Sembilan Tahun Berjalan, Capaian Reforma Agraria Masih Timpang
Redistribusi tanah di kawasan hutan masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah kerena baru terealisasi 9,2 persen.
JAKARTA, KOMPAS —Capaian program reforma agraria dinilai masih jauh dari harapan, kendati pemerintah telah berupaya menjalankannya. Program reforma agraria masih bertumpu pada legalisasi aset tanah sehingga belum benar-benar mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria.
Realisasi program reforma agraria yang digulirkan selama periode 2015-2023 juga masih timpang. Reforma berskema legalisasi aset dan redistribusi tanah eks hak guna usaha (HGU), tanah telantar, dan tanah negara jauh lebih dominan capaiannya ketimbang redistribusi tanah di kawasan hutan.
Reforma agraria merupakan agenda Nawacita ke-5 Presiden Joko Widodo. Program ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang kemudian dilanjutkan dalam RPJMN 2020-2024.
Terkait itu, pemerintah merencanakan reforma agraria seluas 9 juta hektar. Target ini meliputi legalisasi aset dengan target 4,5 juta ha dan redistribusi tanah 4,5 juta ha. Legalisasi aset itu mencakup 3,9 juta ha tanah warga dan 0,6 juta hektar tanah transmigrasi. Adapun redistribusi tanah terdiri dari pelepasan 4,1 juta ha kawasan hutan serta 0,4 juta ha lahan eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto, Rabu (10/1/2024), mengatakan, hingga akhir 2023, realisasi legalisasi aset telah mencapai 110,5 juta bidang tanah dari total target 126 juta bidang tanah. Sertifikasi aset itu mencakup tanah warga dan transmigran yang belum bersertifikat.
Adapun redistribusi tanah di kawasan hutan baru terealisasi seluas 379.621,85 ha atau 9,26 persen dari target 4,1 juta ha. Hal ini berbeda dengan redistribusi tanah eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara yang terealisasi 1,43 juta ha atau 358,23 persen dari target 0,4 juta ha.
Legalisasi aset sudah seusai rencana. Begitu juga dengan redistribusi tanah eks HGU. Namun, untuk redistribusi tanah di kawasan hutan masih belum maksimal.
”Legalisasi aset sudah seusai rencana. Begitu juga dengan redistribusi tanah eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara yang jauh melampaui target. Namun, untuk redistribusi tanah di kawasan hutan masih belum maksimal,” kata Hadi saat ditemui Kompas di kantor Kementerian ATR/BPN di Jakarta.
Hadi mengakui redistribusi tanah eks HGU perusahaan swasta lebih mudah dilakukan ketimbang melepaskan lahan milik pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN). Hal itu lantaran pemerintah berwenang untuk memperpanjang atau tidak HGU tersebut.
Kendati demikian, untuk melepas lahan milik pemerintah dan BUMN, Kementerian ATR/BPN telah menemukan solusinya, yakni dengan skema hak guna bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan tanah (HPT). Dengan skema ini, pemerintah/BUMN tidak kehilangan asetnya dan masyarakat tetap mendapatkan manfaat.
Baca juga: Konferensi Tenurial 2023 Dorong Pelaksanaan Reforma Agraria Sejati
Ia mencontohkan, Kementerian ATR/BPN telah menyerahkan 1.043 sertifikat tanah dari 1.160 sertifikat tanah kepada masyarakat di Kelurahan Ngelo, Cepu, dan Karangboyo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sertifikat ini berskema HGB di atas HPL Pemerintah Kabupaten Blora.
Warga penerima sertifikat tersebut telah puluhan tahun tinggal di lahan milik Pemkab Blora. Sertifikat itu berlaku selama 30 tahun dan bisa diperpanjang lagi untuk 30 tahun, serta diperbarui untuk 20 tahun.
Selain itu, Kementerian ATR/BPN juga telah merampungkan sengketa lahan antara suku Anak Dalam (SAD) dan perusahaan swasta yang telah berlangsung sekitar 28 tahun di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Sebanyak 113 sertifikat hak kepemilikan bersama (HKB) telah diserahkan kepada 516 keluarga di SAD Tebing Tinggi dan tiga sertifikat HKP kepada 268 keluarga di Desa Jadi Mulya.
Sementara terkait redistribusi tanah di kawasan hutan, Hadi menambahkan, Kementerian ATR/BPN akan terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya Direktorat Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Hal itu terutama terkait pemberian sertifikat kepada masyarakat yang tinggal di 21.283 desa yang berada di kawasan hutan.
”Masih banyak sejumlah peraturan yang tumpang tindih yang menghambat sertifikasi itu. Kami tidak akan berdiam diri dan akan terus berkoordinasi dengan KLHK agar target reforma agraria di kawasan hutan itu bisa tercapai,” katanya.
Bertumpu legalisasi
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika berpendapat, capaian program reforma agraria masih timpang. Hal ini lantaran reforma agraria masih sekadar bertumpu pada legalisasi aset tanah, sehingga belum benar-benar dapat mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria.
”Skema legalisasi aset itu hanya merupakan program sertifikasi biasa, tidak menyentuh lokasi-lokasi ketimpangan dan konflik agraria yang terjadi belasan bahkan puluhan tahun. Padahal, kami berharap program reforma agraria benar-benar bisa mengurangi ketimpangan dan mampu menyelesaikan konflik-konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia,” katanya.
Berdasarkan Sensus Pertanian oleh BPS, jumlah petani gurem di Indonesia bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia pada 2013 mencapai 0,68. Artinya, hanya 1 persen populasi masyarakat menguasai 68 persen kekayaan tanah di Indonesia.
Di sektor pertanian, ketimpangan itu tergambar dari semakin bertambahnya petani gurem atau petani yang memiliki lahan di bawah 0,5 ha. Hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 BPS Tahap I menunjukkan, jumlah petani gurem di Indonesia bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Proporsi rumah tangga petani gurem terhadap total rumah tangga petani di Indonesia juga meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.
Kondisi itu kontras dengan lahan yang dikuasai perusahaan. Pada 2022, di sektor perkebunan, terdapat 16,8 juta ha lahan perkebunan sawit yang dikuasai 2.400 perusahaan. Di sektor kehutanan, ada 11,2 juta ha kawasan hutan tanaman produksi yang dikuasai 314 perusahaan. Di sektor properti atau real estat, terdapat 63.000 ha tanah yang dikuasai 25 perusahaan di Jabodetabek saja.
Sementara itu, KPA mencatat, selama sembilan tahun (2015-2023) pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada 2.939 kasus konflik agraria di lahan seluas 6,3 juta ha. Jumlah korban konflik mencapai 1,75 juta rumah tangga petani. Konflik terbanyak ada di sektor perkebunan, yakni 1.131 kasus, disusul konflik di sektor properti (609 kasus), properti (609 kasus), infrastruktur (507 kasus), kehutanan (213 kasus), dan pertambangan (212 kasus).
”Mereka mayoritas adalah petani, masyarakat adat, dan aktivis agraria. Konflik agraria terbaru seperti terjadi di Rempang, Batam dan Seruyan, Kalimantan Tengah, menjadi contoh bagaimana pemerintah sampai saat ini masih belum mampu menyelesaikan persoalan agraria,” kata Dewi.
Sementara itu, pada saat banyak konflik agraria klasik belum diselesaikan, menurut Dewi, muncul potensi konflik agraria baru. Konflik-konflik itu merupakan dampak dari proyek-proyek strategis nasional, seperti kawasan ekonomi khusus, kawasan ketahanan pangan (food estate), dan 190 tahun HGU/160 tahun HGB di atas HPL Otorita Ibu Kota Negara Baru. Tak hanya itu, pelaksanaan UU Cipta Kerja dan ragam regulasi turunannya, termasuk Bank Tanah, juga memperparah situasi konflik agraria.
Baca juga: Kemenangan Jalan Sunyi Reforma Agraria dari Ciamis
Target 2024
Di tahun terakhir kepemimpinan Jokowi, Hadi berkomitmen untuk menggarap ”pekerjaan rumah” program reforma agraria yang masih belum kelar. Jika masih belum rampung hingga akhir tahun ini, Hadi akan meminta Menteri ATR/Kepala BPN dalam kepemimpinan pemerintahan yang baru menjaga keberlanjutan program itu.
Menurut Hadi, Kementerian ATR/BPN menargetkan legalisasi aset pada 2024 dapat mencapai 120 juta bidang dari total 126 juta bidang. Sisanya 6 juta bidang akan diserahkan ke pemerintahan baru. Kementerian ATR/BPN juga akan terus berkoordinasi dengan KLHK agar redistribusi tanah bagi masyarakat di 21.283 desa di kawasan hutan bisa terealisasi.
Kementerian ATR/BPN menargetkan legalisasi aset pada 2024 dapat mencapai 120 juta bidang dari total 126 juta bidang.
”Kami akan mengawal legalisasi aset atau sertifikasi tanah 120 juta bidang itu bisa rampung hingga periode kepemimpinan Presiden Jokowi berakhir. Sementara terkait pelepasan tanah untuk masyarakat yang tinggal di kawasan hutan akan terus kami koordinasikan dengan KLHK,” katanya.
Selain itu, Kementerian ATR/BPN juga meluncurkan sertifikat tanah elektronik pada tahun lalu. Sertifikat tanah elektronik penting dimiliki masyarakat untuk mengurangi risiko kehilangan, kerusakan, dan memudahkan dalam pengelolaan data. Pemilik sertifikat tanah elektronik juga bisa terhindar dari pemalsuan sertifikat tanah dan modus-modus penguasaan tanah oleh mafia tanah.
Baca juga: Konflik Agraria Meningkat Sepanjang 2022, Kemauan Politik Kunci Penyelesaian
Pasca-terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU berlaku, Kementerian ATR/BPN juga akan memperkuat koordinasi dengan Badan Bank Tanah. Hal itu terkait penyelamatan tanah-tanah telantar yang setelah didata dan dikumpulkan, sebanyak 20 persen dari total luasannya akan diserahkan ke masyarakat.
Tanah-tanah itu juga dapat dimanfaatkan oleh investor atau badan sosial. Hal itu terutama tanah-tanah yang berada di luar Jawa di mana obyek tanahnya banyak dan luas, sedangkan subyek tanahnya sedikit.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Minggu (14/1/2024), menuturkan, Gapki tidak secara khusus memiliki program pendukung reforma agraria. Gapki hanya memfasilitasi pembangunan kebun rakyat sekaligus membantu sertifikasi kebun masyarakat yang belum menjadi hak milik.
”Terkait konflik agraria di wilayah perkebunan kelapa sawit, kami tetap membantu menjembatani penyelesaiannya. Hal itu kami lakukan melalui cabang Gapki di wilayah perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat,” katanya.