Rumor Merger Gojek-Grab, Konsumen dan Mitra Pengemudi Bisa Dirugikan
Perusahaan aplikasi super mempunyai tantangan harus menunjukkan fase profitabilitas berkelanjutan kepada pemegang saham.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rumor merger GoTo dan Grab, jika terlaksana, berpotensi membuat konsumen dan mitra pengemudi mengalami keterbatasan opsi layanan transportasi berbasis aplikasi atau ride-hailing. Mereka mau tidak mau patuh terhadap harga layanan yang bisa ditentukan semau-maunya.
Ketua Institut Studi Transportasi Ki Darmaningtyas, Senin (12/2/2024), di Jakarta, menyampaikan pandangan tersebut. Konsekuensi itu bisa terjadi jika diikuti oleh tidak berkembangnya layanan ride-hailing dari operator lain.
”Konsekuensinya, konsumen tidak dapat memilih lagi layanan yang lebih murah, kecuali start up lain, seperti Maxime dan lainnya, bisa berkembang,” ujarnya.
Saat ini, menurut pengamatan Darmaningtyas, muncul banyak keluhan dari mitra pengemudi ojek daring yang semakin susah memperoleh pendapatan. Pada saat bersamaan terdapat fenomena lain, yaitu banyak start up melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan. Dia menilai, fenomena itu sebagai tanda bahwa bisnis daring, termasuk transportasi, tidak cerah lagi.
”Kalau pemerintah mengatur ride-hailing, berarti pemerintah mengakuinya secara resmi. Menurut saya, tugas pemerintah sekarang memperbaiki layanan angkutan umum saja. Kalau angkutan umumnya bagus, masyarakat akan menggunakan angkutan umum yang lebih murah dan nasib ride-hailing diserahkan ke mekanisme pasar saja,” katanya.
Jumat (9/2/2024), Bloomberg menurunkan laporan rumor GoTo dan Grab membahas kembali kemungkinan merger. Sumber Bloomberg menyebutkan, keduanya dalam diskusi awal mengenai berbagai opsi merger. Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah Grab mengakuisisi GoTo menggunakan uang tunai, saham, ataupun keduanya.
Persaingan antarkeduanya ketat, terutama di layanan ride-hailing atau layanan transportasi berbasis aplikasi. Rumor merger itu disebut-sebut mampu menutup kerugian yang dialami keduanya.
Tahun 2020, Gojek, yang belum membentuk GoTo bersama Tokopedia, sudah dikabarkan akan merger dengan Grab. Gojek sudah menjalin komunikasi dengan Grab kala itu. Saat ini, kepemilikan saham mayoritas dari Tokopedia adalah Tiktok, yang menginduk ke ByteDance, perusahaan raksasa teknologi dari China.
Direktur Eksekutif The Prakarsa, Ah Maftuchan, saat dihubungi terpisah, mengatakan, pada tahun 2017, The Prakarsa melakukan survei untuk mengetahui kondisi kerja pengemudi ojek daring. Survei dilakukan kepada 213 pengemudi ojek, terdiri dari 176 pengemudi ojek daring dan 37 ojek pangkalan di Jakarta dan Surabaya.
Jika rumor merger itu benar, kedua perusahaan harus taat pada peraturan merger dan mau mendengarkan suara mitra.
Beberapa temuan menarik yaitu jam kerja tidak wajar, pendapatan tidak sebaik yang diberitakan, lemahnya perlindungan kerja, dan kesenjangan hubungan kerja.
”Kami belum melakukan kajian proyektif. Studi yang kami lakukan tahun 2017 menyangkut hubungan platform ride-hailing dengan mitra, kesejahteraan, dan aspek perlindungan pekerja. Hal terpenting, jika rumor merger itu benar, kedua perusahaan harus taat pada peraturan merger dan mau mendengarkan suara mitra,” ujarnya.
Sementara itu, Co-Founder Cube Asia Simon Torring memandang, para perusahaan aplikasi super di Asia Tenggara (Grab dan Gojek) mempunyai tantangan yang sama dengan perusahaan e-dagang, seperti Shopee dan Lazada, selama dua tahun terakhir. Mereka harus mampu menunjukkan kepada pemegang saham bahwa mereka dapat mencapai profitabilitas dan memimpin bisnis mereka ke arah fase yang lebih berkelanjutan secara finansial.
”Hanya sedikit konsumen baru ekonomi digital yang tersisa di Indonesia dan pasar regional lainnya. Banyak pengguna yang secara aktif berbelanja untuk mendapatkan promo dan harga rendah di antara berbagai aplikasi,” katanya.
Mengeluarkan salah satu pemain ekonomi digital dari pasar, baik lewat merger maupun kesepakatan untuk membagi pasar Asia Tenggara, akan mempunyai dampak positif terhadap neraca keuangan bagi pemain yang tersisa.
Dia lantas mencontohkan kejadian Uber, yang juga perusahaan ride-hailing, menjual bisnis di Asia Tenggara-nya ke Grab. Kesepakatan Uber-Grab itu tidak mudah dilakukan. Salah satunya karena faktor regulasi.
”Persetujuan regulasi mungkin akan lebih sulit diperoleh ketika pemain yang terlibat seperti Grab dan Gojek yang memiliki pangsa pasar gabungan yang sangat tinggi,” tutur Simon.
Sebelumnya, Head of Corporate Communications GoTo Sinta Setyaningsih mengatakan, pihaknya tak mau menanggapi rumor yang muncul di pasar. Dia menegaskan belum ada diskusi merger yang dilakukan. Hal senada juga disampaikan oleh Mayang Schreiber selaku Chief Communications Officer Grab Indonesia.