Pemerintah tengah menyiapkan skema ”credit scoring” agar penyaluran KUR kepada UMKM bisa dilakukan tanpa agunan.
Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tengah menyiapkan skema penilaian kredit atau credit scoring berbasis data alternatif. Upaya ini diharapkan dapat mempermudah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM untuk mendapatkan akses pembiayaan tanpa agunan.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) Yulius mengatakan, tidak adanya agunan dan kemampuan yang memadai untuk mengakses pembiayaan menjadi salah satu hambatan yang dialami oleh para pelaku UMKM. Dengan skema credit scoring, para pelaku UMKM dapat memperoleh akses kredit usaha rakyat (KUR) dari perbankan.
”(UMKM) sering ditolak oleh perbankan karena perbankan hanya menghitung dari data, misalnya neraca pembukuan usaha dan pinjaman sebelumnya. Dengan memakai credit scoring, berbasis data alternatif, pihak perbankan dapat menyalurkan kredit ke UMKM tanpa agunan,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (19/1/2023).
Usulan mengenai credit scoring tersebut mengemuka dalam Rapat Kerja Nasional XVIII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) pada tahun lalu. Saat itu, Presiden memberikan arahan kepada pemangku kepentingan terkait, seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), agar dapat meningkatkan akses KUR melalui skema credit scoring.
Sebagai informasi, credit scoring merupakan sistem penilaian untuk menghitung kemampuan seseorang dalam membayar kewajibannya yang dilakukan oleh lembaga penilai kredit. Penerapan credit scoring tersebut diharapkan mulai berlaku pada 2025.
Pada skema credit scoring yang tengah disiapkan, basis data alternatif akan diambil dari berbagai macam transaksi, seperti jaminan sosial (BPJS), transaksi lokapasar, pembayaran listrik, pajak, sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission), serta transaksi QRIS. Seluruh data tersebut kemudian akan diproses dengan bantuan dari teknologi kecerdasan buatan (machine learning).
Saat ini, Kemenkop dan UKM masih berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, BI, dan OJK, untuk menyiapkan skema penerapan credit scoring. Persiapan tersebut, antara lain, meliputi pengumpulan data, penggunaan teknologi, serta uji coba penerapan credit scoring yang diperkirakan berjalan pada Juni-Juli 2024.
Pada prinsipnya, kami menyambut baik instrumen baru dengancredit scoring sehingga penerimaan kredit tidak perlu dengan agunan. Namun, bukan soal sistem ataucredit scoring, itu kan hanya substitusi. Permasalahannya, pencairan itu memakan waktu berapa lama?
Dengan credit scoring tersebut, penyaluran KUR mendatang diharapkan dapat menjangkau masyarakat lebih luas, terutama kelompok yang belum atau tidak memperoleh akses layanan perbankan (unbankable). Di sisi lain, Kemenkop dan UKM turut mendorong para pelaku teknologi finansial (tekfin), koperasi, dan lembaga pembiayaan multiguna untuk membantu penyaluran KUR tanpa agunan.
”Penerapan credit scoring ini dapat meningkatkan approval dan menjaga risiko kredit bagi UMKM yang unbanked. Sebab, credit scoring dapat menggambarkan perilaku UMKM sehingga dapat meningkatkan kepercayaan bank dalam memberikan pinjaman tanpa agunan,” katanya.
Berdasarkan hasil kajian, lanjut Yulius, penggunaan credit scoring mampu meningkatkan persetujuan pembiayaan sebesar 10 persen sekaligus menurunkan potensi risiko kredit macet (nonperforming loan/NPL) 4 persen. Hal ini juga berlaku apabila penyaluran kredit ditujukan bagi para debitor baru.
Para pelaku UMKM tidak mempermasalahkan mekanisme sistem yang akan diterapkan oleh pemerintah dalam penyaluran KUR dan mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah selama itu berpihak kepada UMKM. Namun, meminta agar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dapat memberikan kepastian pencairan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM (Akumindo) Indonesia Edy Misero mengatakan, pada dasarnya para pelaku UMKM memerlukan bantuan modal kerja melalui skema KUR. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan para pelaku UMKM, salah satunya dengan kebijakan KUR tanpa agunan.
”Pada prinsipnya, kami menyambut baik instrumen baru dengan credit scoring sehingga penerimaan kredit tidak perlu dengan agunan. Namun, bukan soal sistem atau credit scoring, itu kan hanya substitusi. Permasalahannya, pencairan itu memakan waktu berapa lama?” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Edy, permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku UMKM bukanlah perihal bunga rendah, melainkan kecepatan dan kemudahan persetujuan kredit. Ceruk inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh para pelaku usaha tekfin peer to peer lending atau pinjaman daring.
Di sisi lain, pemerintah telah membuat ketentuan penerapan KUR, yakni Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Permenko Bidang Perekonomian Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan KUR. Sayangnya, kata Edy, peraturan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti pengenaan agunan terhadap kredit di bawah Rp 100 juta.
Sebagaimana diketahui, hasil Monitoring dan Evaluasi Penyaluran KUR pada 2023 oleh Kemenkop dan UKM menemukan, sembilan bank yang meminta agunan tambahan terhadap debitor di bawah Rp 100 juta. Dengan adanya kasus pelanggaran tersebut, Edy berpendapat, pemerintah perlu lebih tegas dalam pelaksanaan kebijakan.
”Pilihannya itu, pertajam atau scoring, silakan kalau scoring. Akan tetapi, waktu pencairannya harus jelas. Perihal sistem itu masalah teknis, dari skema A ke skema B, itu teknis. Tetapi, spiritnya adalah berapa lama pencairan KUR-nya karena itu masalah bagi UMKM. Lebih cepat lebih baik,” ujarnya.