Aturan Baru PLTS Atap Tak Menarik bagi Rumah Tangga
Investasi PLTS atap rumah tangga baru akan mencapai titik impas lebih dari delapan tahun.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi peraturan tentang pembangkit listrik tenaga surya atap atau PLTS atap dinilai tidak lagi menarik bagi pelanggan rumah tangga karena tidak adanya penghitungan kelebihan energi listrik. Padahal, nilai kelebihan energi listrik yang dihasilkan selama ini menjadi insentif guna mempercepat pengembalian investasi dalam pemasangan PLTS atap rumah tangga.
Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) yang diundangkan pada 31 Januari 2024. Peraturan itu menggantikan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang hal yang sama.
PLTS atap ialah pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan modul photovoltaik yang dipasang dan diletakkan pada atap, dinding, atau bagian lain dari bangunan milik pelanggan PLTS atap. Salah satu keuntungan pemasangan PLTS atap ialah penghematan biaya tagihan listrik bulanan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), serta mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan.
Namun, lantaran bersifat intermiten, produksi listrik dari PLTS atap relatif efektif bisa digunakan pada siang hari. Artinya, pada malam hari, saat kebutuhan listrik rumah tangga dalam kondisi tinggi, rumah tersebut akan tetap menggunakan listrik dari PLN.
Salah satu substansi perubahan dalam aturan baru tentang PLTS atap ialah perubahan dalam pengaturan ekspor energi listrik. Sebelumnya, jika produksi listrik melebihi kebutuhan, energi akan masuk jaringan IUPTLU dan akan menjadi pengurang tagihan listrik bulan berikutnya. Namun, dalam aturan baru, nilai kelebihan listrik ke jaringan IUPTLU tak diperhitungkan lagi.
”Masalahnya, pemakaian listrik rumah tangga kebanyakan pada malam hari, sedangkan energi surya ada pada siang hari. Sementara bagi industri tidak ada masalah karena (listrik) diproduksi dan dipakai pada siang hari juga. Sekarang tidak ada lagi ekspor-impor listrik (yang mengurangi tagihan), jadi tidak menarik untuk rumah tangga,” ujar kata Ketua Dewan Pakar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Arya Rezavidi di sela-sela sosialisasi Peraturan Menteri ESDM No 2 Tahun 2024 di Jakarta, Senin (5/3/2024).
Arya menuturkan, saat ekspor-impor listrik masih berlaku, investasi PLTS atap rumah tangga, dari penghitungan pihaknya, baru akan mencapai titik impas(break even point) lebih dari delapan tahun. ”Sekarang, dengan tak ada ekspor impor, mungkin akan lebih dari itu,” ujarnya.
Sekarang tidak ada lagi ekspor-impor listrik, jadi tidak menarik untuk rumah tangga.
Perubahan lain dalam aturan PLTS atap terbaru adalah tidak ada lagi pembatasan kapasitas paling tinggi 100 persen dari daya tersambung. Namun, ada kuota pengembangan sistem PLTS atap yang disusun pemegang IUPTLU untuk diusulkan kepada Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM. Adapun kuota pengembangan sistem PLTS atap disusun untuk jangka waktu lima tahun.
AESI menyoroti sistem kuota tersebut, terutama terkait kepastian dan transparansi penetapan sistem kuota, khususnya dalam sistem di setiap daerah/subsistem. Di samping itu, klausul mengenai evaluasi kuota PLTS setiap lima tahun bisa menghambat iklim pengembangan PLTS yang sebenarnya ditargetkan bertumbuh pesat.
Menurut data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, hingga Januari 2024, realisasi pemanfaatan PLTS atap mencapai 149,2 megawatt-peak (MWp). Industri menjadi sektor dominan dengan 82,72 MWp, disusul bisnis 21,78 MWp. Sementara itu, rumah tangga sebesar 20,81 MWp. Namun, dari segi jumlah, rumah tangga ada di posisi tertinggi dengan 5.805 pelanggan, sedangkan bisnis 1.756 pelanggan dan industri 190 pelanggan.
Bauran energi terbarukan
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menuturkan, urgensi revisi peraturan terkait PLTS atap, antara lain, karena realisasi yang masih jauh dari target yang mencapai 3,6 gigawatt pada 2025. Selain itu, juga adanya sejumlah keluhan dari pelanggan dan para pemangku kepentingan terkait dengan pembatasan kapasitas.
”Kami juga melihat tata kelolanya (perlu perbaikan), khususnya terkait waktu persetujuan permohonan. Juga mengenai bauran energi terbarukan. Terus terang, PLTS atap ini menjadi alternatif untuk mendorong energi terbarukan (dalam bauran energi) pada 2025. Kami harapkan ini bisa mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan,” ujarnya.
Direktur Retail dan Niaga PLN Edi Srimulyanti mengatakan, PLTS memiliki sifat intermiten yang membuat listrik berfluktuasi. Dengan demikian, perhitungan kuota PLTS atap secara optimal diperlukan untuk menjaga keandalan pembangkit PLN. Sejumlah tahapan diperlukan dalam penghitungan kuota tersebut.
”Pertama, kami harus menghitung beban puncak di masing-masing sistem, khususnya pada siang hari. Kedua, kami harus menghitung kebutuhan pembangkit minimum pada sistem. Misal, pada PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) itu tidak bisa tiba-tiba langsung padam atau menyala. Kami harus hitung semua. Selain itu, juga ada penghitungan pembangkit baru,” kata Edi.
PLN menyiapkan sejumlah hal dalam menyambut Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 itu. Hal itu, antara lain, kesiapan sistem administrasi untuk pelanggan existing, pengiriman usulan kuota per sistem paling lambat 31 April 2024, dan pengklusteran per unit 10 hari setelah penetapan. Juga, sosialisasi revisi permen ESDM hingga penetapan kuota pada aplikasi PLN Mobile selambatnya pada Juni 2024.