Pengurangan Tenor KPR Subsidi Perlu Data dan Kajian Matang
Pengurangan tenor KPR subsidi perlu diikuti sejumlah program untuk mempercepat mengatasi kekurangan hunian di Indonesia.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah mengurangi jangka waktu atau tenor kredit pemilikan rumah subsidi dari 20 tahun menjadi 10 tahun perlu berbasis data dan kajian matang. Keberpihakan anggaran pembiayaan perumahan dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan (backlog) rumah di Indonesia.
Ketua Umum Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (HUD Institute) Zulfi Syarif Koto saat dihubungi di Jakarta, Kamis (16/2/2024), mengemukakan, selama ini kredit perumahan rakyat (KPR) fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki hunian dengan bantuan pembiayaan dari negara. Namun, fasilitas bantuan pembiayaan yang terbatas membuat akses masyarakat untuk memiliki rumah subsidi masih sedikit sehingga belum optimal mengatasi kekurangan hunian.
Hasil kajian HUD Institute di Banten pada 2023 menunjukkan sebagian masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi nasabah KPR-FLPP berupaya mempercepat pembayaran menjadi 10 tahun. Akan tetapi, muncul pula fakta sebagian nasabah itu menunggak pembayaran karena alasan faktor ekonomi.
Ia menilai, perbaikan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi nasabah KPR-FLPP tidak bisa diprediksi. Kerap terjadi, taraf ekonomi tidak berubah, bahkan menjadi korban pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, pengurangan tenor KPR subsidi menjadi 10 tahun perlu mempertimbangkan skema perpanjangan subsidi jika nasabah lantas kesulitan membayar tingkat suku bunga mengambang(floating rate).
”Harus ada perhatian dan perlindungan terhadap masyarakat yang penghasilannya rentan,” ujar Zulfi.
Sebelumnya, Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Haryo Bekti Martoyoedo mengatakan, jangka waktu KPR bersubsidi melalui FLPP akan diperpendek menjadi 10 tahun. Skema baru itu masih dalam pembahasan dan diharapkan dapat diterapkan mulai tahun 2025 (Kompas, 16/2/2024).
Harus ada perhatian dan perlindungan terhadap masyarakat yang penghasilannya rentan.
Menurut Zulfi, rencana perpendekan tenor KPR-FLPP menjadi 10 tahun perlu paralel dengan upaya pemerintah menyiapkan rumah susun sewa di perkotaan, seperti di Malaysia dan Singapura. Dengan demikian, masyarakat yang tidak mampu membeli rumah lewat skema KPR subsidi dapat menghuni tempat tinggal dengan sistem sewa. Dengan demikian, masalah kepenghunian bisa lebih cepat teratasi.
”Pengurangan tenor subsidi KPR perlu dialihkan untuk pembangunan rumah sewa di perkotaan. Libatkan BUMN perumahan untuk membangun rumah sewa yang bisa dihuni masyarakat, termasuk pekerja di perkotaan,” katanya.
Zulfi menyoroti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 yang memasukkan program sejuta rumah susun sewa, tetapi minim pelaksanaan. Oleh karena itu, penyusunan RPJMN 2025-2029 harus memasukkan kembali program sejuta rumah susun sewa untuk pemerataan dan keadilan di sektor perumahan.
Basis Data
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto mengemukakan, kebijakan memangkas tenor KPR-FLPP itu harus berlandaskan data yang jelas dan kajian matang, di antaranya kajian pasar untuk mengetahui siklus kehidupan ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk kenaikan pendapatan dan jenjang karier.
Selama ini, KPR-FLPP mampu menyubsidi kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah rata-rata 200.000 unit per tahun. Apabila tenor KPR subsidi itu dikurangi, harus ada antisipasi terhadap risiko yang ditimbulkan terhadap kemampuan mencicil.
”Tenor KPR subsidi 10 menjadi tahun dan selanjutnya suku bunga floating bisa menjadi beban baru bagi nasabah jika kenaikan pendapatan belum jelas,” ujar Joko.
Ia menilai, skema pengurangan subsidi suku bunga KPR-FLPP akan lebih kecil dampaknya ketimbang penghapusan subsidi setelah tenor 10 tahun. Dicontohkan, setelah KPR-FLPP berjalan lima tahun, suku bunga kredit dinaikkan menjadi 7,5 persen, 10 persen setelah 10 tahun, dan seterusnya.
CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda berpendapat, keberpihakan anggaran diperlukan untuk mengatasi backlog perumahan. Selama ini, anggaran untuk fasilitas pembiayaan perumahan masih sangat minim, hanya sekiytar Rp 20 triliun per tahun.
Pengurangan tenor KPR subsidi menjadi 10 tahun diharapkan tidak berujung pada pemangkasan fasilitas pembiayaan perumahan. Sisa anggaran dari hasil pemotongan subsidi KPR harus digunakan untuk mempeluas jangkauan masyarakat untuk memiliki rumah dan untuk memperluas jangkauan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah.
”Jangan karena anggaran terbatas, subsidi KPR dipangkas. Perumahan sebagai kebutuhan dasar jangan menjadi anak tiri,” kata Ali.
Ali menambahkan, pemerintah perlu mulai mendorong pembangunan rumah sewa bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan masyararakat menengah yang bekerja di perkotaan. Pengembang perlu dilibatkan untuk pembangunan rusun sewa pada lahan pemerintah, sebagai salah satu bentuk kewajiban pengembang atas kebijakan hunian berimbang berbanding 1:2:3.
Dalam PP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 21, badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang.
Kewajiban hunian berimbang untuk perumahan skala besar memiliki komposisi 1 unit rumah mewah berbanding paling sedikit 2 unit rumah menengah dan berbanding paling sedikit 3 unit rumah sederhana. Sementara pembangunan perumahan selain skala besar memiliki kewajiban hunian berimbang dengan komposisi 1 rumah mewah berbanding paling sedikit 2 rumah menengah dan berbanding paling sedikit 3 rumah sederhana.