Industri Sawit Didera Tiga Tantangan Besar
Harga CPO yang tinggi menyebabkan pembeli beralih ke minyak kedelai dan biji bunga matahari yang harganya lebih rendah.
JAKARTA, KOMPAS — Industri minyak kelapa sawit tengah didera tiga tantangan besar pada awal tahun ini. Ketiga tantangan itu terkait lesunya pasar ekspor, persaingan harga minyak nabati dunia, dan penurunan produksi kelapa sawit.
Kelesuan pasar ekspor dan persaingan harga minyak nabati dunia berpengaruh pada penumpukan hak ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunan. Adapun penurunan produksi kelapa sawit membawa efek ganda, yakni terbatasnya pasokan CPO sekaligus membuat harga tandan buah segar (TBS) sawit tidak anjlok.
Harga CPO yang tinggi menyebabkan pembeli beralih ke minyak kedelai dan biji bunga matahari yang harganya lebih rendah.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Jumat (9/2/2024), membenarkan hak ekspor CPO dan produk turunannya telah menumpuk sebanyak 5,9 juta ton sejak November 2023 hingga Januari 2024. Lesunya pasar ekspor dan harga CPO yang lebih tinggi ketimbang minyak nabati lain menjadi penyebabnya.
”Harga CPO yang tinggi menyebabkan pembeli beralih ke minyak kedelai dan biji bunga matahari yang harganya lebih rendah. Padahal, biasanya, harga CPO lebih rendah daripada harga kedua minyak nabati tersebut,” katanya ketika dihubungi dari Jakarta.
Pada awal 2024, harga CPO di Bursa Komoditas Berjangka Malaysia telah meningkat hampir 5 persen setelah turun 11 persen pada tahun lalu. Bersamaan dengan itu, peningkatan produksi kedelai dan biji bunga matahari dunia telah menyebabkan harga minyak nabati dari kedua komoditas itu turun.
Harga CPO untuk pengiriman Maret 2024 dibanderol 930 dollar AS per ton, termasuk biaya asuransi dan pengangkutan (CIF). Harga CPO itu lebih tinggi daripada harga minyak kedelai dan biji bunga matahari, masing-masing 915 dollar AS per ton dan 910 dollar AS per ton.
Sejumlah negara pengimpor CPO beralih ke minyak kedelai dan biji bunga matahari.
Menurut Eddy, kondisi itu menyebabkan sejumlah negara pengimpor CPO beralih ke minyak kedelai dan biji bunga matahari. India, misalnya, telah dan akan melanjutkan pengurangan impor CPO. Negara tersebut menggantinya dengan minyak kedelai.
Impor CPO India telah turun ke level terendah dalam tiga bulan terakhir, yakni menjadi 787.000 ton pada Januari 2024. Pada periode sama, impor minyak kedelai negara tersebut meningkat menjadi 190.000 ton.
”Faktor inilah yang membuat ekspor CPO menjadi lesu. Eksportir Indonesia menjadi tidak menggunakan hak ekspor CPO dan produk turunannya sehingga menumpuk dan realisasi pemenuhan kewajiban memasok kebutuhan (DMO) minyak goreng di dalam negeri menjadi rendah,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, hak ekspor CPO dan produk turunannya yang didapat dari pemenuhan DMO minyak goreng menumpuk sebanyak 5,9 juta ton. Jumlah itu setara tiga bulan ekspor komoditas-komoditas tersebut.
Adapun sejak November 2023 hingga Januari 2024, realisasi DMO berada di bawah target bulanan sebanyak 300.000 ton yang ditetapkan pemerintah. Pada November dan Desember 2023, realisasi DMO sebesar 85 persen dan 82 persen. Pada Januari 2024, realisasinya anjlok menjadi 69 persen.
Baca juga: Harga Pangan Dunia Cenderung Turun kendati Risiko Masih Ada
Eddy juga menyampaikan, penumpukan DMO itu tidak berpengaruh pada serapan dan anjloknya harga TBS petani. Saat ini, harga rerata TBS sawit petani masih lumayan tinggi, yakni di atas Rp 2.000 per kilogram (kg).
Hal itu disebabkan produksi TBS pada awal tahun ini diperkirakan turun sekitar 20 persen akibat perubahan cuaca. Banyak pabrik pengolahan kelapa sawit kekurangan pasokan TBS. Namun, kekurangan TBS itu tidak sampai membuat pabrik berhenti produksi.
”Untuk ekspor, kami masih menunggu pasar internasional kembali membaik. Sementara ini, kami mengarahkan produksi ke pasar domestik karena permintaan minyak goreng bakal meningkat pada Ramadhan-Lebaran nanti,” kata Eddy.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menuturkan, harga rerata TBS di tingkat petani swadaya relatif tinggi, yakni Rp 2.400 per kg. Keterbatasan produksi TBS akibat gangguan cuaca dan tidak adanya larangan ekspor seperti saat terjadi krisis minyak goreng pada 2022 menjadi faktor penopangnya.
Faktor yang justru paling penting dicermati adalah pasar ekspor CPO yang masih lesu. Ini tidak hanya disebabkan oleh persaingan harga minyak nabati dunia, tetapi juga Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
Baca juga: Dag-dig-dug Implementasi Regulasi Antideforestasi
”Saat ini, pasar itu sudah diikat dengan peraturan komoditas bebas deforestasi kendati belum sepenuhnya diimplementasikan. Takutnya, dengan kondisi pasar yang seperti itu dan penumpukan hak ekspor berlangsung lama, pabrik pengolah sawit bisa berhenti beroperasi dan harga TBS menjadi turun,” katanya.
Untuk itu, Darto melanjutkan, syarat EUDR, terutama menyangkut ketertelusuran sawit untuk membuktikan terjadinya deforestasi atau tidak, penting disiapkan. SPKS terus meningkatkan upaya pendataan perkebunan sawit berdasarkan geolokasi citra satelit dan koordinat sistem pemosisi global (GPS).
Saat ini, realisasi pendataan tersebut sudah mencapai sekitar 30.000 poligon dengan luas perkebunan sawit petani swadaya mencapai 115.000 hektar. Perkebunan tersebut tersebar di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimatan, seperti di Rokan Hulu, Siak, Jambi, Pelalawan, Labuhanbatu Utara, Sanggau, Sekadau, Sintang, Seruyan, dan Kotawaringan Barat.
EUDR melarang sejumlah komoditas yang berasal dari lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2020 masuk pasar Uni Eropa. Komoditas itu antara lain minyak sawit, kopi, sapi, kedelai, kakao, kayu, arang, dan karet, serta produk-produk turunan atau olahan, seperti daging, furnitur, kertas, kulit, dan cokelat.
Regulasi itu mewajibkan produk-produk bersertifikat verifikasi atau uji tuntas (due diligence) berbasis geolokasi atau berdasarkan citra satelit dan GPS. Perusahaan besar mempunyai waktu 18 bulan dan perusahaan kecil 24 bulan untuk mematuhi berbagai persyaratan dalam regulasi yang berlaku sejak 29 Juni 2023.