Lantaran subsidi dikenakan pada barang, orang yang sebenarnya tak berhak menikmati subsidi bisa mendapatkan barang itu.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebanyak Rp 186,9 triliun. Anggaran subsidi tersebut lebih tinggi dari realisasi pada 2023 lalu yang sebanyak Rp 159,6 triliun. Pemerintah pernah berjanji menertibkan penyaluran subsidi agar tepat sasaran dan mencegah keuangan negara bocor ke pihak yang tak berhak mendapat subsidi. Hingga kini, belum ada tanda-tanda janji itu terealisasi.
Anggaran subsidi Rp 186,9 triliun itu terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji Rp 113,3 triliun serta subsidi listrik Rp 73,6 triliun. Jenis BBM yang masih mendapat subsidi dari negara adalah pertalite dan biosolar, sedangkan elpiji bersubsidi adalah yang berukuran 3 kilogram (kg) atau di masyarakat kerap disebut sebagai ”gas melon”. Pertalite dijual Rp 10.000 per liter, biosolar Rp 6.800 per liter, dan elpiji bersubsidi di tingkat pengecer sekitar Rp 20.000 per tabung.
Sayangnya, menurut pengakuan pemerintah, tak semua subsidi negara tersebut tepat sasaran. Pasalnya, subsidi dikenakan pada harga komoditas, bukan orang sebagai penerima subsidi. Lantaran subsidi dikenakan pada barang, orang yang sebenarnya tak berhak menikmati subsidi bisa mendapatkan barang bersubsidi tersebut dengan mudah di pasaran. Hal itu memungkinkan karena belum ada mekanisme khusus tentang tata cara jual beli barang bersubsidi.
Masyarakat mampu masih memungkinkan membeli elpiji 3 kg di pengecer. Orang kaya pemilik mobil pun masih bebas membeli pertalite di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) kendati pembelian per hari dibatasi. Mekanisme pendistribusian BBM dan elpiji bersubsidi yang terbuka memungkinkan siapa saja, baik si miskin maupun si kaya, mendapatkan komoditas bersubsidi tersebut.
Wacana yang dari dulu dilontarkan pemerintah adalah menciptakan mekanisme distribusi tertutup untuk komoditas bersubsidi. Artinya, hanya warga pemilik identitas tertentu yang bisa membeli pertalite, elpiji 3 kg, atau biosolar. Sayangnya, wacana yang sudah diungkap ke publik bertahun-tahun lalu tersebut tak kunjung ada kejelasan realisasinya.
Padahal, berdasar arsip Kompas, 15 Januari 2020, penertiban distribusi tepat sasaran untuk elpiji 3 kg diperkirakan berpotensi menghemat anggaran sampai 30 persen dari total nilai subsidi elpiji dalam setahun. Penghematan itu akan terjadi apabila pengendalian subsidi elpiji mulai diterapkan sejak Januari 2020. Dengan alokasi subsidi Rp 50,6 triliun pada tahun 2020, penghematan subsidi bisa mencapai Rp 15 triliun dalam setahun.
Hal ini senada dengan pertalite. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2021 lalu, proporsi penggunaan pertalite mencapai 79 persen atau tertinggi di antara jenis BBM bensin lainnya, seperti pertamax atau pertamax turbo (Kompas, 15/9/2023). Tren konsumsi pertalite juga terus meningkat setiap tahun. Data tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pengguna tak semua pertalite adalah warga yang memang berhak disubsidi negara.
Penghematan itu akan terjadi apabila pengendalian subsidi elpiji mulai diterapkan sejak Januari 2020. Dengan alokasi subsidi Rp 50,6 triliun pada tahun 2020, penghematan subsidi bisa mencapai Rp 15 triliun dalam setahun.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susesnas) 2020 menunjukkan, desil 1-4 (empat kelompok termiskin) menikmati hanya 20,7 persen pertalite, sedangkan desil 5-10 (terkaya) mengonsumsi 79,3 persen. Sekali lagi, tiadanya mekanisme pendistribusian tertutup untuk pertalite menyebabkan siapa pun bisa membeli BBM bersubsidi tersebut, termasuk si kaya sekalipun.
Lalu, apa yang menghalangi pemerintah untuk menertibkan subsidi energi agar tepat sasaran?
Hanya satu, kemauan politik. Sedari dulu, pemerintah berkutat pada alasan validasi data warga yang berhak menerima subsidi. Anehnya, persoalan-persoalan tersebut tak kunjung tuntas hingga sekarang. Padahal, pemerintah juga rajin menggelontorkan aneka ragam bantuan sosial, terutama menjelang Pemilu 2024 yang berlangsung pada 14 Februari lalu.
Penggalian sumber penerimaan dari pajak dan nonpajak di dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan anggaran pembangunan tersebut. Maka, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah bagaimana menertibkan anggaran subsidi agar tidak bocor sia-sia.
Begitu pula subsidi untuk pertalite. Revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM dengan tujuan penyaluran pertalite menjadi tepat sasaran tak ada kabar kapan selesainya. Padahal, sudah nyata bahwa sebagian anggaran subsidi energi tersebut bocor ke pihak-pihak yang tak berhak menikmati subsidi.
Ingat, Indonesia masih bergantung pada utang-utang untuk membiayai sebagian program pembangunan. Penggalian sumber penerimaan dari pajak dan nonpajak di dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan anggaran pembangunan tersebut. Maka, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah bagaimana menertibkan anggaran subsidi agar tidak bocor sia-sia.
Apakah pemerintahan yang baru untuk periode 2024-2029 nanti mampu menertibkan subsidi energi agar tepat sasaran, agar keuangan negara tidak bocor, dan agar subsidi tersebut bernuansa adil? Waktu yang akan mencatatnya.