Dalam aturan baru, tak ada lagi pembatasan, tetapi diterapkan sistem kuota. Lalu, tak ada lagi ekspor kelebihan listrik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terkait pembangkit listriktenaga surya atap resmi direvisi. Tidak ada lagi batasan kapasitas produksi meskipun ada pemberlakuan kuota untuk masuk pada sistem. Namun, skema kelebihan produksi listrik, yang sebelumnya dapat diekspor ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ditiadakan.
Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU), yang diundangkan pada 31 Januari 2024. Peraturan itu menggantikan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang hal yang sama.
Dalam aturan lama disebutkan PLTS atap yang akan dipasang calon pelanggan di wilayah usaha badan usaha milik negara (BUMN) pemegang IUPTLU kapasitasnya dibatasi paling tinggi 100 persen dari daya tersambung. Kini, tak ada lagi ketentuan itu. Namun, ada kuota pengembangan sistem PLTS atap yang disusun pemegang IUPTLU untuk diusulkan kepada Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.
Artinya, listrik yang dihasilkan PLTS atap milik pelanggan dapat masuk sistem jaringan PLN selama masih terdapat kuota sistem PLTS atap. Adapun kuota pengembangan sistem PLTS atap disusun untuk jangka waktu lima tahun. Apabila kuota pengembangan sistem PLTS atap pada akhir tahun berjalan masih tersedia, maka menjadi tambahan kuota pada tahun berikutnya.
Dalam Permen ESDM No 2/2024 juga disebutkan, kelebihan energi listrik sistem PLTS atap yang masuk ke jaringan tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah tagihan listrik pelanggan. Artinya, skema ekspor kelebihan listrik tak diberlakukan lagi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Sahid Junaidi, Jumat (23/2/2024), mengatakan, revisi peraturan menteri tersebut merupakan bagian dari upaya memfasilitasi masukan dari berbagai pihak yang ingin berkontribusi dalam pengembangan PLTS atap.
Lewat permen tersebut, diharapkan kesempatan untuk memasang PLTS atap bagi masyarakat kian terbuka, karena tidak berlaku lagi batasan kapasitas. Sepanjang masih tersedia kuota pengembangan PLTS atap, masyarakat bisa mengajukan. ”Ini juga memberi kepastian waktu dalam pengajuan pemasangan PLTS atap kepada PLN,” ujar Sahid.
Selain itu, melalui Permen ESDM No 2/2024, masyarakat yang hendak memasang juga mendapatkan insentif berupa tidak dikenakannya lagi biaya operasi paralel. Dengan demikian, diharapkan ada peningkatan daya tarik, yang dapat membuat pemanfaatan energi terbarukan jenis surya dapat semakin berkembang.
Permintaan puncak listrik mereka terjadi pada malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi pada siang hari.
Menurut data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, hingga akhir 2023, akumulasi kapasitas terpasang pembangkit energi surya ialah 573,8 megawatt (MW). Tercakup di dalamnya PLTS atap on-grid PLN, yang hingga Desember 2023 mencapai 141,14 megawatt-peak (MWp).
Potensi turunkan keekonomian
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, dengan terbitnya Permen ESDM No 2/2024, pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap. Pasalnya, permintaan puncak listrik mereka terjadi pada malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi pada siang hari.
Dalam peraturan sebelumnya, skema net metering atau ekspor listrik digunakan. Melalui meteran ekspor-impor (exim) akan dihitung berapa listrik yang dikirim ke PLN dan berapa pemakaian listrik PLN di rumah. Nantinya, tagihan listrik akan dikurangi oleh listrik yang diekspor ke PLN. Namun, dengan dihapuskannya ketentuan itu dalam aturan baru, kini kelebihan listrik menjadi tidak dihitung.
Menurut Fabby, net-metering sejatinya ialah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS atap. ”Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2-3 kilowatt-peak untuk konsumen kategori R1 (hingga 2.200 VA),” katanya melalui siaran pers, Jumat.
Tanpa adanya net-metering, serta biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum itu tak dapat dipenuhi. ”Dengan demikian, biaya investasi per kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” lanjut Fabby.
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR Marlistya Citraningrum mengatakan, penetapan kuota per sistem jaringan memunculkan pertanyaan terkait transparansi penetapan dan persetujuannya. Sementara mekanisme IUPTLU untuk menambah kuota ketika kuota sistem sudah habis tidak diatur jelas dalam peraturan tersebut.
PLTS atap ialah salah satu opsi pengembangan energi surya di tengah keterbatasan lahan. Namun, kondisi kelebihan pasokan (oversupply) listrik PLN, terutama pada sistem Jawa-Bali, menjadi kendala program bisa terlaksana optimal.
Ekspor listrik juga menambah beban PLN. Alhasil, jalan tengah yang diambil ialah pemasangan PLTS atap diarahkan sesuai dengan konsumsi pelanggan.