OJK: Permodalan Jasa Keuangan Solid Hadapi Perlambatan Ekonomi
OJK menyebut permodalan sektor jasa keuangan solid. Ini menjadi modal positif bersama peluang aliran dana masuk.
JAKARTA, KOMPAS — Permodalan sektor jasa keuangan tetap solid menghadapi berbagai risiko di tengah perlambatan ekonomi. Di sisi lain, ekspektasi penurunan tingkat suku bunga acuan di negara maju dinilai akan membuka ruang bagi masuknya aliran modal ke negara berkembang.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK Desember 2023 secara daring, Selasa (9/1/2024).
Beberapa faktor risiko yang akan dihadapi oleh sektor jasa keuangan pada tahun ini adalah perlambatan ekonomi global yang terutama dialami negara-negara Uni Eropa dan China, konflik geopolitik yang masih akan berlanjut, serta kontestasi politik di 64 negara yang akan diikuti hampir 50 persen penduduk dunia.
Beberapa faktor risiko yang akan dihadapi oleh sektor jasa keuangan pada tahun ini adalah perlambatan ekonomi global, konflik geopolitik yang masih akan berlanjut, serta kontestasi politik di 64 negara yang akan diikuti hampir 50 persen penduduk dunia.
Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober 2023 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global 2024 mencapai 2,9 persen atau lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya sebesar 3 persen.
Adapun Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada November 2023 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2024 sebesar 2,7 persen atau melambat dibandingkan dengan 2023 sebesar 2,9 persen.
”Kami tetap optimistis sektor jasa keuangan dapat menghadapi berbagai faktor risiko tersebut. Hal ini mengingat kondisi sektor jasa keuangan pada akhir 2023 tetap stabil dan diperkirakan terus berlanjut didukung oleh permodalan yang solid,” kata Mahendra.
Perbankan per November 2023 mencatatkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) sebesar 27,86 persen atau jauh di atas ambang batas minimum 20 persen. Penyaluran kredit perbankan juga tercatat tumbuh 9,74 persen secara tahunan menjadi Rp 6.966 triliun dengan nonperforming loan (NPL) net sebesar 0,75 persen dan NPL gross sebesar 2,36 persen.
Sementara itu, permodalan industri asuransi jiwa dan asuransi umum juga menguat. Ini tecermin dari risk based capital (RBC), masing-masing 464,13 persen dan 348,97 persen atau di atas ambang batas minimum 120 persen.
Selain itu, piutang pembiayaan sektor lembaga pembiayaan, perusahaan modal ventura, serta lembaga keuangan mikro dan lembaga jasa keuangan lainnya tumbuh 14,14 persen secara tahunan menjadi Rp 467,39 triliun atau melambat ketimbang bulan sebelumnya yang tumbuh 15,02 persen.
Ruang akomodatif
Kendati ketidakpastian ekonomi diperkirakan masih akan berlanjut, perlambatan pertumbuhan ekonomi telah mendorong inflasi turun mendekati target sehingga bank sentral memiliki ruang yang lebih akomodatif. Bank sentral Amerika Serikat, The Fed, mengisyaratkan penurunan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) pada 2024 atas dasar resiliensi ekonomi AS dan perkiraan tidak akan mengalami resesi.
”Secara umum sentimen di pasar keuangan global cenderung positif pada Desember 2023 didukung oleh ekspektasi penurunan suku bunga acuan (Fed funds rate/FFR) dan narasi softlanding di AS sehingga mendorong kembalinya aliran dana masuk ke emerging markets (negara berkembang) serta penguatan pasar keuangan global, termasuk pasar keuangan Indonesia. Volatilitas baik di pasar saham, surat utang, ataupun nilai tukar juga terpantau menurun,” kata Mahendra.
Mengutip data settlement Bank Indonesia sejak awal tahun hingga 4 Januari 2024, asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 6,92 triliun di pasar keuangan domestik. Jumlah ini meliputi Rp 1,79 triliun di pasar surat berharga negara (SBN), Rp 2,4 triliun di pasar saham, serta Rp 2,73 triliun di Sekuritas Rupiah BI (SRBI).
Selama 2023 hingga 21 Desember 2023, asing mencatatkan beli neto Rp 122,6 triliun di pasar keuangan domestik. Ini meliputi Rp 81,4 triliun di pasar SBN, jual neto Rp 11,61 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 52,81 triliun di SRBI.
Baca juga : Potensi Risiko Kejahatan Siber 2024 Makin Kompleks
Kepala Pengawas Pasar Modal Inarno Djajadi menyampaikan, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 6,16 persen secara tahun kalender hingga Desember 2023 atau tertinggi kedua di antara kinerja bursa ASEAN setelah Vietnam.
Lebih lanjut, rata-rata nilai transaksi pasar saham selama Desember 2023 tercatat Rp 10,75 triliun dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 11.674 triliun atau tumbuh 22,9 persen secara tahun kalender.
”Capaian atas kinerja IHSG juga ditopang oleh pertumbuhan jumlah investor pasar modal yang melanjutkan kenaikan double digit sebesar 18,04 persen menjadi 12,17 juta investor. OJK optimistis ruang pertumbuhan bagi industri pasar modal Indonesia masih luas untuk semakin memberikan kontribusi optimal bagi perekonomian nasional,” kata Inarno.
Indikator utama perekonomian nasional selama 2023 masih menunjukkan tren positif, antara lain neraca perdagangan yang masih surplus dan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang masih ekspansif. Tingkat inflasi tahunan 2023 juga masih terjaga pada level 2,61 persen.
Namun, kata Mahendra, perkembangan permintaan domestik ke depan perlu diperhatikan seiring dengan berlanjutnya penurunan inflasi inti, penurunan optimisme konsumen, serta melandainya pertumbuhan penjualan ritel dan kendaraan bermotor. Oleh sebab itu, OJK mendorong lembaga jasa keuangan untuk terus memperhatikan aspek kehati-hatian, profesionalitas, dan inovasi serta menjaga integritas.
”Di samping itu, langkah penegakan hukum akan terus diperkuat untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Lalu, kami juga meminta lembaga jasa keuangan untuk melakukan stress test secara berkala guna mengukur ketahanan permodalan dan likuiditas dalam berbagai skenario," kata Mahendra.
Di sisi lain, Kepala Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut, konsumsi masyarakat kembali meningkat seiring berakhirnya status pandemi Covid-19. Hal ini menjadi salah satu penyebab melambatnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dari 3,43 persen pada Oktober 2023 menjadi 3,04 persen pada November 2023.
Perlambatan pertumbuhan DPK juga disebabkan oleh tingginya pertumbuhan DPK pada masa pandemi sehingga mengakibatkan efek basis tinggi (high base effect) pada pertumbuhan DPK setelahnya. Selain itu, perlambatan DPK terjadi lantaran penggunaan dana internal untuk biaya operasional dan ekspansi perusahaan serta semakin banyaknya alternatif instrumen penempatan dana selain DPK.
Baca juga : Sektor Jasa Keuangan Stabil di Tengah Ketidakpastian Global
Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia pada Desember 2023 mengindikasikan, keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi meningkat dibandingkan dengan capaian bulan sebelumnya. Hal ini tecermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Desember 2023 sebesar 123,8 bps atau lebih tinggi dibandingkan 123,6 bps pada bulan sebelumnya.
”Meningkatnya keyakinan konsumen pada Desember 2023 didorong oleh menguatnya Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) saat ini. IKE tercatat meningkat, terutama pada Indeks Pembelian Barang Tahan Lama. Sementara itu, Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan tetap kuat ditopang oleh Indeks Ekspektasi Penghasilan,” kata Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono melalui keterangan resmi.