SMK dan Industri Tak Kunjung Selaras, 1,6 Juta Lulusan Menganggur
Ketidakselaran antara pendidikan di SMK dan kebutuhan industri yang masih berlangsung menyebabkan lulusan menganggur.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekolah menengah kejuruan atau SMK belum mampu menyediakan lulusan dengan kompetensi sesuai kebutuhan industri dan dunia kerja. Berdasarkan pengalaman pelaku industri, sangat sedikit lulusan pendidikan vokasi yang mempunyai kematangan sikap dan mental untuk siap menghadapi budaya kerja secara profesional.
Imbas dari ketidaksinkronan antara kompetensi yang dihasilkan dengan kebutuhan industri tersebut, lulusan SMK menjadi kontributor utama pegangguran terbuka di Indonesia. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2023, lulusan SMK yang mengganggur jumlahnya mencapai 1,6 juta orang atau 20 persen dari total penganggur yang mencapai 7,99 juta orang.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Darwoto mengatakan, penyerapan lulusan SMK masih minim karena masalah linkandmatch atau keselarasan yang rendah antara kualifikasi pasokan tenaga kerja yang dicetak SMK dan kebutuhan industri.
Kebanyakan penyelenggara pendidikan vokasi terlalu berfokus pada pembentukan skill calon tenaga kerja. Padahal, knowledge dan attitude juga merupakan bekal penting untuk kematangan cara bekerja di industri.
”Penyerapan tenaga kerja oleh dunia usaha saat ini dilakukan hanya kepada mereka yang dinilai sudah siap kerja. Namun, sayangnya, tidak semua lulusan SMK punya kompetensi sesuai kebutuhan dunia usaha,” ujarnya di Jakarta, Selasa (6/2/2024).
Menurut Darwoto, payung hukum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang revitalisasi pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi sudah menjadi koridor yang baik untuk menyelaraskan pasokan tenaga kerja yang dicetak pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri. Namun, pada tataran implementasi peraturan, koordinasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan dunia usaha masih kerap menemui hambatan.
Terdapat tiga kompetensi penting yang harus dikuasai oleh calon tenaga kerja, yakni keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude). Sayangnya, Darwoto melanjutkan, kebanyakan penyelenggara pendidikan vokasi terlalu berfokus pada pembentukan skill calon tenaga kerja. Padahal, knowledge dan attitude juga merupakan bekal penting untuk kematangan cara bekerja di industri.
”Kalau attitude sudah terbentuk dengan baik, juga dengan bekal skill dan knowledge yang juga mumpuni, kemampuan adaptasi tenaga kerja terhadap perubahan dan perkembangan di sektor industri yang berlangsung cepat akan semakin baik,” ujarnya.
Apindo kini juga telah bekerja sama dengan pemerintah untuk menjalin kolaborasi antara pemerintah dan para pengusaha. Tujuannya untuk menyiapkan lulusan-lulusan yangterhubung dan selaras dengan dunia kerja. ”Kami siapkan kurikulum pendidikan yang memang link and match dengan apa yang diinginkan para pengusaha,” katanya.
Darwoto menambahkan, Apindo bekerja sama dengan pemerintah daerah menginisiasi lahirnya sekolah vokasi di kawasan industri. Salah satu yang menjadi proyek percontohan adalah SMK Mitra Industri di kawasan industri MM2100 di Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
”Para praktisi industri terlibat di SMK ini dan kurikulum dikonfigurasikan dengan kebutuhan kawasan industri. Lulusannya 100 persen terserap di industri. Pekerjaan rumahnya saat ini adalah bagaimana konsep ini bisa kita tularkan ke daerah dan kawasan industri lain di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Adi Mahfudz Wuhadji mengatakan, kesenjangan antara kompetensi lulusan pendidikan vokasi dan kebutuhan industri juga dipengaruhi oleh ketersediaan sarana ajar yang tertinggal dibandingkan dengan perkembangan industri.
”Peralatan praktikum di SMK tidak berimbang dengan perkembangan dunia industri. Salah satu contohnya, SMK masih menggunakan alat las manual, industri kita menggunakan teknologi kekinian,” ujarnya.
Di luar persoalan itu, Adi menambahkan, pendidikan vokasi kebanyakan tidak membentuk perilaku dan karakter siswanya untuk siap masuk dalam budaya kerja profesional. Oleh karena itu, pembinaan perilaku dan karakter perlu dimasukkan juga ke dalam kurikulum SMK agar lulusannya siap membaur dengan budaya kerja perusahaan.
”Maka, pelaku industri dan dunia usaha juga perlu lebih banyak terlibat dalam meramu kurikulum yang berdampak pada kesiapan guru dan infrastruktur terkait. Ini juga yang diharapkan pemerintah lewat Mendikbudristek (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi),” kata Adi.
Di sisi lain, pengamat ketenagakerjaan sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tadjuddin Noer Effendi, mengingatkan agar perbaikan kualitas kompetensi lulusan SMK juga erlu diimbangi dengan peningkatan ketersediaan lapangan pekerjaan.
”Karena kalau semakin banyak lulusan SMK dengan kompetensi tinggi, tapi tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia, kita tetap akan tertinggal. Kalau kita tidak mencari jalan keluar, tidak ada investasi, ya tidak ada lapangan kerja yang terbuka,” ujarnya.