Pajak Hiburan Bisa Kembali ke Tarif Awal, Bola Panas di Tangan Pemda
Keputusan tarif pajak hiburan kini ada di tangan pemda. Pengusaha juga perlu proaktif mengajukan permohonan insentif.
Oleh
AGNES THEODORA, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Pelaku usaha klub malam, Hotman Paris, menjawab pertanyaan wartawan mengenai penerapan pajak hiburan di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024). Ia menekankan, surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri dapat menjadi acuan untuk menunda penerapan pajak hiburan baru dengan besaran minimal 40 persen, maksimal 75 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat mengeluarkan surat edaran untuk mempersilakan pemerintah daerah memberikan keringanan pajak hiburan bagi pengusaha tertentu. Lewat kewenangan pemberian insentif itu, pemerintah daerah juga dapat mengembalikan pajak hiburan kembali ke tarif awal yang selama ini berlaku. Bola panas kini ada di tangan pemda.
Surat Edaran (SE) Nomor 900.1.13.1/403/SJ itu dikeluarkan Menteri Dalam Negeri pada 19 Januari 2024 dan ditujukan ke seluruh gubernur, wali kota, dan bupati. Sebelumnya, penerbitan SE tersebut telah diputuskan dalam rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jumat (19/1/2024), untuk menyikapi penolakan dari pelaku usaha.
Isinya memperbolehkan kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya masing-masing sesuai dengan Pasal 101 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Insentif fiskal itu bisa berupa pengurangan tarif pajak hiburan barang jasa tertentu dari batas tarif 40-75 persen yang saat ini berlaku di UU HKPD. Sesuai regulasi, tarif itu hanya dikenai terhadap jenis usaha tertentu, seperti karaoke, diskotek, kelab malam, bar, serta mandi uap atau spa.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, dengan kewenangan memberi insentif itu, kepala daerah dapat mengurangi tarif pajak barang dan jasa hiburan hingga di bawah batas 40-75 persen, bahkan hingga sama dengan tarif yang sebelumnya berlaku.
”Pemberian insentif fiskal dengan pengurangan tarif pajak hiburan itu cukup ditetapkan dengan peraturan kepala daerah,” kata Airlangga seusai audiensi bersama sejumlah pelaku usaha hiburan di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024).
Insentif itu dapat diberikan dengan dua cara. Pertama, atas permohonan pengusaha sebagai wajib pajak. Kedua, diberikan oleh kepala daerah berdasarkan beberapa pertimbangan. Meski demikian, tidak semua pengusaha bisa diberi keringanan secara merata.
Pelaku usaha yang berhak mendapat insentif adalah mereka yang dinilai tidak mampu membayar pajak, pengusaha yang berstatus usaha mikro dan ultramikro, serta pengusaha yang terkena kondisi tertentu, seperti bencana alam atau musibah yang tidak disengaja.
Insentif itu juga harus memperhatikan kepatuhan pengusaha dalam membayar pajak, serta kontribusi usaha itu terhadap perekonomian daerah dan penciptaan lapangan kerja. ”Kami juga sedang mengkaji insentif lain berupa pajak penghasilan badan ditanggung pemerintah (PPh Badan DTP) 10 persen sehingga tarifnya akan turun jadi 12 persen dari 22 persen,” katanya.
Pemberian insentif fiskal dengan pengurangan tarif pajak hiburan itu cukup ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Menunggu uji materi
Sementara itu, pelaku usaha berharap pemda bisa kembali menerapkan besaran pajak lama sembari menunggu hasil gugatan uji materi berproses di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam waktu dekat, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) dan asosiasi usaha hiburan lainnya akan mengajukan uji materi Pasal 58 UU HKPD ke MK. Saat ini, kira-kira sudah ada enam asosiasi usaha hiburan yang mengajukan gugatan.
Ketua GIPI Hariyadi Sukamdani mengusulkan, selama uji materi berproses, tagihan yang berlaku sebaiknya mengacu pada besaran pajak lama. Jumlahnya bisa berbeda-beda tiap daerah. DKI Jakarta selama ini menerapkan pajak hiburan tertentu 25 persen, diikuti Bali 15 persen. Namun, rata-rata besaran pajak di daerah sebesar 10 persen.
”Ada jeda antara menunggu putusan MK dengan tagihan yang keluar. Ini pemda sudah hot banget mengejar, lumayan ditarik (pajak) segitu (besaran baru). Namun, kalau ditarik nominal itu, pasti mati,” kata Hariyadi.
Saat ini, kenyataannya, pemda mulai menarik pajak sesuai aturan baru. Hal ini terjadi di Badung (Bali) dengan dalih Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memulai audit keuangan daerah. Padahal, BPK hanya akan memeriksa institusi pemerintah, bukan korporasi. Audit oleh BPK juga biasanya dilakukan pada akhir tahun, bukan di awal.
”Jadi, ini message yang kami ingin tegaskan ke teman-teman aparat daerah, tolong jangan memanfaatkan situasi untuk hal-hal yang tak baik. Ini saya perlu sampaikan, SE dari Kemendagri menjamin tak ada upaya transaksional,” ujarnya.
Di tangan pemda
Pendiri konsultan pajak PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, menilai, setelah SE keluar, bola panas kini ada di tangan pemda. Di sisi lain, pengusaha juga perlu proaktif untuk mengajukan permohonan mendapat insentif fiskal. Sebab, wajib pajak yang tidak mengajukan tidak dapat mendapat insentif.
Sementara kepala daerah bisa saja memberi keputusan prerogatif untuk memberi insentif, tetapi itu hanya berlaku untuk jenis usaha tertentu seperti mikro dan ultramikro. ”Tetapi, untuk usaha kecil, menengah, dan besar, tetap harus berdasarkan permohonan sendiri,” kata Raden.
Di sisi lain, dengan adanya SE Mendagri itu, pemda yang sudah telanjur menerbitkan perda dan menetapkannya perlu menahan pemungutan dan penagihan pajak. ”Sebenarnya insentif pajak ini tidak akan efektif menenangkan pengusaha karena insentif biasanya bersifat sementara atau parsial,” ujarnya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Badung (Bali) I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya menambahkan, isu pajak ini mulai mendapat sorotan dari operator agen perjalanan internasional. Sebagai pelaku usaha, ia mengkhawatirkan jika penerapan pajak baru ini ditetapkan, pengunjung yang ke Bali akan berkurang.
”Tour operator, wholesaler kami sudah menanyakan hal itu. Kami hanya khawatir, kalau wisatawan berkurang ke Bali, tentu perekonomian Bali akan collaps lagi seperti dulu. Sebab, 60 persen Bali ini sangat tergantung dengan sektor pariwisata,” ujarnya.