Nasib Kelas Menengah RI, Minim Perhatian dari Pemerintah
Kebijakan pemerintah masih fokus pada warga miskin. Sejumlah insentif bahkan kerap ”meleset” menguntungkan kelas atas.
JAKARTA, KOMPAS — Menyandang status yang ”tanggung” alias tidak miskin tetapi sulit kaya, warga kelas menengah di Indonesia selama ini masih kurang diperhatikan pemerintah dalam berbagai instrumen kebijakan. Kurangnya perhatian terhadap kelas menengah ini bisa menjadi ancaman untuk mimpi Indonesia Emas pada tahun 2045.
Masyarakat kelas menengah selama ini kerap diandalkan sebagai penggerak ekonomi nasional. Meski demikian, kelompok ini masih hidup pas-pasan dari hari ke hari. Hasil liputan Tim Jurnalisme Data Harian Kompasmenunjukkan sebagian besar kelas menengah dan calon kelas menengah usia produktif (17-40 tahun) kesulitan mengatur keuangannya.
Pendapatan mereka lebih kecil dari pengeluaran sehingga membuat gaji kelompok calon kelas menengah minus Rp 181.724 per bulan dan gaji kelas menengah minus Rp 65.529 setiap bulan. Defisit gaji ini membuat mereka sulit menabung dan semakin susah untuk naik kelas menjadi kelas atas atau orang kaya.
Baca juga: Kelas Menengah, Bergaji Terbatas dan Banyak Masalah
Laju pendapatan yang stagnan itu diperkirakan akan berlanjut sampai tahun 2045 ketika Indonesia menginjak usia satu abad atau dikenal dengan momentum ”Indonesia Emas”. Tim Jurnalisme Data Kompasmemproyeksikan, rata-rata gaji calon kelas menengah pada 2030 dan 2045 lebih rendah Rp 384.109 dan Rp 818.472 dibandingkan dengan pengeluarannya.
Demikian pula rata-rata pengeluaran kelas menengah diperkirakan akan lebih tinggi Rp 118.986 pada 2030 dan Rp 431.917 pada 2045 dibandingkan dengan upah yang diterima. Defisit gaji ini bisa melanda sekitar 69 juta warga pada tahun 2045.
Kurang diperhatikan
Meski hidup pas-pasan, kelas menengah di Indonesia masih minim perhatian. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto menilai, sampai saat ini belum banyak kebijakan atau keberpihakan pemerintah kepada kelas menengah.
Kebijakan pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terlalu fokus pada kelompok masyarakat miskin ekstrem dan miskin yang memang perlu dibantu. Di sisi lain, pemerintah beberapa kali dinilai keliru karena mengeluarkan kebijakan intervensi yang lebih menguntungkan kelompok atas.
”Kebijakan seperti bantuan sosial (bansos) hanya untuk kelompok 40 persen terbawah, sedangkan kebijakan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang beberapa kali diberikan pemerintah, seperti untuk pembelian mobil listrik, justru lebih dinikmati oleh kelompok atas ketimbang kelas menengah,” kata Teguh, Selasa (27/2/2024).
Kebijakan untuk kelas menengah, seperti skema perlindungan sosial yang adaptif dan sesuai permintaan (on-demand), masih sangat minim. Sejauh ini, baru program Kartu Prakerja yang menawarkan bantuan pelatihan kerja dan uang saku bersifat on-demand bagi kelas menengah.
Pemerintah merasa berbagai kebijakan yang dilakukan adalah untuk kelas menengah, padahal yang menikmati lebih banyak kelompok atas.
Skema on-demand, menurut Teguh, bisa dimanfaatkan kelas menengah yang rentan terkena guncangan ekonomi, seperti pemutusan hubungan kerja, gagal panen, atau terdampak bencana. Bentuk lainnya adalah menjamin proteksi jaminan kecelakaan kerja dan kematian bagi pekerja rentan nonmiskin, seperti pengemudi ojek daring, kurir, dan pekerja konstruksi.
”Jadi, kelas menengah ini perlu diberi akses untuk bisa mendaftarkan diri mendapat bantuan pemerintah ketika mereka terkena shock. Bansos cukup ditujukan untuk yang membutuhkan (miskin dan rentan),” katanya.
Ekonom senior sekaligus Ketua Tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Raden Pardede, menambahkan, salah satu tantangan jangka pendek untuk melindungi kelas menengah adalah masih minimnya proteksi bagi pekerja informal yang saat ini mendominasi struktur ekonomi nasional.
”Bantuan kelas menengah ini tidak bisa lagi bentuknya bansos karena tidak mendidik. Mereka harus diberi keringanan atau ditanggung pemerintah untuk mengiur perlindungan ketenagakerjaan lewat BP Jamsostek. Ini masih jadi masalah. Sektor formal mereka sudah mengiur dan terlindungi, tetapi bagaimana dengan yang informal?” katanya.
Baca juga: Indonesia Cemas 2045, Pendapatan Kelas Menengah Lebih Kecil dari Pengeluaran
Ia juga menilai, era pekerja bergaji murah sudah tidak bisa lagi diterapkan di Indonesia. Gaji pekerja harus naik untuk mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi dan merata serta menciptakan barisan kelas menengah yang kokoh. Namun, untuk itu, perlu ada intervensi kebijakan pemerintah guna meningkatkan produktivitas dan keterampilan masyarakat.
Ini menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintahan mendatang. ”Kita tidak bisa hanya bertahan di sektor-sektor yang tidak produktif dan mengandalkan gaji murah. Harus shift ke industri atau sektor yang lebih bernilai tambah dan bergaji tinggi, dan untuk itu skill dan produktivitas masyarakat harus dibenahi mulai sekarang,” kata Raden.
Definisi belum jelas
Minimnya perhatian pemerintah kepada kelas menengah ini salah satunya disebabkan oleh belum jelasnya identifikasi mengenai siapa sebenarnya yang dimaksud warga kelas menengah, berapa banyak jumlah kelompok ini di Indonesia, dan seperti apa kondisi hidup mereka. Berbeda dengan kelompok miskin yang datanya secara rutin dipantau dan diperbarui.
Hasilnya, kebijakan sering salah sasaran. ”Pemerintah merasa berbagai kebijakan yang dilakukan adalah untuk kelas menengah, padahal yang menikmati lebih banyak kelompok atas,” kata Teguh.
Untuk menakar lingkup dan besaran kelas menengah di Indonesia, patokan yang kerap dipakai dalam berbagai literatur adalah definisi Bank Dunia yang terakhir kali dituangkan dalam laporan ”Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class” pada tahun 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, kebijakan pemerintah saat ini memang belum optimal untuk melindungi warga kelas menengah.
Bank Dunia mengidentifikasi kelas menengah di Indonesia sebagai orang yang pengeluarannya berkisar Rp 1,2 juta sampai Rp 6 juta dalam sebulan, sementara calon kelas menengah adalah yang pengeluarannya Rp 532.000 sampai Rp 1,2 juta per bulan. Jumlahnya per 2020 sebanyak 52 juta orang (kelas menengah) dan 115 juta orang (calon kelas menengah).
Berdasarkan definisi Bank Dunia itu, Kompas memproyeksikan jumlah kelas menengah di Indonesia turun 4 persen akibat pandemi Covid-19 pada tahun 2021. Sebaliknya, jumlah warga calon kelas menengah naik 10 persen, rentan miskin naik 9 persen, dan miskin naik 2,5 persen.
Teguh berpendapat, untuk merumuskan kebijakan yang tepat sasaran dan tepat guna, pemerintah mesti memiliki definisi yang disepakati sesuai realitas kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia. Kemudian, merumuskan kebutuhan kelas menengah dan kebijakan intervensi untuk menolong mereka.
”Kita sudah bukan negara berkembang. Kelas menengah yang kuat dan produktif adalah kunci kemajuan bangsa. Kalau kelas menengah terus dibiarkan tanpa intervensi, kita harus melupakan mimpi Indonesia Maju di 2045,” ucap Teguh.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Orang Kaya
Pemerintah mengakui
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, kebijakan pemerintah saat ini memang belum optimal untuk melindungi warga kelas menengah. ”Persoalan middle class ini memang sesuatu yang perlu terus kita kalibrasi kebijakan-kebijakannya,” ujar Sri Mulyani dalam acara seminar nasional Outlook Perekonomian Indonesia 2024, akhir Desember 2023.
Sejauh ini, menurut Sri Mulyani, pemerintah masih fokus menangani kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu yang tergolong dalam 20 persen terbawah dari populasi. Sementara untuk kelas menengah, belum ada fokus kebijakan khusus dari APBN. Menurut dia, hal itu karena jangkauan kelas menengah yang cukup besar dan dinamis dibandingkan dengan kelompok miskin.
Untuk saat ini, yang bisa dilakukan pemerintah adalah memastikan akses layanan publik berkualitas baik dan bisa dijangkau masyarakat kelas menengah, seperti infrastruktur, transportasi publik, akses pendidikan dan kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, dan internet terjangkau.
”Itu hal-hal yang jadi kebutuhan middle class. Mereka butuh itu, tetapi tidak punya daya beli yang cukup besar, maka pemerintah harus menyediakan, tetapi dengan harga terjangkau dan kualitas baik,” katanya.