pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan. Sementara saat ini, kemampuan tingkat komponen dalam negeri baru sekitar 40 persen, khususnya untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Wanhar membenarkan mengenai ragam hambatan tersebut di atas. Di dalam internal pemerintah sendiri (antar kementerian/lembaga) masih menjadi diskusi hangat dan belum ada solusi yang dicapai. Hambatan lain yang dipetakan pemerintah adalah letak sumber listrik dari energi terbarukan berjauhan dengan sumber permintaan listrik. Sumber energi terbarukan di Indonesia berlokasi banyak di luar Jawa, sementara sumber permintaan listrik terpusat di Jawa.