Peremajaan Sawit Terkendala Regulasi dan Keterbatasan Anggaran
Peremajaan sawit terkendala regulasi, termasuk menyangkut status lahan, dan keterbatasan anggaran.
JAKARTA, KOMPAS — Peremajaan sawit rakyat selama ini hanya tercapai 30 persen dari target 180.000 hektar per tahun. Kondisi tersebut terjadi akibat kendala regulasi, termasuk menyangkut status lahan, dan juga keterbatasan anggaran petani dalam meremajakan tanamannya.
”Salah satu yang menjadi kendala adalah di regulasi. (Oleh) karena itu, tadi diminta agar Peraturan Menteri Pertanian agar dikaji karena kebun rakyat tidak bisa di-replanting,” kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Airlangga menuturkan hal tersebut seusai mengikuti rapat tertutup yang dipimpin Presiden Joko Widodo terkait peremajaan sawit rakyat. Selain Airlangga, hadir pula Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Agus Harimurti Yudhoyono.
Terkait kendala regulasi, Airlangga menyebut dua hal yang diminta dalam rapat. ”Satu, mengenai sertifikat. (Dan), kedua, rekomendasi dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” katanya.
Airlangga menyebut rekomendasi KLHK bukan hal mudah. Akibatnya, masyarakat yang ingin memiliki sertifikat dan menanam sawit kembali tidak dapat melakukannya. Adapun warga yang sudah memiliki sertifikat diharapkan dapat segera meremajakan sawit karena waktunya dinilai tepat.
Baca juga: Petani Sawit Rakyat Masih Kesulitan Dapatkan Sertifikat Berkelanjutan
Terkait ketelanjuran lahan yang masih menjadi hambatan bagi pekebun, menurut Airlangga, pemerintah berkomitmen mempercepat penyelesaian masalah ini yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
”(Oleh) karena itu, perlu ada percepatan penyelesaian keterlanjuran lahan untuk pekebun rakyat. Termasuk untuk pembagian wilayah TORA (tanah obyek reforma agraria)-nya harus didorong di sana,” ujar Airlangga.
Menurut Agus Harimurti atau AHY, Kementerian ATR akan mendukung sepenuhnya program peremajaan sawit. Namun, diakui, salah satu kendala yang dihadapi petani sawit adalah legalitas atas lahannya.
”Intinya ini harus clear dari kawasan hutan. Dari sinilah kita tentunya juga mengharapkan ada status yang jelas, yang clean and clear, karena tidak boleh kemudian kita tidak mendapatkan jaminan atau kepastian hukum itu. (Sebab) nanti di kemudian hari menjadi masalah hukum,” tutur AHY.
Baca juga: Peremajaan Mendesak untuk Wujudkan Sawit Berkelanjutan
Sejauh ini, menurut AHY, kendala masih bertahan di kepastian lahan yang berada di luar kawasan hutan. Namun, saat ditanya berapa hektar lahan yang terganjal rekomendasi KLHK, dia mengatakan tidak ingat angkanya. ”Tapi, yang jelas masih cukup besar dan ini perlu percepatan-percepatan,” ujarnya.
Presiden Jokowi, menurut AHY, akan mengagendakan rapat lanjutan untuk menyatukan sikap antarkementerian. Terobosan untuk masalah ini diperlukan untuk menyelesaikan program besar peremajaan sawit rakyat yang memiliki potensi ekonomi luar biasa.
Intinya ini harus clear dari kawasan hutan. Dari sinilah kita tentunya juga mengharapkan ada status yang jelas, yang clean and clear, karena tidak boleh kemudian kita tidak mendapatkan jaminan atau kepastian hukum.
Usulan kenaikan dana
Menurut Airlangga, diusulkan pula kenaikan dana penanaman kembali sawit, yakni dari yang sekarang Rp 30 juta menjadi Rp 60 juta. Kenaikan ini diperlukan karena dalam kajian akademisi dan komunikasi dengan pekebun, tanaman sawit yang muda baru bisa berbuah di tahun keempat.
Dana Rp 30 juta dinilai hanya cukup untuk tahun pertama dan kedua. Adapun dengan Rp 60 juta, biaya hidup empat tahun selama masa perawatan tanaman sawit muda dapat tercakup sembari menanam tanaman sela.
Program lain yang bisa diberikan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) adalah pemberian beasiswa keluarga pekebun. ”Itu yang kami bahas, (tapi) rapat belum selesai, nanti akan dilanjutkan lagi,” kata Airlangga.
Baca juga: Serapan Dana Peremajaan Sawit Rakyat Minim, Petani Menanti Kemudahan
Sementara itu, petani kelapa sawit menilai, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) telah menjadi bagian dari kemajuan sawit rakyat. Dukungan pemerintah dibutuhkan guna membangun keadilan bagi rakyat Indonesia untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan petani sawit skala kecil. Lantaran, melalui program PSR, keberadaan perkebunan kelapa sawit milik petani menjadi roda ekonomi rakyat di perdesaan.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Indonesia mendorong adanya dukungan dari pemerintah, terutama dalam membangun keadilan bagi petani kelapa sawit di Indonesia. Program PSR yang telah berjalan selama ini diharapkan mampu menjadikan petani kelapa sawit di Indonesia menjadi lebih baik.
Baca juga: Petani Kesulitan Penuhi Syarat Administrasi Peremajaan Sawit
Menurut Ketua Umum SPKS Sabarudin, keberadaan petani swadaya selama ini selalu terpinggirkan. PSR semestinya dapat memberikan rasa keadilan bagi petani kelapa sawit di Indonesia. Penggunaan dana sawit yang dihimpun Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) selama ini penggunaannya dinilai tidak adil bagi petani.
Menurut Sabarudin, penggunaan dana sawit BPDPKS masih jauh panggang dari api lantaran dana sawit belum mampu menghadirkan keadilan bagi petani kelapa sawit. ”Contohnya, dukungan dana sawit BPDPKS bagi PSR hanya sebesar Rp 30 juta per hektar. (Besaran ini) dirasakan para petani kelapa sawit masih sangat kurang,” katanya.
Terkait hal tersebut, SPKS pada tahun 2020 hingga 2021 mendorong DPR membentuk Panja Sawit. Alhasil, Komisi IV pun membentuk Panja Sawit tersebut. Sejak tahun 2021 hingga 2023, SPKS pun terus mendorong perbaikan tata kelola sawit rakyat. Hal ini ditempuh melalui peningkatan biaya peremajaan sawit dan debirokratisasi dalam mengakses dana sawit. Sebab, petani banyak terjebak dalam berbagai persyaratan.
Baca juga: Atasi Hambatan Peremajaan Sawit demi Dongkrak Produksi
Saat itu, Komisi IV DPR dan bahkan Dewan Perwakilan Daerah telah menyetujui agar dana sawit untuk peremajaan sawit harus ditingkatkan sesuai masukan dari organisasi petani sawit. Namun, pemerintah tidak kunjung mengeksekusi.
”Dana sawit BPDPKS bagi PSR petani swadaya sawit sangat kurang lantaran berdasarkan praktik lapangan, kebutuhan replanting kebun sawit petani berkisar Rp 60 juta hingga Rp 70 juta per hektar,” ujar Sabarudin.
Kebutuhan dukungan pendanaan dari dana sawit yang dihimpun BPDPKS dirasakan petani sawit masih jauh dari mencukupi. ”Sehingga, dibutuhkan kebijakan pemerintah guna meningkatkan dukungan dana sawit BPDPKS menjadi Rp 60 juta per hektar,” katanya.
Dukungan dana sawit BPDPKS menjadi Rp 60 juta per hektar tersebut, menurut Sabarudin, dapat membantu petani menyiapkan lahan perkebunan kelapa sawit miliknya menjadi lebih baik. Selain itu juga mencegah petani sawit skala kecil terjerat utang.
Baca juga: Sawit Rakyat Jadi Salah Satu Senjata Mengentaskan Rakyat dari Kemiskinan
Sebagai gambaran, petani kecil sawit yang sudah berumur 50 tahun akan kesulitan jika masih dibebani utang untuk menambah kekurangan alokasi dana dari BPDPKS demi peremajaan sawit.
Tolak politisasi peremajaan sawit
Di sisi lain, Sabarudin juga menegaskan agar pemerintah tidak melakukan politisasi dana peremajaan sawit dengan menaikkannya di saat musim pemilu. Apabila saat ini pemerintah menaikkan dana penanaman kembali sawit, hal itu akan dinilai janggal. Sebab, sudah selama 2 tahun ini SPKS meminta agar dana peremajaan sawit dinaikkan, tetapi pemerintah justru tidak menyetujuinya.
”SPKS justru mengapresiasi Komisi IV DPR dan DPD yang telah berjuang bersama kami untuk menaikkan dana peremajaan sawit tersebut selama 2 tahun terakhir menjadi Rp 60 juta per hektar,” tutur Sabarudin.
Baca juga: Hilirisasi Sawit Rakyat Bisa dengan Kemitraan dan Kelompok
Oleh karena itu, jika pemerintah ingin menaikkan dana peremajaan sawit, dapat dilakukan setelah ada kejelasan politik. Artinya, sesudah Oktober 2024.
”Jangan memanfaatkan dana sawit ini untuk kepentingan elektoral. Sebab, banyak hal juga yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Joko Widodo walaupun sudah ada peraturannya di sektor sawit, sebut contoh hilirisasi,” katanya.
Selama ini hilirisasi dinilai hanya meningkatkan nilai tambah bagi industri dan tidak berdampak ke petani dan masyarakat. Jika ingin berdampak ke masyarakat dan petani, koperasi rakyat dan badan usaha milik desa juga harus diprogramkan untuk menjalankan hilirisasi agar kesejahteraan tidak hanya berhenti pada sektor industri.