Gol ”Hattrick” Pajak dan Rasio yang ”Tengkes”
Pada 2023 penerimaan pajak kembali tumbuh menembus target. Namun, rasio perpajakan rendah, bahkan terendah di ASEAN.
Kalau pajak adalah seorang pemain bola, saat ini ia sudah berlari-lari keliling lapangan, sembah sujud, dan mendapat pelukan bertubi-tubi dari pemain lain. Bagaimana tidak, sudah tiga tahun berturut-turut, setoran pajak selalu berhasil melampaui target alias mencetak hattrick.
Ini tentu kabar baik, mengingat pajak sangat penting bagi negara. Ibarat gaji atau penghasilan, jika pajak seret, belanja macet, utang pun bengkak. Semua sendi kehidupan bernegara pun amburadul. Itu mengapa kinerja pajak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 merupakan angin segar.
”Penerimaan pajak ini istilahnya kita hattrick. Tiga kali gol berturut-turut sejak 2021 sampai 2023, semuanya di atas 100 persen (dari target). Ini akhir perjalanan sejak pandemi yang ditutup dengan husnul khatimah (akhir yang baik),” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers APBN Kita, di Jakarta, Selasa (2/1/2024).
Baca Juga: APBN 2023, Pemerintah Tidak Lagi Berutang untuk Bayar Utang
Kilas balik ke tahun 2020, setoran pajak sempat jeblok akibat pandemi. Saat itu, pajak tumbuh minus 19,6 persen atau hanya mencapai 89,4 persen dari target. Rasio perpajakan (tax ratio) pun anjlok ke 8,33 persen dari 9,77 persen pada 2019, jauh di bawah level ideal negara berkembang sebesar 15 persen.
Tak butuh lama, pada 2021, setoran pajak kembali tumbuh positif 19,3 persen, terbantu oleh efek basis pertumbuhan yang rendah di tahun sebelumnya. Bahkan, untuk pertama kalinya dalam 12 tahun, capaian pajak berhasil melampaui target, yaitu 104 persen di atas target APBN 2021.
Pada 2022, penerimaan pajak kembali tembus target untuk kedua kalinya, yakni 115,6 persen di atas target. Saat itu, pajak selamat berkat harga komoditas dunia yang naik tinggi, hingga tumbuh dua digit sebesar 34,3 persen. Kinerja pajak juga terbantu oleh Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) jilid II dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menambah setoran pajak.
Lampaui target
Capaian yang tinggi itu meletakkan basis pertumbuhan yang sulit diulang. Pemerintah pun ragu prestasi 2022 bisa terjadi lagi sehingga memasang target pajak yang konservatif di APBN 2023 sebesar 4,8 persen. Apalagi, saat itu muncul banyak risiko yang bisa menekan perekonomian.
Namun, tak disangka, penerimaan pajak 2023 kembali melampaui target untuk ketiga kalinya. Setoran pajak mampu melampaui batas konservatif dan tumbuh 8,9 persen sebesar Rp 1.869,2 triliun, alias 102,8 persen di atas target.
”Kita awalnya mengira tidak mungkin penerimaan masih bisa positive growth sesudah melonjak dua tahun berturut-turut. Ternyata, meski target sudah direvisi ke atas pun, kita masih bisa di atas itu,” kata Sri Mulyani.
Akan tetapi, lepas dari gol hattrick yang dicapai, rasio perpajakan ( tax ratio) masih saja rendah.
Target penerimaan juga berhasil dilewati tanpa berkah momentum ”temporer”, seperti ledakan harga komoditas, pengampunan pajak, dan kenaikan tarif PPN, sebagaimana tahun 2022. Tidak ada pula efek basis pertumbuhan rendah yang mendongkrak kinerja pajak seperti tahun 2021.
Menurut Sri Mulyani, kinerja pajak 2023 didorong oleh peningkatan pengawasan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap wajib pajak terdaftar. Pemerintah juga mengoptimalkan perluasan basis pajak, terutama di sektor ekonomi digital, serta membenahi pelayanan pajak bagi masyarakat.
Merosot
Lepas dari hattrick yang dicapai, rasio perpajakan masih sangat rendah. Selama sembilan tahun pemerintahan Joko Widodo, rasio perpajakan tidak pernah mencapai 11 persen. Ekonomi terus tumbuh, tetapi penerimaan pajak naik lebih lambat.
Rasio perpajakan adalah persentase penerimaan perpajakan (termasuk bea dan cukai) terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Semakin tinggi nilainya, semakin mampu suatu negara melakukan pembangunan dengan sumber daya sendiri tanpa bergantung pada utang.
Baca Juga: Rasio Pajak Masih Rendah, Upaya Cegah Kebocoran Diperkuat
Pada 2023, rasio perpajakan adalah 10,21 persen, turun dari 2022 sebesar 10,39 persen. Selama tiga tahun berturut-turut, 2019 sampai dengan 2021, rasio pajak bahkan sempat merosot ke satu digit, terendah sepanjang sejarah. Berturut-turut rasionya adalah 9,77 persen pada 2019, 8,33 persen pada 2020, dan 9,12 persen pada 2021.
Peneliti Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan, meski kinerja pajak tahun lalu cukup baik dan di atas ekspektasi, rasio perpajakan Indonesia masih tetap sangat rendah dibandingkan dengan negara lain yang sepantaran.
Terendah di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, rasio perpajakan Indonesia termasuk paling rendah. Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), rata-rata rasio perpajakan ASEAN pada 2022 adalah 13,6 persen.
Indonesia ada di posisi terendah bersama Laos yang rasio pajaknya sebesar 10,39 persen pada 2022. Ini di bawah rata-rata kawasan.
Indonesia ada di posisi terendah bersama Laos yang rasio pajaknya sebesar 10,39 persen pada 2022. Ini di bawah rata-rata kawasan.
Rasio perpajakan Indonesia masih kalah dari Kamboja (20,2 persen), Vietnam (15,8 persen), Thailand (15,5 persen), dan Filipina (15 persen). Tak hanya di ASEAN, di dunia pun, RI termasuk negara dengan tax ratio terendah.
”Tax ratio yang sangat rendah ini salah satunya didorong oleh informalitas ekonomi yang masih sangat tinggi. Walau saat ini penerimaan pajak kita sudah memenuhi target APBN, masih banyak yang perlu kita benahi,” kata Riefky.
Pengampunan pajak
Akibat informalitas ekonomi yang tinggi itu, jumlah wajib pajak yang terdaftar dan memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) masih sangat rendah. ”Sebagian besar pekerja kita ada di sektor informal yang tidak berkontribusi ke penerimaan negara. Solusi utamanya memang menurunkan angka informalitas itu,” ujarnya.
Isu kebocoran pajak juga masih menjadi masalah krusial dalam upaya mengerek rasio perpajakan. Program Pengampunan Pajak pada 2016 sejauh ini tidak memberikan efek kenaikan rasio pajak untuk jangka menengah-panjang.
Itu terlihat dari capaian rasio pajak yang terus berkutat di level 8-10 persen seusai program pengampunan pajak. Pada 2016, rasio perpajakan sempat menyentuh 10,36 persen, tetapi langsung anjlok ke 9,89 persen pada 2017. Pada 2018, rasionya sedikit naik ke 10,24 persen. Lantas pada 2019, rasionya turun lagi ke 9,76 persen untuk kemudian anjlok sepanjang pandemi.
Isu kebocoran pajak juga masih menjadi masalah krusial dalam upaya mengerek rasio perpajakan.
Sri Mulyani mengatakan, dengan kenaikan penerimaan pajak yang tumbuh kuat tiga tahun berturut-turut, tax buoyancy ikut naik di atas angka 1. Tax buoyancy adalah elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Nilai tax buoyancy di angka 1 artinya setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menyumbang 1 persen kenaikan penerimaan pajak. Semakin tinggi nilainya, semakin besar kenaikan penerimaan pajak yang bisa disumbangkan oleh setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi bawah tanah
Sejak 2021, tax buoyancy Indonesia di atas angka 1, yaitu 1,94 pada 2021 dan 1,92 pada 2022. Pada 2023, tax buoyancy diperkirakan 1,26. Pemerintah belum merilis capaian tahun lalu. ”Dengan buoyancy itu, dari sisi rasio penerimaan pajak terhadap PDB juga diharapkan akan semakin meningkat,” katanya.
Pemerintah juga berusaha melakukan ekstensifikasi pajak guna mengejar wajib pajak baru. Salah satunya, dengan mengintegrasikan nomor induk kependudukan (NIK) dan NPWP. Langkah itu diyakini bisa menyentuh wilayah abu-abu pajak yang selama ini tersembunyi lewat shadow economy atau ”ekonomi bawah tanah”.
Baca Juga: Tantangan Rumit Mengerek Penerimaan Pajak
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, hingga akhir 2023 pemerintah sudah memadankan 59,88 juta NIK menjadi NPWP. Sebanyak 55,92 juta NIK dipadankan otomatis oleh sistem dan 3,92 juta NIK secara mandiri oleh wajib pajak.
”Masih ada 12,5 juta wajib pajak yang belum mengintegrasikan NIK dengan NPWP-nya. Kami imbau bagi wajib pajak segera memadankan. Waktu yang tersedia masih sampai Juli 2024,” ujarnya.