Disparitas harga jual elpiji subsidi dan elpiji nonsubsidi membuat warga beralih ke elpiji subsidi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Persoalan distribusi elpiji 3 kilogram atau subsidi semakin tampak dan mencuat ke permukaan. Dari tahun ke tahun, tingkat migrasi pengguna dari elpiji nonsubsidi ke elpiji subsidi semakin tinggi. Hal itu juga yang membuat pemerintah dan PT Pertamina (Persero), sejak 2023, mulai mendata konsumen. Hanya mereka yang terdaftar nomor induk kependudukannya yang bisa membeli elpiji 3 kg, terutama di tingkat subpenyalur/pangkalan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, pada 2020-2022, realisasi penyaluran elpiji subsidi meningkat rata-rata kenaikan mencapai 4,5 persen. Sementara penyaluran elpiji nonsubsidi menurun rata-rata 10,9 persen. Pada 2023, dari total 8,6 juta ton realisasi elpiji, 8,03 juta ton di antaranya adalah elpiji 3 kg. Artinya, secara proporsi, elpiji ”melon” dominan dengan persentase mencapai 93,3 persen.
Berdasarkan data Pertamina dalam rapat di Komisi VII DPR RI, pada 14 Juni 2023, tren penyaluran harian elpiji subsidi meningkat dari sekitar 23.200 ton per hari pada Januari 2021 menjadi 26.000 ton per hari pada Januari 2023. Sebaliknya, penjualan elpiji nonsubsidi rumah tangga merosot dari sekitar 1.900 ton per hari pada Januari 2021 menjadi 1.300 ton per hari pada Januari 2023.
Dalam rapat itu juga disebutkan bahwa pendorong kondisi tersebut adalah disparitas harga jual elpiji subsidi dan elpiji nonsubsidi di penyalur/agen. Pada Januari 2021, selisih harga elpiji nonsubsidi dengan elpiji subsidi ialah Rp 7.333 per kg, tetapi kemudian terus meningkat hingga mencapai Rp 13.500 per kg pada Juli 2023.
Infografik Nilai Subsidi BBM dan Elpiji 3 Kilogram 2009-2022
Selama ini, berdasarkan regulasi, baik peraturan presiden maupun peraturan menteri ESDM, harga jual eceran (HJE) elpiji 3 kg di titik serah atau agen/penyalur adalah Rp 4.250 per kg atau Rp 12.750 per tabung. Sejak 2008 hingga sekarang, harga itu tak berubah. Adapun di pangkalan, harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan oleh pemerintah daerah (pemda) masing-masing.
Sementara itu, harga jual elpiji 5,5 kg dan 12 kg, lantaran bukan barang subsidi, ditentukan oleh Pertamina, mengacu pada harga gas acuan kontrak (CP) Aramco. Artinya, harga jualnya akan dipengaruhi dinamika harga gas internasional.
Catatan Kompas, harga elpiji 12 kg di tingkat agen pada 2015 ialah Rp 134.000 per tabung. Sekitar delapan tahun berselang, atau per 22 November 2023, untuk Pulau Jawa-Bali, juga di tingkat agen, harga elpiji 12 kg ialah 192.000 per tabung.
Adapun harga isi ulang Bright Gas elpiji 5,5 kg, di minimarket di Jabodetabek, saat ini, ialah Rp 105.000 dan Bright Gas elpiji 12 kg Rp 218.000 per tabung. Bandingkan dengan harga elpiji 3 kg, yang jauh lebih terjangkau, meski sudah di atas HET daerah masing-masing. Di tingkat pengecer atau warung-warung, di Jabodetabek, harga isi ulang elpiji 3 kg berkisar Rp 19.000-Rp 21.000 per tabung.
Terus melebarnya disparitas harga antara elpiji nonsubsidi dan elpiji subsidi membuat migrasi ke elpiji ”melon” semakin tidak terhindarkan. Cerita warga yang mulai meninggalkan elpiji nonsubsidi dan beralih ke ”melon” nyata di tengah-tengah masyarakat.
Secara moril, warga mampu yang membeli elpiji 3 kg, yang notabene barang subsidi dan diperuntukkan hanya bagi masyarakat miskin, mungkin bisa dipersoalkan. Namun, kenyataannya tidak ada aturan yang dilanggar. Sebab, sistem distribusi yang bersifat terbuka, sejak dulu, membuat elpiji 3 kg dapat dibeli oleh siapa saja, dari kalangan mana saja.
Pemerintah berulang kali menekankan elpiji 3 kg hanya diperuntukkan bagi warga tidak mampu. Namun, selama tidak ada regulasi yang tegas untuk mengaturnya, celah ketidaktepatan sasaran selalu terbuka. Selain itu, kondisi ini juga rentan penyalahgunaan lewat pengoplosan. Tulisan ”Hanya untuk Masyarakat Miskin” yang terpampang di tabung nyatanya bukan penghalang untuk bermigrasi.
Tulisan ”Hanya untuk Masyarakat Miskin ” yang terpampang di tabung nyatanya bukan penghalang untuk bermigrasi.
Secara rasional, warga akan mencari energi yang harganya lebih murah. Apalagi, pascapandemi Covid-19, kenaikan inflasi lebih cepat dibandingkan rata-rata pertumbuhan upah minimum. Harga-harga kebutuhan pokok juga terus meningkat.
Di sisi lain, meski tumbuh positif, konsumsi masyarakat dalam kondisi rapuh. BPS mencatat, pada triwulan III-2023, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,06 persen secara tahunan, melemah dibandingkan dengan triwulan II-2023, yang 5,22 persen dan dibandingkan triwulan III-2022, yaitu 5,39 persen. Suatu kondisi yang tidak disangka oleh pemerintah (Kompas, 8/11/2023).
Tidak sederhana
Sekilas, upaya pembenahan distribusi elpiji 3 kg sederhana, yakni mengarahkan komoditas yang tadinya dijual secara bebas menjadi terarah kepada golongan tak mampu atau miskin. Namun, praktiknya penuh tantangan, tetapi bukan mustahil dilakukan.
Elpiji 3 kg, yang juga energi hasil konversi dari minyak tanah, sudah menjadi komoditas penting bagi banyak kalangan, khususnya bagi para pelaku usaha mikro, karena dikenal praktis dan ekonomis. Pembenahan tata kelolanya semakin rumit tatkala setiap rantai pasoknya menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang.
Bukan satu-dua kali wacana penerapan distribusi tertutup atau berbasis pada orang—bukan komoditas—disuarakan pada komoditas elpiji 3 kg. Dengan cara itu, kebocoran penyaluran diyakini bisa ditekan. Namun, nyatanya belum juga bisa diterapkan.
Oleh karena itu, upaya pendataan yang dilakukan pemerintah dan Pertamina, meskipun belum ketat, pantas diapresiasi. Namun, yang perlu menjadi catatan ialah kepastian dan tenggat hingga kebijakan kewajiban terdata (NIK) untuk membeli elpiji 3 kg sepenuhnya diterapkan dan diberlakukan dengan ketat.
Perlu ada kemauan politik yang kuat. Jangan sampai, apa yang terjadi pada rencana pembatasan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, yang disubsidi pemerintah, terulang. Penggunaan sistem digital untuk pendataan konsumen, lewat Subsidi Tepat Pertamina, sudah dilakukan. Namun, penerbitan perpres yang akan mengatur kriteria penerima Pertalite tidak jelas kelanjutannya.
Lebih-lebih, sekitar 77 persen kebutuhan elpiji nasional dipenuhi dengan impor.
Mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto, pada 2022, elpiji menjadi salah satu jenis energi yang riskan mengalami krisis. Berapa pun kebutuhan nasional akan dipenuhi karena, jika tidak, bisa terjadi kekacauan. Kas negara ataupun Pertamina bisa kian terbebani. Substitusinya mesti terus dicari.