KNKT : Sistem Keselamatan Kapal Roro Masih Bermasalah
Kecelakaan kapal didominasi insiden kebakaran yang disebabkan muatan barang. Salah satunya dipicu penanganan barang bahan berbahaya dan beracun yang belum dapat terdeteksi dari muatan barang lainnya.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penanganan bahan berbahaya dan beracun atau B3 pada sektor transportasi, khususnya pelayaran perlu mendapat perhatian khusus. Kesiapan sumber daya manusia dibutuhkan untuk menangani barang muatan B3.
Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menunjukkan, 221 kecelakaan pelayaran diinvestigasi selama 2007-2023. Mayoritas kecelakaan tergolong kapal terbakar (33 persen) dengan salah satu fokus penanganan terbesar pada kapal penumpang roll-on/roll-of atau ro-ro (mengangkut kendaraan dan penumpang). Sebagian besar kecelakaan itu mengakibatkan korban jiwa.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Sub Komisi Investigator Kecelakaan Pelayaran KNKT Anggiat PTP Pandiangan, di Jakarta, Kamis (14/12/2023), menyatakan, hasil investigasinya selama 2013-2023 menunjukkan, sumber kebakaran didominasi akibat muatan truk (53 persen). Truk-truk tersebut banyak mengangkut muatan berunsur B3, antara lain hidrogen peroksida.
“Perubahan sistem keselamatan kapal ro-ro dalam 10 tahun terakhir belum signifikan. Belum ada sistem pemeriksaan barang B3 di truk. Selama ini, respons tim pemadam di atas kapal juga kurang terampil,” kata Anggiat.
Tersimpan dalam plastik
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menambahkan, barang-barang B3 ini kerap ditemukan tersimpan dalam plastik. Hidrogen peroksida (H2O2), misalnya, zat kimia cair bertekstur lebih kental dari air yang biasanya dimanfaatkan sebagai disinfektan hingga obat.
“Kalau masuk di truk, kemudian pecah (wadahnya), tumpah kena kain, kayu bisa timbul api tanpa ada pemantiknya,” ujar Soerjanto.
Selama ini, kendalanya sopir truk yang mengangkut barang-barang berbahaya ini sering tak menginformasikan secara jujur pada petugas kapal atau bahkan tidak mengetahui apa yang diangkutnya.
Belum ada agen atau petugas bersertifikat khusus untuk menangani B3. “Untuk pengawasan di penyeberangan sulit, enggak mungkin truk dibongkar. Pengemudi juga tak mengetahui barang apa saja yang dibawa,” tambahnya.
Persoalan lain adalah bahwa daftar nama barang B3 di daftar internasional berbeda dengan istilah yang dikenali masyarakat. Apalagi tiap daerah memiliki penyebutan yang berbeda-beda.
Salah satu contohnya, air raja (aqua regia) merupakan campuran asam klorida dan asam nitrat. Kandungan air raja, menurut Soerjanto, sangat berbahaya.
Persoalan lain adalah bahwa daftar nama barang B3 di daftar internasional berbeda dengan istilah yang dikenali masyarakat.
Masyarakat Jawa Timur banyak mengenalnya sebagai air keras. Sementara di Sumatera Selatan, masyarakat mengenalnya sebagai asam cuko yang untuk sejumlah warga di daerah lain mengenalnya sebagai bahan untuk kuah pempek.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, regulasi mengenai B3 tak diimbangi dengan pengawasan yang ketat di lapangan. "Pengawasan sangat lemah, kalau sudah kejadian (kecelakaan) baru diperketat," katanya.
Pelatihan agen ekspedisi
Guna mengatasi perbedaan istilah yang tampaknya remeh, tetapi dapat berdampak fatal jika kesalahan penanganan, maka KNKT memberi perhatian khusus untuk mengelola B3. Sebab, pihaknya tak dapat melarang truk membawa muatan-muatan berbahaya, sehingga penanganan khusus harus dilakukan.
KNKT telah bekerja sama dengan KSOP Kelas I Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah untuk melatih para agen ekspedisi mengenai B3. Mereka perlu memeriksa secara perseorangan apakah barang yang diterima tergolong berbahaya.
Harapannya, mereka dapat mengemas, memberi tanda, seperti stiker untuk untuk memudahkan mengelompokkan serta menempatkan barang-barang B3. Agen yang bersertifikat ini dapat menjadi perpanjangan tangan pemerintah guna mendeteksi muatan berbahaya.
“Kami juga inginkan agen-agen tersebut harus memiliki tenaga yang bersertifikat untuk B3 atau dangerous goods,” ujar Soerjanto.
Kendaraan listrik
Kendaraan listrik yang penetrasinya tengah didorong pemerintah juga menjadi sorotan. Sebab, baterai yang digunakaan kendaraan tersebut juga tergolong B3, tetapi belum ada prosedur khusus dalam pengangkutannya.
Ketua Umum Asosiasi Pemilik Ferry dan Pelabuhan Indonesia (INFA) JA Barata mengemukakan, ada dua isu yang perlu ditangani. Kedua isu itu adalah kendaraan listrik dan tata cara pemeriksaan kecelakaan.
Peran tiap pemangku kepentingan perlu diperjelas, siapa yang melakukan apa. “Ini perlu kita bahas bersama. Enggak menunjuk siapa yang salah (saat kecelakaan terjadi), tapi butuh kejelasan, termasuk soal kendaraan listrik,” tuturnya (Kompas.id, 28/11/2023).