”Montase” Perdagangan
”Montase” perdagangan bakal mewarnai Indonesia di tengah pesta demokrasi dan penyerahan tongkat kepemimpinan lama ke baru.
Sektor perdagangan tengah merepresentasikan satu wajah dua muka. Di dalam negeri, harga barang dan jasa serba naik. Di luar negeri, kemitraan dagang antarnegara semakin mengotak dan restriksi dagang kian marak.
Kondisi itu bak montase atau gambar dengan makna baru yang terbentuk dari potongan beberapa gambar yang ditempel dalam satu wadah. ”Montase” perdagangan itu menjadi ”menu” penutup pada 2023 sekaligus ”menu” utama pada 2024.
Isu utama yang mencuat di sektor perdagangan dalam negeri Indonesia adalah kenaikan harga pangan. Hal itu terutama terjadi baik akibat kenaikan biaya produksi, perubahan iklim, maupun dampak kenaikan harga bahan baku impor.
Beras medium, misalnya, yang harga rata-rata nasional tertingginya terjadi pada Oktober 2023, yakni Rp 13.210 per kilogram (kg). Harga tersebut naik 16,24 persen secara tahunan dan 17,49 persen. Faktor penyebab kenaikan harga beras adalah penurunan produksi akibat La Nina dan El Nino serta kenaikan biaya produksi padi. Biaya produksi padi meningkat, antara lain, akibat kenaikan harga pupuk, benih, bahan bakar minyak, sewa tanah, dan tenaga kerja.
Tak mengherankan jika pada Maret 2023, pemerintah menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan harga eceran tertinggi (HET) beras baru. HPP gabah petani dinaikkan dari Rp 4.200 per kg menjadi Rp 5.000 per kg. HET beras di tingkat konsumen dipatok naik dari Rp 9.450 per kg menjadi Rp 10.900-Rp 11.800 per kg bergantung zonasi.
Di dalam negeri, harga barang dan jasa serba naik. Di luar negeri, kemitraan dagang antarnegara semakin mengotak dan restriksi dagang kian marak.
Gula pasir atau konsumsi juga senasib. Produksi gula nasional turun akibat dampak El Nino. Hal itu menyebabkan harga gula naik sejak Juli 2023. Harga rata-rata nasional gula konsumsi hingga pekan ketiga Desember 2023 mencapai Rp 17.260 per kg atau naik 17,26 persen secara tahunan.
Bukan hanya itu, harga gula dunia juga naik dibarengi dengan depresiasi nilai tukar rupiah. Hal itu membuat perusahaan swasta dan milik negara yang diminta mengimpor 1 juta ton gula untuk cadangan gula pemerintah kesulitan mendatangkan gula itu.
Mau tidak mau, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menaikkan harga acuan penjualan (HAP) gula di tingkat konsumen menjadi Rp 16.000-Rp 17.000 per kg bergantung wilayah per Oktober 2023. Sebelumnya pada Agustus 2023, pemerintah telah mematok HAP gula itu Rp 14.500-Rp 15.500 per kg.
Sekitar tiga bulan menjelang akhir 2023, kenaikan harga beras dan gula itu dibarengi dengan lonjakan harga cabai rawit, merah, bawang, serta telur dan daging ayam ras. Gejolak harga sejumlah komoditas pangan itu diperkirakan akan berlanjut hingga Mei 2023.
Hal itu disebabkan oleh empat faktor musiman yang bakal terjadi secara berurutan. Pertama, perayaan Natal 2023 dan Tahun baru 2024. Kedua, masa pemilihan umum (pemilu) yang akan berlangsung pada Februari 2024.
Ketiga, pola musiman kenaikan harga gabah dan beras pada panen musim tanam (MT) I. Bapanas memperkirakan panen raya padi MT I bakal mundur dari Maret-April menjadi Mei-Juni akibat dampak El Nino. Keempat, periode Ramadhan dan Lebaran pada Maret-April 2024.
Dengan begitu, pemerintah perlu benar-benar menyiapkan cadangan pangan yang harganya mudah bergejolak seturut pola musiman itu. Peran dan kehadiran Bapanas yang diperkuat Perum Bulog dan ID Food yang mendapat mandat menyiapkan 11 komoditas cadangan pangan pemerintah perlu diperkuat. Hal itu perlu dibarengi dengan peningkatan produksi pangan yang dapat dibudidayakan di dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor.
Baca juga: Maraton Pangan
Arus besar perubahan
Sementara itu, terkait perdagangan internasional, kinerja ekspor Indonesia mulai turun seiring dengan penurunan harga komoditas ekspor unggulan. Komoditas unggulan itu adalah minyak sawit, batubara, besi dan baja, serta nikel. Untungnya penurunan kinerja ekspor itu terjadi pada nilai ekspor bukan volume.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-November 2023 mencapai 221,96 miliar dollar AS atau turun 12,47 persen secara tahunan. Dalam periode perbandingan yang sama, volume ekspor nonmigas naik 6,92 persen menjadi 612,42 juta ton.
Positifnya, kinerja ekspor Indonesia ke depan akan semakin ditopang hilirisasi. Hilirisasi itu, antara lain, mencakup industri besi dan baja, gasifikasi batubara, bauksit, tembaga, pupuk, gula dan bioetanol, serta integrasi nikel, baterai kendaraan listrik, dan kendaraan listrik.
Kinerja ekspor Indonesia ke depan akan semakin ditopang hilirisasi. Program hilirisasi juga menumbuhkan investasi.
Program hilirisasi itu turut menjadi penopang pertumbuhan investasi. Kementerian Investasi mencatat, nilai realisasi investasi untuk hilirisasi pada Januari-September 2023 sebesar Rp 266 triliun. Hilirisasi itu mencakup lima sektor, yakni mineral (nikel, bauksit, dan tembaga) Rp 151,7 triliun; pertanian (industri minyak sawit dan oleochemical) Rp 39,5 triliun; kehutanan (industri kertas dan bubur kertas) Rp 34,8 triliun; minyak dan gas (industri petrokimia) Rp 31,6 triliun; dan ekosistem kendaraan listrik berasal (industri baterai kendaraan listrik) Rp 8,4 triliun.
Kendati begitu, Indonesia perlu memerhatikan diversifikasi ekspor yang cenderung stagnan. Kajian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menunjukkan, dalam kurun waktu 12 tahun, rata-rata pangsa pasar ekspor Indonesia mencapai 75 persen terfokus pada 13 negara tujuan utama. Dari persentase itu, sebesar 62 persen di antaranya bergantung pada China, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, India, dan Malaysia.
Baca juga: Ekspor RI Bakal Melambat di Tengah Stagnasi Diversifikasi Pasar
Selain itu, dalam 12 tahun terakhir, ekspor Indonesia justru semakin terpusat pada pasar China. Hal itu tidak terlepas dari hilirisasi besi dan baja, serta nikel yang didominasi investor China. Produk-produk besi dan baja, serta nikel yang telah memiliki nilai tambah tinggi banyak diekspor ke ”Negeri Tirai Bambu”.
Ketergantungan yang tinggi pada ekspor ke satu negara dan produk tertentu menjadikan kinerja perdagangan rentan terhadap guncangan eksternal. Apalagi di tengah arus perubahan atau pergeseran perdagangan dunia dan restriksi dagang yang semakin menguat.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan, volume perdagangan dunia pada 2023 dan 2024 masing-masing tumbuh 0,8 persen dan 3,3 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 dan 2024 masing-masing diperkirakan 2,6 persen dan 2,5 persen.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan perdagangan semakin melambat adalah kedekatan geopolitik. Sejak 2022 hingga 2023, telah terjadi friend-shoring atau pergeseran referensi perdagangan bilateral negara-negara berdasarkan kedekatan dan posisi politik yang sama. Para pelaku perdagangan dunia semakin terfregmentasi atau terkotak-kotak.
Baca juga: Arus Besar Pengubah Peta Dagang Global
Perang di Ukraina, sanksi terhadap Rusia, dan pengurangan risiko dalam hubungan perdagangan Amerika Serikat-China memainkan peran penting dalam pembentukan tren utama perdagangan bilateral. Faktor-faktor ini tidak hanya berdampak langsung pada perekonomian terlibat, tetapi juga secara tidak langsung memengaruhi dinamika perdagangan negara-negara lain.
Hasil kajian Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menunjukkan, per triwulan III-2023, tingkat ketergantungan Ukraina terhadap Uni Eropa (UE) semakin besar, yakni tumbuh 10 persen secara tahunan. Adapun ketergantungan Rusia terhadap China meningkat 8 persen secara tahunan.
UNCTAD juga mencatat, ketergantungan Rusia terhadap UE dan Amerika Serikat terhadap China masing-masing berkurang 6,4 persen dan 1,8 persen secara tahunan. Adapun ketergantungan China terhadap AS dan UE terhadap Rusia masing-masing turun 1 persen dan 0,7 persen.
Dalam periode perbandingan 16 Oktober 2022-15 Oktober 2023, terdapat 193 pembatasan perdagangan barang. Dari total tersebut, dua di antaranya berupa restriksi ekspor sebanyak 99 pembatasan (51 persen) dan impor 93 pembatasan (48 persen). Total nilai pembatasan barang ekspor dan impor itu sebesar 337,1 miliar dollar AS, meningkat dibandingkan medio Oktober 2021-medio Oktober 2022 yang mencapai 278 miliar dollar AS.
Baca juga: WTO: Restriksi Dagang Makin Meningkat
Restriksi ekspor pangan, pakan, dan pupuk juga masih cukup banyak, yakni 75 pembatasan dari 122 tindakan serupa yang muncul sejak perang Rusia-Ukraina pada Februari 2022. Negara-negara yang membatasi ekspor komoditas-komoditas itu, antara lain, Rusia dan Ukraina (pupuk dan gandum); India, Mesir, dan Kirgistan (beras); serta Maroko (bawang, tomat, dan kentang).
”Montase ” perdagangan tersebut bakal hadir di tengah pesta demokrasi dan penyerahan tongkat kepemimpinan lama ke baru. Jangan sampai lengah.
Sementara itu, dalam periode perbandingan yang sama, langkah-langkah fasilitasi perdagangan justru turun dari 406 upaya menjadi 303 upaya. Total nilai barang yang diurai hambatan perdagangannya tersebut juga turun dari 1.160,5 miliar dollar AS menjadi 977,2 miliar dollar AS.
Di tengah situasi perdagangan global itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Kamis (4/1/2024), menyatakan, Kemendag menargetkan nilai ekspor nonmigas RI pada 2024 tumbuh 2,5-4,5 persen secara tahunan menjadi 297-302,7 miliar dollar AS. Target tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang sebesar 289,76 miliar dollar AS.
Komoditas ekspor nonmigas yang bakal menjadi unggulan pada tahun ini adalah CPO, batubara, turunan nikel, manufaktur, dan hasil hutan. Target tersebut akan dicapai melalui sejumlah upaya, di antaranya adalah memperluas dan memperkuat pasar ekspor nontradisional, serta mengoptimalkan perjanjian dagang.
Sejumlah capaian positif perdagangan dalam dan luar negeri memang telah berhasil diraih pada tahun lalu. Namun, beberapa tantangan internal dan eksternal masih bakal membayangi tahun ini. Di dalam negeri, harga barang dan jasa serba naik. Di luar negeri, kemitraan dagang antarnegara semakin mengotak dan restriksi dagang kian marak.
”Montase” perdagangan tersebut bakal hadir di tengah pesta demokrasi dan penyerahan tongkat kepemimpinan lama ke baru. Jangan sampai lengah.
Baca juga: TEI 2023 Bukukan Transaksi Rp 472,93 Triliun