Ironi Kemiskinan di Sentra Nikel, Pekerjaan Rumah Pemerintah Menumpuk
Pemerintah mengakui hilirisasi belum mampu menyejahterakan masyarakat dan perlu dibenahi. Namun, itu butuh waktu.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui angka kemiskinan di kawasan sentra hilirisasi nikel masih tinggi, tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi ”dua digit” yang dicapai. Ada pekerjaan rumah menumpuk yang harus segera diatasi agar hilirisasi lebih berkeadilan. Tidak hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan penguasa, tetapi juga seluruh warga.
Maluku Utara (Malut) dan Sulawesi Tengah (Sulteng) adalah dua sentra pengolahan nikel terbesar di Indonesia saat ini. Sepanjang tahun 2023, menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), kedua wilayah itu merekam angka pertumbuhan ekonomi yang fantastis, tertinggi secara nasional.
Ekonomi Malut tumbuh 20,49 persen dan Sulteng tumbuh 11,91 persen secara tahunan. Sangat kontras dibandingkan angka pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 5,05 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ekonomi ”dua digit” secara berturut-turut di Malut dan Sulteng itu sudah tercapai sejak 2021. Tepatnya, setelah larangan ekspor bijih nikel (nickel ore) diterapkan dan proyek hilirisasi nikel sebagai program andalan rezim Joko Widodo dimulai. Tiga tahun terakhir, ekonomi di kedua wilayah itu praktis ditopang oleh ekspor dan investasi nikel.
Ironisnya, bukan hanya pertumbuhan ekonomi di wilayah sentra nikel yang “dua digit”. Tingkat kemiskinannya pun demikian. Bahkan, berdasarkan data terakhir BPS (Maret 2023), kemiskinan di Sulteng, Maluku, dan Sulawesi Utara, justru naik ketika angka kemiskinan nasional menurun.
Kemiskinan di Sultra naik dari 11,27 persen pada 2022, menjadi 11,43 persen, Sulteng naik dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen, dan Malut naik dari 6,37 persen menjadi 6,46 persen. Sebagai perbandingan, angka kemiskinan nasional justru turun dari 9,57 persen menjadi 9,36 persen.
Menanggapi hal itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan, Rabu (7/2/2024), mengatakan, pemerintah sampai saat ini masih terus berupaya menekan tingkat kemiskinan di wilayah sentra nikel.
Pada dasarnya, ujar Ferry, kebijakan hilirisasi nikel tetap dibutuhkan karena mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap keseluruhan realisasi investasi serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia beberapa tahun terakhir. Hanya saja, masih ada pekerjaan rumah yang perlu ditangani terkait perbaikan kualitas hilirisasi.
”Ini terus kami upayakan. Kami berkomitmen mendorong pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan penciptaan lapangan kerja dan penurunan tingkat kemiskinan di wilayah bersangkutan. Dari program perlindungan sosial sampai pemberdayaan ekonomi masyarakat,” katanya saat dihubungi di Jakarta.
Bahwa kemiskinan di daerah hilirisasi masih banyak, saya setuju.
Butuh waktu
Ironi hilirisasi ini juga diakui Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Ia membenarkan pemerintah perlu memperbaiki banyak hal agar hilirisasi dapat mendorong kesejahteraan warga setempat.
Hanya saja, ujarnya, hilirisasi berkeadilan itu butuh waktu untuk dikembangkan. Pemerintah saat ini baru 4-5 tahun merintis hilirisasi tambang secara masif. Tahap berikutnya adalah menata ulang peta jalan hilirisasi agar kemiskinan, setidaknya di sekitar lokasi tambang dan smelter, bisa ditekan.
Salah satu hal yang dilakukan adalah mewajibkan setiap investasi asing dan besar untuk berkolaborasi dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) setempat. UMKM lokal harus dimasukkan dalam rantai pasok perusahaan agar perputaran ekonomi berjalan di daerah tersebut dan bukannya menguntungkan daerah lain.
”Jadi, bahwa kemiskinan di daerah hilirisasi masih banyak, saya setuju. Makanya saat ini kami lagi membuat kajian agar investasi hilirisasi harus berkeadilan. Adil bagi investor, negara, rakyat, dan pemerintah daerah,” kata Bahlil.
Ferry menambahkan, penurunan kemiskinan di sentra nikel sedang diupayakan dengan berbagai cara. Pertama, menurunkan beban pengeluaran masyarakat setempat lewat program perlindungan sosial ke warga miskin dan rentan. Kedua, meningkatkan pendapatan masyarakat lewat program pemberdayaan ekonomi dan peningkatan produktivitas.
Ketiga, mendorong pihak swasta dan badan usaha milik negara (BUMN) yang mendirikan pabrik di wilayah terkait untuk aktif mendukung penanggulangan kemiskinan. Salah satunya, lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dalam radius 5 kilometer dari lokasi perusahaan.
Bentuk CSR yang dimaksud juga tidak sekadar bantuan konsumtif, tetapi produktif. Perusahaan besar diharuskan menjadi offtaker atau pembeli produk usaha mikro dan kecil di sekitar lokasi tambang. ”Dengan pelibatan aktif perusahaan, diharapkan bisa menciptakan aglomerasi ekonomi antara perusahaan dan ekonomi lokal, khususnya sektor UMKM,” kata Ferry.
Omong kosong
Kepala Center of Industry, Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, jargon hilirisasi atau pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan hanya omong kosong selama pemerintah tidak tegas menegakkan praktik pertambangan dan manufaktur yang baik dan berkeadilan secara mengikat.
Ia mengatakan, good mining and manufacturing practice saat ini hanya sebatas penghargaan seremonial saja untuk kementerian terkait, bukan suatu regulasi yang mengikat. ”Tidak ada regulasi yang mengedepankan good mining and manufacturing practice. Tidak ada sanksi juga jika pengusaha tidak menerapkannya,” katanya.
Hilirisasi disebut sebagai ”ekosida ”, yaitu kejahatan terhadap lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Problem hilirisasi yang salah kelola ini sudah sistematis terjadi sejak awal tahap perencanaan. ”Investasi kita sejak awal tidak mengindahkan masalah sosial, lingkungan, dan tata kelola (ESG). Pemerintah hanya berfokus pada kuantitas investasi, berapa triliun target proyek investasi yang diharapkan, bukan kualitasnya,” ujar Andry.
Praktik hilirisasi seperti itu tidak memberi manfaat bagi masyarakat, bahkan mengganggu kualitas hidup warga. Kemiskinan juga tetap saja tinggi di wilayah sentra nikel. ”Masyarakat termarjinalkan, kehilangan mata pencahariannya, karena pengelolaan SDA yang ugal-ugalan itu berdampak bagi pelaku usaha tradisional (petani dan nelayan) di wilayah sekitar,” tutur Andry.
Ia menyebut hilirisasi yang dilakukan pemerintah saat ini sebagai ”ekosida”, yaitu kejahatan terhadap lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Ada beberapa contoh kasus yang diduga kuat terjadi akibat praktik hilirisasi yang tidak berkelanjutan. Misalnya, banjir bandang di Halmahera Tengah, Maluku Utara (September 2023), sawah terendam endapan lumpur merah di Pomala, Kolaka, Sulawesi Tenggara (awal 2023), serta pesisir yang tercemar limbah nikel di Fatufia, Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah (2021).
”Ini harga yang harus dibayar oleh masyarakat. Nelayan jadi sulit mendapatkan ikan, petani tidak bisa menikmati hasil pertanian lebih baik. Ini bisa terjadi karena ada salah kebijakan yang sampai sekarang tak kunjung dibenahi,” kata Andry.