Benang Kusut Tol Laut Hambat Produktivitas Sektor Perikanan
Produksi ikan yang besar tidak diimbangi dengan kontainer pendingin serta daya listrik di kapal.
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya efektivitas program tol laut menjadi salah satu sumber ketimpangan produktivitas sektor perikanan laut. Upaya peningkatan produksi perikanan terganjal oleh masalah sistem rantai dingin hingga logistik.
Deputi I Kantor Staf Presiden (KSP) bidang infrastruktur, energi, dan investasi Febry Calvin Tetelepta mengemukakan, ketimpangan produktivitas ekonomi perikanan laut, antara lain, disebabkan lemahnya infrastruktur logistik dan ekonomi antarpulau. Kesimpulan itu diperoleh dari penelusuran tim KSP di pulau-pulau kecil dan terluar Indonesia selama 2023.
Dari hasil pemantauan trayek transportasi laut barang, trayek barang dari Indonesia bagian barat ke timur umumnya penuh, tetapi sebaliknya trayek dari timur ke barat cenderung minim muatan, bahkan kosong. Pemerintah daerah dinilai belum memaksimalkan tol laut untuk mendukung keunggulan komparatif daerah sehingga kapal bisa kembali ke barat dengan membawa penuh angkutan.
Baca juga: Pemanfaatan Tol Laut Belum Seimbang
”Kita lihat tol laut itu jaringannya ke timur sangat baik, tetapi kapal kembali (ke barat) dalam kondisi kosong. Muatan balik tidak imbang. Pemerintah daerah tidak memaksimalkan fasilitas tol laut dengan baik sehingga pengusaha lokal tetap memakai fasilitas murah dan harga-harga tetap semakin mahal,” ujarnya dalam Forum Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan secara hibrida, Selasa (20/2/2024).
Febry menambahkan, ketimpangan bongkar dan muatan balik tol laut membuat subsidi besar yang digelontorkan pemerintah menjadi tidak efektif. Kondisi itu diperparah dengan minimnya ketersediaan kontainer berpendingin (reefer container). Data kontainer berpendingin milik Pelni tahun 2022, misalnya, menunjukkan, total produksi perikanan yang mencapai 16.920 ton hanya ditangani oleh kapal tol laut berkapasitas 846 TEUs, dengan 1 TEUs setara dengan 10-12 ton barang. Hambatan logistik itu dinilai mengganggu pengembangan usaha perikanan nasional.
Dicontohkan, wilayah Kepulauan Aru menghadapi hambatan pengembangan perikanan karena tidak tersedia kontainer basah untuk angkutan tol laut. Halmahera (Maluku Utara) dan Kepulauan Banda (Maluku) merupakan penghasil ikan yang sangat besar, tetapi hasil produksi perikanan kerap busuk akibat minimnya fasilitas gudang pendingin.
”Kita kehilangan hasil ikan yang cukup besar karena produksi yang besar tidak diimbangi dengan ketersediaan kontainer pendingin yang memadai serta sumber daya listrik di kapal. Ini membuat kesulitan tol laut memuat angkutan-angkutan perikanan dari wilayah timur ke barat,” katanya.
Hasil produksi perikanan kerap busuk akibat minimnya fasilitas gudang pendingin.
Hingga kini, penyediaan fasilitas gudang pendingin masih minim. Produksi perikanan tangkap nasional didominasi wilayah Indonesia timur, sedangkan 80 persen gudang pendingin untuk penyimpanan ikan berada di Pulau Jawa. Rantai dingin yang diharapkan menjadi penyangga ketahanan pangan perikanan tidak berjalan optimal.
Ketimpangan produktivitas perikanan nasional berlangsung di tengah pangsa pasar perikanan global yang cenderung meningkat. Dari data riset Skyquest, pasar perikanan laut global diproyeksikan melonjak 115,75 persen selama 2022-2030, yakni dari senilai 338,47 miliar dollar AS pada 2022 menjadi 730,28 miliar dollar AS.
”Produksi perikanan berkembang, tetapi kita lemah dalam pengelolaan dan penyimpanan,” ucap Febry.
”Superhub”
Menurut Febry, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan dan diharapkan program tol laut ke depan mampu menjangkau produksi perikanan di wilayah timur Indonesia. Selain itu, pihaknya bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sedang mendorong superhub yang menurut rencana dibangun di Indonesia bagian timur sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Di samping itu, Maluku Lumbung Ikan Nasional diharapkan dapat masuk dalam RPJMN.
Subsektor perikanan tangkap dinilai belum lepas dari persoalan rantai dingin. Pihaknya juga menawarkan solusi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk bekerja sama membenahi rantai pasok dingin, meliputi sistem pengelolaan untuk domestik dan ekspor, dengan melibatkan BUMN dan swasta. Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai tidak bisa bekerja sendiri dalam mengurai masalah rantai dingin.
”Kami sudah koordinasikan, kami pastikan tahun ini gasifikasi di pulau-pulau terluar akan berjalan serta sentra-sentra perikanan di pulau terluar harus dibangun gudang pendingin yang layak untuk menampung produksi perikanan kita,” ujar Febry.
Direktur Kelautan dan Perikanan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Mohamad Rahmat Mulianda mengemukakan, kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) maritim tergolong besar, yakni 27 persen. Namun, kontribusi PDB maritim terhadap PDB nasional masih rendah, yakni 7,9 persen pada 2022.
Baca juga: Kontribusi Minim, Industri Maritim Butuh Strategi Khusus
Bappenas telah merilis dokumen program ekonomi biru, dengan sektor prioritas meliputi sektor perikanan, pariwisata bahari, industri manufaktur berbasis maritim, perdagangan maritim, transportasi, dan logistik.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, terdapat delapan sektor yang berkontribusi terhadap pembangunan kemaritiman yang dapat didefinisikan sebagai ekonomi biru, yakni perikanan, energi dan sumber daya mineral, sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, sumber daya nonkonvensional, industri kelautan, wisata bahari, perhubungan laut, serta bangunan laut.
CEO dan Founder Ocean Solutions Indonesia Zulficar Mochtar, secara terpisah, berpendapat, stok sumber daya perikanan tangkap terus mengalami penurunan secara global, antara lain karena tren penangkapan berlebihan. Pengembangan perikanan tangkap jangan hanya fokus pada peningkatan volume produksi, tetapi juga optimalisasi peningkatan kualitas dan daya saing produk. Dengan demikian, meski produksi perikanan tetap, kualitas dan nilai ekonomi terus meningkat.
”Sistem rantai dingin, sistem logistik dan rantai nilai, hambatan export tarif dan nontarif harus jadi agenda serius yang diselesaikan pemerintah,” ujarnya, beberapa waktu lalu.