Energi Surya di Sumsel Diharapkan Tumbuh dari Atap-atap
Kapasitas terpasang energi surya saat ini baru 7,75 MWp. Jumlah tersebut masih jauh di bawah potensinya.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Realisasi pemanfaatan energi surya di Indonesia, termasuk di Sumatera Selatan, masih jauh dibandingkan potensinya. Sejumlah tantangan masih mendera, seperti keterbatasan lahan dan investasi yang relatif belum menguntungkan. Namun, pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS diharapkan tumbuh setidaknya dari atap-atap untuk kebutuhan kelistrikan mandiri.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, kapasitas terpasang energi surya di Sumsel saat ini sebesar 7,75 megawatt-peak (MWp). Jumlah tersebut masih jauh di bawah potensi energi surya di Sumsel sebesar 17.233 MWp.
PLTS di kompleks Jakabaring Sport City, Palembang, dengan kapasitas terpasang 2 MWp, menjadi salah satu proyek yang menopang realisasi energi surya di Sumsel. PLTS yang terhubung dengan jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau on grid itu mulai beroperasi pada 2018 atau bersamaan dengan penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang.
Ali Kartili, Manajer Operasi PT Sumsel Energi Gemilang (SEG), badan usaha milik daerah (BUMD) Sumsel yang juga operator PLTS Jakabaring, di Palembang, Selasa (27/2/2024), mengatakan, proyek itu lebih bersifat prestise untuk Asian Games 2018. Proyek itu juga hasil dari joint crediting mechanism (JCM) antara Indonesia dan Jepang dalam pembangunan rendah karbon untuk pencegahan perubahan iklim.
”Proyek ini tidak menguntungkan karena tarif (harga jual listrik ke PLN) yang hanya Rp 889 per kWh (kilowatt jam). Sejak awal sudah kami perkirakan BEP (break even point/titik impas) setelah 17 tahun (sejak awal operasi). Ini lebih pada keuntungan ekologi,” ujar Ali di sela-sela kunjungan peserta Jelajah Energi Sumsel yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR).
Kendati tidak ekonomis, pihaknya meyakini akan tetap bisa mengoperasikan PLTS hingga mencapai BEP. Namun, di sisi lain, Ali berharap ada perbaikan tarif PLTS, misalnya menjadi di atas Rp 1.000 per kWh, agar lebih menguntungkan. Tarif yang ideal, bagaimanapun, diperlukan oleh pelaku usaha.
Kepala Seksi Energi Baru Terbarukan Dinas ESDM Sumsel Dewi Yusmarni mengakui, kapasitas terpasang pembangkit energi surya yang hanya 7,75 MWp jauh di bawah potensinya. Pengembangan energi terbarukan yang dalam waktu dekat pun lebih pada energi panas bumi, sampah, dan pembangkit hidro (air).
Harga jual/tarif listrik yang belum menguntungkan bagi pelaku usaha masih menjadi tantangan. ”Kami juga pernah menyampaikan ke pemerintah pusat soal harga ini. Namun, (apa pun kondisinya) kami tetap terus optimalkan apa yang bisa dilakukan, misalnya pemasangan pada rooftop (atap), baik perusahaan maupun perorangan, agar terus tumbuh,” ucap Dewi.
Program dekarbonisasi
Salah satu perusahaan di Sumsel yang memasang PLTS atap ialah PT Pupuk Sriwidjaja Palembang (Pusri), BUMN pupuk di Indonesia yang memproduksi urea, NPK, dan amonia, dengan total kapasitas terpasang 110 kilowatt-peak (kWp). Hal itu menjadi bagian dari dekarbonisasi atau upaya penurunan emisi perusahaan, di samping dengan efisiensi energi, penanaman pohon, serta penggunaan kendaraan listrik.
Vice President Lingkungan Hidup Pusri KM Yusuf Riza mengatakan, pada 2024 akan ada penambahan kapasitas PLTS sebesar 100 kWp. ”Sementara target dari Pupuk Indonesia (perusahaan induk BUMN pupuk) ialah sebesar 500 kWp. Kami usahakan pada 2025 atau 2026 target tersebut sudah bisa tercapai,” katanya.
Dari rencana pemasangan PLTS dengan total kapasitas 100 kWp itu, akan ada penurunan emisi sebesar 114 ton karbon dioksida (CO2) ekuivalen. Sementara dari program efisiensi energi ditargetkan ada penurunan emisi 8.400 ton CO2 ekuivalen serta dari penanaman pohon sebesar 100 ton CO2 ekuivalen. Dengan demikian, total target penurunan emisi yang diberikan Pupuk Indonesia kepada Pusri sepanjang 2024 ialah 8.614 ton CO2 ekuivalen.
Adapun perusahaan yang didirikan pada 1959 tersebut kini tengah membangun pabrik Pusri-IIIB guna menggantikan Pusri III yang beroperasi sejak 1976 serta Pusri IV yang beroperasi sejak 1977. ”(Nantinya) Bisa mengurangi 40 persen pemakaian gas alam, yang juga akan menekan emisi sekitar 40 persen,” ujar Yusuf.
Koordinator Proyek Dekarbonisasi Industri IESR Faricha Hidayati mengatakan, upaya pemasangan PLTS secara mandiri seperti yang dilakukan Pusri menjadi satu upaya untuk mempercepat kenaikan bauran energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, upaya tersebut juga dalam rangka mempersiapkan Pusri untuk mencapai emisi nol bersih (NZE) pada 2060.
”Selain sumbernya yang tak terbatas, menurut kajian IESR berjudul ’Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024’, energi surya menjadi solusi transisi energi paling efektif karena biaya instalasi dan perawatan yang semakin kompetitif,” ucapnya.
Koordinator Subnasional Program Akses Energi Berkelanjutan IESR Rizqi Prasetyo mengemukakan, surya ialah energi terbarukan dengan potensi terbesar. Namun, sejumlah hambatan dan tantangan yang ada membuat PLTS sulit berkembang sesuai dengan harapan. Untuk sistem on grid, ia pun berharap biaya investasi PLTS atap bisa lebih rendah sehingga lebih berdaya tarik.
Sementara pengembangan PLTS dengan skala besar akan terkendala dengan persoalan ketersediaan lahan. ”Saat ini (PLTS skala besar) yang paling bisa dioptimalkan berkembang adalah PLTS terapung, meski ada pembagian guna lahan, misalnya dengan perikanan. Namun, secara ekonomis dan regulasi, ini yang paling bisa dikembangkan,” tuturnya.