Antre Masuk Klub Negara Maju, Regulasi RI Akan ”Dikuliti”
Indonesia dan OECD akan saling berkompromi. Pemerintah tidak ingin mentah-mentah menuruti standar kebijakan negara maju.
Mulai pertengahan tahun ini, Indonesia resmi mengikuti proses ”ujian” menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Satu per satu kebijakan dan regulasi RI akan diuji sesuai standar internasional. Berbagai langkah reformasi pun dapat ditempuh dalam 2-3 tahun ke depan demi lolos masuk ”klub negara maju” itu.
Pertemuan pertama tingkat menteri untuk membahas proses masuk Indonesia ke OECD rencananya akan digelar pada Mei 2024. Sebelum perhelatan itu dimulai, OECD akan merumuskan suatu peta jalan berisi standar kebijakan dan regulasi apa saja yang perlu diikuti Indonesia untuk memenuhi syarat menjadi anggota.
Sebagai bagian dari proses masuk menjadi anggota OECD, satu per satu kebijakan dan regulasi suatu negara akan diuji kesesuaiannya dengan standar internasional yang berlaku. Ini karena OECD menganut prinsip ”koherensi kebijakan” atau standardisasi kebijakan dan produk undang-undang negara anggotanya.
Baca juga: Menimbang Untung-Rugi RI Masuk "Klub Negara Maju"
Setidaknya ada lebih dari 270 standar internasional yang harus dipenuhi negara kandidat lewat berbagai kebijakan dan produk UU-nya. Bukan hanya di bidang ekonomi, melainkan juga non-ekonomi seperti perlindungan lingkungan, penegakan hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, serta penegakan hukum dan antikorupsi.
Di satu sisi, keselarasan standar regulasi itu bisa membuat Indonesia lebih kredibel di panggung global. Kerja sama investasi dan perdagangan bisa semakin lancar dengan adanya ”stempel” sebagai negara yang berkomitmen pada standar internasional sekaligus memecut pembangunan yang lebih inklusif, etis, dan demokratis di dalam negeri.
Potensi benturan
Meski demikian, di sisi lain, ada potensi ”benturan” antara kepentingan negara-negara maju di OECD dan negara berkembang seperti Indonesia. Apalagi, struktur perekonomian, kepentingan, dan kebutuhan keduanya tidak bisa sepenuhnya disamakan.
Saat ini, perbedaan standar kebijakan itu sudah terlihat di sejumlah isu, seperti transisi energi, pengolahan sawit, ekspor hasil komoditas tambang, dan perpajakan. Beberapa kali Indonesia bersengketa dengan negara maju, seperti Uni Eropa, serta mengkritisi kesepakatan forum internasional yang bias negara maju dan merugikan negara berkembang-miskin.
Apa saja aturan yang perlu kita reform, apa yang tidak perlu. Jadi, kita tidak terima plek-plek juga.
Lantas, apakah Indonesia siap dengan konsekuensi harus menyelaraskan semua kebijakan dengan standar OECD? Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (28/2/2024) malam, mengatakan, upaya menyesuaikan kebijakan Indonesia untuk mengikuti standar internasional bukan hal yang mustahil.
”Saat ini pun kita sebetulnya sudah comply (patuh) dengan beberapa standar best practice yang mereka punya. Reformasi struktural sudah kita lakukan lewat Undang-Undang Cipta Kerja dan itu banyak diapresiasi. Jadi, ini bukannya tidak mungkin kita capai,” katanya usai menjamu makan malam para perwakilan duta besar negara OECD di Hotel Langham, Senayan, Jakarta.
Ruang kompromi
Meski demikian, ia menekankan, tidak semua standar kebijakan itu akan diikuti sepenuhnya. ”Setiap negara tentu punya kedaulatan untuk menyusun regulasinya karena yang disebut best practice. Itu sifatnya tidak mesti sesuatu yang seragam, yang penting value atau nilai yang dipegang sama,” ujar Airlangga.
Wakil Menteri Luar Negeri Pahala Nugraha Mansury menambahkan, menjadi anggota OECD bukan berarti Indonesia harus mengikuti semua peraturan yang disyaratkan negara maju. Dalam proses menjadi anggota, diperlukan saling kompromi antara Indonesia dan OECD mengenai kebijakan dan UU apa yang mesti diselaraskan.
”Nanti setelahroadmap dari mereka keluar, kita akan sama-sama mendiskusikan. Apa saja aturan yang perlu kita reform, apa yang tidak perlu. Jadi, kita tidak terima plek-plek juga. Di setiap proses aksesi akan ada (kompromi) seperti itu,” katanya.
Baca juga: Alasan Pemerintah "Kebelet" Gabung Klub Negara Maju
Mengutip tulisan analis kebijakan ekonomi internasional Kementerian Keuangan, Retno Maruti dan Adriansyah, yang dimuat di Lowy Institute pada 17 Oktober 2023, ”Indonesia and Its Bid for OECD Membership”, ada lima area utama yang lazimnya dievaluasi OECD sebelum menerima anggota baru.
Kelima bidang itu adalah reformasi struktural, rezim perdagangan dan investasi yang terbuka, kebijakan yang mempromosikan kesetaraan, tata kelola pemerintahan dan upaya antikorupsi, serta perlindungan lingkungan. Lima poin ini bisa menjadi ”risiko” mengingat saat ini Indonesia sulit memenuhi sebagian besar syarat tersebut.
Dianggap restriktif
Dari segi rezim perdagangan dan investasi yang terbuka, berdasarkan OECD Investment Policy Review of Indonesia pada 2020, Indonesia dianggap sebagai negara yang sangat restriktif terhadap investasi internasional jika dibandingkan negara ASEAN lainnya. Kritik soal ini juga beberapa kali disampaikan Bank Dunia.
Dari segi tata kelola pemerintahan dan antikorupsi, Indonesia mengalami langkah mundur pascarevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada 2019. Sesudah UU itu direvisi, sejumlah kewenangan KPK dipreteli dan membuat kinerja lembaga itu tidak seefektif sebelumnya.
Untuk penuhi standar tadi, semua (kebijakan) bisa di- review kembali. Kalau perlu mengubah regulasi, kita reform UU-nya.
Indonesia juga masih sulit memenuhi syarat perlindungan lingkungan. Berbagai kebijakan dan sudut pandang Indonesia, seperti atas isu transisi energi, pengolahan tambang, serta hilirisasi, kerap tidak sejalan dengan standar internasional.
OECD dalam kajian ”Clean Energy Finance and Investment Policy Review of Indonesia” pada 2021 pun menyoroti hal itu. OECD menyayangkan investasi bahan bakar fosil yang masih terus mendominasi di Indonesia. Sementara investasi energi bersih masih jauh dari ideal.
Reformasi ekonomi
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, tidak menutup kemungkinan, dalam waktu 2-3 tahun ke depan (sesuai target Indonesia menuntaskan proses masuk OECD), ada beberapa langkah reformasi melalui revisi UU dan pembuatan UU baru di berbagai bidang tersebut yang akan dikeluarkan pemerintah demi memenuhi syarat menjadi anggota OECD.
”Untuk penuhi standar tadi, semua (kebijakan) bisa di-review kembali. Kalau perlu mengubah regulasi, kita reform UU-nya. Intinya, ini momentum kita mereformasi kembali. Dulu kita sudah gulirkan reformasi struktural ekonomi lewat UU Cipta Kerja. Sebanyak 78 UU kita gabungkan. Sekarang kita harus naik lagi ke reformasi berstandar internasional,” katanya.
Baca juga: Maju Bersama OECD?
Indonesia cukup ambisius memasang tenggat 2-3 tahun sejak proses menjadi anggota OECD dimulai pada Mei 2024. Artinya, pada Mei 2026 atau 2027, Indonesia berharap sudah bisa lolos menjadi anggota ”klub negara maju”.
Ini termasuk cepat karena biasanya suatu negara harus menunggu 4-8 tahun untuk disetujui sebagai anggota OECD. Kosta Rika, sebagai negara terakhir yang bergabung pada 2021, harus menunggu lima tahun. Kolombia yang bergabung pada 2020 butuh waktu tujuh tahun. Sementara, Brasil sudah lima tahun menjalani proses dan belum juga lolos sebagai anggota.
Indonesia sendiri memulai langkah awal mengajukan surat permohonan keanggotaan OECD sejak Juli 2023. Pada Februari 2024, dalam tujuh bulan, permohonan Indonesia untuk memulai proses masuk resmi disetujui ke-38 negara anggota.
”Kita sudah diingatkan bahwa ini perlu waktu lama karena ada ratusan standar internasional yang kita harus comply. Namun, Presiden Joko Widodo sudah beri target tiga tahun mesti selesai. Melihat proses sejauh ini yang cepat, kami yakin bisa berjalan lancar. Permohonan aksesi kita bisa diterima dalam waktu tujuh bulan saja banyak negara lain yang ngiri,” tutur Susiwijono.