Upaya meningkatkan kinerja ekspor pada 2024 semakin menantang. Perseteruan geopolitik dan restriksi dagang yang semakin menguat pada tahun ini akan membayangi perdagangan global tahun depan.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Trade Expo Indonesia atau TEI 2023 yang digelar secara luring dan daring berhasil membukukan transaksi 30,5 miliar dollar AS atau Rp 472,93 triliun. Transaksi tersebut didominasi para pembeli dari negara mitra dagang utama, seperti India, Malaysia, dan China.
TEI ke-38 yang bertema ”Sustainable Trade for Global Economic Resilience” ini digelar secara luring pada 18-22 Oktober 2023 dan secara daring pada 18 Oktober-18 Desember 2023. Pameran tersebut dikunjungi 38.929 orang dari dalam dan luar negeri.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Didi Sumedi, Rabu (20/12/2023), mengatakan, transaksi TEI 2023 sebesar 30,5 miliar itu melebihi transaksi TEI 2022 yang mencapai 11 miliar dollar AS. Transaksi terbesar berasal dari penandatangan nota kesepahaman (MoU) kontrak dagang senilai total 24,37 miliar dollar AS.
Kemudian disusul transaksi harian dan penjajakan bisnis Rp 6,11 miliar dollar AS dan 20 juta dollar AS. Negara mitra dagang RI yang mencatatkan transaksi terbesar adalah India sebesar 7,58 miliar dollar AS, Malaysia 6,32 miliar dollar AS, China 5,59 miliar dollar AS, Arab Saudi 2,86 miliar dollar AS, dan Filipina 926 juta dollar AS.
”Komoditas unggulan Indonesia yang paling banyak diminati dalam TEI 2023 adalah batubara, produk kimia dan kimia organik, aneka jenis produk olahan, dan elektronik,” ujarnya dalam penutupan TEI 2023 yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Transaksi TEI 2023 sebesar 30,5 miliar itu melebihi transaksi TEI 2022 yang mencapai 11 miliar dollar AS.
Menurut Didi, capaian TEI 2023 itu menunjukkan kepercayaan negara-negara mitra dagang utama terhadap produk-produk Indonesia masih tinggi di tengah perlambatan pertumbuhan perdagangan global. Hal itu juga tergambar dari kinerja ekspor nonmigas Indonesia pada tahun ini.
”Nilai ekspor nonmigas memang turun dari waktu ke waktu seiring dengan penurunan harga komoditas dunia dan depresiasi rupiah terhadap dollar AS. Kendati begitu, volume ekspor nonmigas Indonesia masih tetap tumbuh,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-November 2023 mencapai 221,96 miliar dollar AS atau turun 12,47 persen secara tahunan. Dalam periode perbandingan yang sama, volume ekspor nonmigas naik 6,92 persen menjadi 612,42 juta ton.
Pada 2024, lanjut Didi, Kemendag tetap akan berupaya meningkatkan kinerja ekspor meskipun tantangan perdagangan global semakin berat. Banyak lembaga dunia, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia turun.
”Namun, khusus perdagangan barang global, WTO justru memperkirakan volumenya naik. Ini merupakan anomali karena biasanya jika pertumbuhan ekonomi dunia turun, perdagangannya juga turun,” katanya.
WTO memperkirakan volume perdagangan dunia pada 2023 dan 2024 masing-masing tumbuh 0,8 persen dan 3,3 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 dan 2024 masing-masing diperkirakan 2,6 persen dan 2,5 persen.
Dalam laporan terbarunya, Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) dan WTO menyebutkan, perseteruan geopolitik dan restriksi dagang semakin menguat pada tahun ini. Kondisi itu akan membayangi perdagangan global tahun depan.
Pada 12 Desember 2023, UNCTAD memproyeksikan nilai perdagangan dunia pada 2023 turun 4,5 persen secara tahunan menjadi 31 triliun dollar AS. Perdagangan barang akan terkontraksi sebesar 2 triliun dollar AS atau 7,5 persen dan perdagangan jasa akan turun 500 miliar dollar AS atau 7 persen.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan perdagangan semakin melambat adalah kedekatan geopolitik. Sejak 2022 hingga 2023, telah terjadi friend-shoring atau pergeseran referensi perdagangan bilateral negara-negara berdasarkan kedekatan dan posisi politik yang sama. Pada saat yang sama, diversifikasi mitra dagang justru mulai turun.
Perang di Ukraina, sanksi terhadap Federasi Rusia, dan pengurangan risiko dalam hubungan perdagangan Amerika Serikat-China memainkan peran penting dalam pembentukan tren utama perdagangan bilateral. Faktor-faktor ini tidak hanya berdampak langsung pada perekonomian terlibat, tetapi juga secara tidak langsung memengaruhi dinamika perdagangan negara-negara lain.
Hasil kajian UNCTAD per triwulan III-2023 menunjukkan, tingkat ketergantungan Ukraina terhadap Uni Eropa (UE) semakin besar, yakni tumbuh 10 persen secara tahunan. Adapun kertegantungan Rusia terhadap China meningkat 8 persen secara tahunan.
UNCTAD juga mencatat, ketergantungan Rusia terhadap UE dan Amerika Serikat terhadap China masing-masing berkurang 6,4 persen dan 1,8 persen secara tahunan. Sementara ketergantungan China terhadap AS dan UE terhadap Rusia masing-masing turun 1 persen dan 0,7 persen.
”Mempertimbangkan kondisi itu, prospek perdagangan pada 2024 masih belum pasti, namun secara keseluruhan pesimistis,” sebut laporan itu.
Sementara itu, pada 18 Desember 2023, WTO menunjukkan restriksi dagang masih marak dilakukan negara-negara anggota G20. Sejak 2015, restriksi perdagangan baru yang diterapkan negara-negara anggota WTO rata-rata tumbuh 9,8 persen per bulan, sedangkan upaya memfasilitasi perdagangan hanya tumbuh rata-rata 8,8 persen per bulan.
Mempertimbangkan kondisi itu, prospek perdagangan pada 2024 masih belum pasti, namun secara keseluruhan pesimistis.
Selain itu, pembatasan impor G20 yang sudah berlangsung lama tidak menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Pada pertengahan Oktober 2023, barang-barang perdagangan senilai 2,287 triliun dollar AS atau 11,8 persen dari total impor G20 terdampak pembatasan impor yang diterapkan oleh negara-negara G20 sejak 2009.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, laporan ini memprihatinkan karena menunjukkan bahwa tren kebijakan sejumlah negara G20 bergerak ke arah yang salah. Beberapa negara bahkan membatasi ekspor pangan, pakan, dan pupuk sehingga berkontribusi terhadap kelangkaan, ketidakstabilan harga, dan ketidakpastian.
”Sebagai negara dengan perekonomian terdepan di dunia, negara-negara G20 harus mengurangi pembatasan perdagangan dan menahan diri untuk tidak memunculkan pembatasan baru. Dengan begitu, pasar global tetap terbuka dan dapat diprediksi, serta produk dapat mengalir ke tempat yang membutuhkan,” katanya.