Menciptakan Gol 2024 Setelah ”Catenaccio Moneter” 2023
Kondisi perekonomian ditentukan oleh pilihan antara menahan inflasi (bertahan) atau memacu pertumbuhan ekonomi (menyerang).
Istilah catenaccio atau taktik pertahanan gerendel sudah mengalir dalam darah para gladiator lapangan hijau Italia. Pada masanya, taktik ini menjadi pilihan yang strategis bagi sebuah tim untuk mencuri kemenangan melalui serangan balik sekaligus tak luput dalam membangun tembok pertahanan.
Sejarah mencatat, Squadra Azzurra telah menyabet empat trofi Piala Dunia dan dua trofi Piala Eropa. Terakhir, Stadion Wembley menjadi koloseum bagi para gladiator Italia mengubur mimpi football's coming home Inggris melalui drama adu penalti dalam perhelatan final Piala Eropa 2020, 12 Juli 2021.
Kemenangan ini sekaligus membawa kembali trofi Piala Eropa pada pelukan Squadra Azzurra sejak terakhir kali meraihnya pada 1968. Penampilan gemilang mereka saat menundukkan Inggris kala itu tak lagi bertumpu pada catenaccio, taktik gerendel yang populer dan telah dikenal luas sebagai identitas permainan tim nasional Italia sejak 1960-an.
Inflasi selama 2023 telah berhasil dijinakkan sekaligus membuka ruang bagi penurunan tingkat suku bunga acuan pada 2024 sehingga pertumbuhan ekonomi diharapkan lebih menggeliat.
Di bawah asuhan sang Allenatore, Roberto Mancini, filosofi catenaccio yang usang telah bermetamorfosis menjadi permainan sepak bola modern nan ofensif. Sekalipun demikian, benteng pertahanan Italia tetaplah kokoh di bawah dua bek veteran catenaccio, Leonardo Bonucci (34) dan Giorgia Chiellini (36). Hingga September 2021, Squadra Azzura telah mencatatkan rekor tak terkalahkan selama 37 pertandingan, mengalahkan catatan Spanyol dan Brasil.
Rentetan sejarah tersebut menggambarkan bahwa adagium menyerang adalah cara bertahan terbaik dan bertahan adalah format terbaik untuk menyerang, silih berganti dijadikan filosofi era kejayaan suatu tim sepak bola. Sampai pada satu titik, permainan 22 pemain yang memperebutkan si kulit bundar tidak lebih dari siasat praktis nan jeli melihat peluang dalam 90 menit.
Sepenggal kisah tentang filosofi gaya permainan sepak bola Italia ini kiranya dapat menjadi pembelajaran bagi kebijakan perekonomian domestik pada 2024. Hal ini mengingat inflasi selama 2023 telah berhasil dijinakkan sekaligus membuka ruang bagi penurunan tingkat suku bunga acuan pada 2024 sehingga pertumbuhan ekonomi diharapkan lebih menggeliat.
Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi umum tahunan 2023 mencapai 2,61 persen. Tak hanya lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, torehan tersebut sekaligus mencatatkan tingkat inflasi terendah dalam dua dekade terakhir di luar masa pandemi Covid-19 pada 2020-2021. Tingkat inflasi tahunan 2023 juga berada dalam target Bank Indonesia (BI) sebesar 2-4 persen.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Akhmad Akbar Susamto, berpendapat, tingkat inflasi yang terkendali menjadi salah satu aspek penting untuk diperhatikan dalam perekonomian. Namun, rendahnya tingkat inflasi bukanlah tujuan utama.
Pada akhirnya, inflasi rendah bukan tujuan. Di satu sisi, inflasi memang harus dijaga, tetapi bukan untuk inflasi itu sendiri, melainkan untuk membantu perekonomian secara umum.
”Pada akhirnya, inflasi (rendah) bukan tujuan. Di satu sisi, inflasi memang harus dijaga, tetapi bukan untuk inflasi itu sendiri, melainkan untuk membantu perekonomian secara umum. Jangan sampai terobsesi dengan inflasi yang rendah, tetapi dalam waktu yang sama justru menghambat capaian yang lain, terutama pertumbuhan ekonomi yang kaitannya dengan kebijakan suku bunga tinggi,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Upaya menjaga inflasi pada 2024 masih sangat penting, bukan hanya inflasi inti, melainkan juga inflasi volatile food dan administered prices (harga yang diatur oleh pemerintah). Ada kecenderungan inflasi administered prices akan meningkat saat momentum pergantian pemerintahan yang baru. Memang menjelang pemilihan presiden baru, administer prices biasanya akan ditekan, tetapi setelah itu, sudah agak longgar kontrolnya.
Pencapaian target tingkat inflasi selama 2023 memang tidak lepas dari kebijakan moneter BI. Namun, di sisi lain, keputusan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan sebagai upaya preventif dengan sendirinya akan membawa konsekuensi, yakni pertumbuhan ekonomi tidak leluasa dibandingkan dengan ketika suku bunga rendah.
Sepanjang 2023, BI tercatat telah menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI-Rate) sebanyak dua kali, yakni pada 19 Januari 2023 sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen dan pada 19 Oktober 2023 sebesar 25 bps menjadi 6 persen. Keputusan tersebut diambil sebagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mitigasi risiko terjadinya inflasi barang impor (imported inflation) di tengah era suku bunga tinggi global.
Baca juga: Inflasi 2023 Terendah dalam Dua Dekade Terakhir
Era suku bunga tinggi selama setahun terakhir mengakibatkan pertumbuhan ekonomi global melambat. Layaknya permainan sepak bola, kebijakan bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan merupakan siasat bertahan dari serangan inflasi sekaligus menjaga agar nilai tukar mata uang tidak kebobolan atau tetap stabil di tengah pecahnya konflik geopolitik, krisis pangan, dan kebijakan suku bunga tinggi negara maju yang tengah terjadi.
Sebaliknya, tingkat suku bunga yang rendah mengindikasikan terjaganya tingkat inflasi dan nilai tukar mata uang yang stabil sehingga perekonomian akan lebih leluasa untuk bertumbuh. Dalam permainan sepak bola, siasat ini layaknya peran seorang tornante yang piawai dalam mengatur serangan sekaligus bertahan.
Serangan balik
Setelah tingkat inflasi terkendali dan mencapai target, lantas apakah 2024 menjadi momentum bagi otoritas moneter untuk melakukan serangan balik dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan agar pertumbuhan ekonomi menggeliat? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilihat lebih jauh lagi seberapa besar tingkat inflasi ke depan dan perkembangan ekonomi global.
Pada 2024, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi global melambat menjadi 2,8 persen dibandingkan dengan 2023 yang sebesar 3 persen. Kendati tensi ketidakpastian mulai mereda, terdapat sejumlah risiko yang dapat kembali meningkatkan ketidakpastian perekonomian global.
Di antaranya adalah berlanjutnya ketegangan geopolitik, pelemahan ekonomi sejumlah negara, seperti China, serta tingginya suku bunga dan imbal hasil obligasi negara maju.
Ada kecenderungan inflasi administered prices akan meningkat saat momentum pergantian pemerintahan yang baru.
Sementara itu, organisasi multinasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memperkirakan tingkat inflasi Indonesia pada 2024 kembali berada dalam rentang target BI sebesar 1,5-3,5 persen. IMF memproyeksikan tingkat inflasi Indonesia pada 2024 sebesar 2,5 persen, sedangkan Bank Dunia sebesar 3,3 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal berpendapat, meski inflasi tahunan 2023 tergolong rendah dan hampir separuhnya dari inflasi tahunan 2022, inflasi komponen harga bergejolak (volatile food) sebesar 6,7 persen masih tergolong tinggi. Ini berarti, tekanan terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah tetap besar, mengingat sebagian besar pengeluaran mereka dialokasikan untuk kebutuhan dasar, terutama pangan.
”Upaya menjaga inflasi pada 2024 masih sangat penting, bukan hanya inflasi inti, melainkan juga inflasi volatile food dan administered prices (harga yang diatur oleh pemerintah). Ada kecenderungan inflasi administered prices akan meningkat saat momentum pergantian pemerintahan yang baru. Memang menjelang pemilihan presiden baru, administered prices biasanya akan ditekan, tetapi setelah itu, sudah agak longgar kontrolnya,” ujarnya.
Di sisi lain, tekanan dari eksternal mulai mereda seiring dengan potensi pelonggaran kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (The Fed) pada semester II-2024 atau bisa terjadi lebih awal. Berkurangnya tekanan dari sisi eksternal pada 2024 dan tingkat inflasi yang cenderung rendah, sebaiknya BI tidak menambah tekanan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga. Minimal BI mempertahankan suku bunga atau bahkan menurunkannya.
Namun, kebijakan untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan tersebut bukan hanya berpaku pada inflasi, melainkan juga stablitas nilai tukar rupiah dan arus keluar-masuknya modal asing. ”Sebisa mungkin BI tidak menaikkan tingkat suku bunga dan kalau bisa justru diturunkan. Kalau mempertimbangkan stabilitas, paling tidak dipertahankan,” katanya.
Baca juga: BI Proyeksikan Suku Bunga Acuan Turun pada Semester II-2024
Berdasarkan data setllement BI sejak awal tahun hingga 4 Januari 2024, asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 6,92 triliun di pasar keuangan domestik yang terdiri dari Rp 1,79 trliun di pasar surat berharga negara (SBN), Rp 2,4 triliun di pasar saham, serta Rp 2,73 triliun di Sekuritas Rupiah BI (SRBI).
Sementara itu, selama 2023 hingga 21 Desember 2023, asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 122,6 triliun di pasar keungan domestik dengan rincian Rp 81,40 triliun di pasar SBN, jual neto Rp 11,61 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp 52,81 triliun di SRBI.
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada penutupan pasar Jumat (5/1/2024), rupiah ditutup di level Rp 15.518 per dollar AS atau melemah tipis 0,51 persen dibandingkan dengan penutupan pada akhir 2023. Namun, selama 2023, rupiah tercatat menguat 0,98 persen dibandingkan dengan penutupan pasar pada akhir 2022 sebesar Rp 15.592 per dollar AS.
Ruang penurunan
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, inflasi inti diperkirakan akan meningkat pada 2024. Pada paruh pertama 2024, risiko kenaikan inflasi berasal dari imported inflation akibat depresiasi nilai tukar rupiah akibat tingginya suku bunga global. Sementara sikap wait and see dari para investor terkait Pemilu 2024 juga akan membatasi aliran modal masuk sehingga menekan inflasi impor.
Pada paruh kedua 2024, pemerintah kemungkinan akan mengenakan cukai untuk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Kebijakan ini dapat menyumbang sekitar 0,2 persen terhadap inflasi umum.
Secara keseluruhan, perkiraan kami menunjukkan, inflasi umum Indonesia diperkirakan akan meningkat secara moderat dari 2,61 persen pada akhir 2023 menjadi 3,0-3,5 persen pada akhir 2024.
”Secara keseluruhan, perkiraan kami menunjukkan, inflasi umum Indonesia diperkirakan akan meningkat secara moderat dari 2,61 persen pada akhir 2023 menjadi 3,0-3,5 persen pada akhir 2024. Meski meningkat, angka yang diperkirakan masih berada dalam kisaran target BI. Skenario ini memberikan ruang bagi BI untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan BI, terutama pada kuartal IV-2024,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah juga patut mewaspadai dampak El Nino yang akan memberikan tekanan pada harga pangan sehingga menyebabkan inflasi bergejolak. Josua memperkirakan, dampak El Nino lemah dan El Nino sedang terhadap inflasi bahan makanan, masing-masing sekitar 1,4 persen dan 2,9 persen atau mencapai 0,3-0,6 persen terhadap inflasi umum.
Selain itu, permintaan global yang cenderung melemah seiring dengan proyeksi perlambatan ekonomi diperkirakan akan membuat harga minyak global tetap berada di bawah 100 dollar AS per barel. Dengan demikian, kecil kemungkinan bagi Pemerintah Indonesia untuk menaikkan harga energi bersubsidi sehingga inflasi harga yang diatur pemerintah pada 2024 diperkirakan akan tetap terkendali.
Dari berbagai dirkusus tersebut, kebijakan moneter yang akan diambil oleh BI pada 2024 mengingatkan kembali tentang bagaimana Italia mengembangkan taktik permainan sepak bolanya. Kebijakan suku bunga acuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan tetap terkendalinya inflasi (pro stability) sebaiknya tidak dilakukan secara konservatif sebagaimana catenaccio hanya berfokus pada lini pertahanan belaka.
Baca juga: Menakar Pahit-Manis Jamu Moneter ala BI
Dengan menerapkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas serta mendukung pertumbuhan ekonomi, BI selayaknya tim sepak bola nasional Italia modern yang tidak hanya terpaku pada permainan konservatif bertahan, melainkan turut melakukan serangan secara kreatif dengan tidak melupakan cara untuk bertahan.
Meminjam kata-kata pelatih sepak bola asal Italia, Arrigo Sacchi, catenaccio tidak lepas dari sejarah Abad Pertengahan tatkala Italia berjuang menghalau musuh-musuhnya dengan sistem perbentengan yang kuat, begitulah tulis Sindhunata (Kompas, 6/7/2021). Antara bertahan dan menyerang atau pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi, kedua hal itu sama pentingnya.