Ekonomi Indonesia Diprediksi Melambat Sampai Dua Tahun ke Depan
Bank Dunia memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh di level 4,9 persen pada periode 2024-2026. Perlambatan ini disebabkan oleh melambatnya kinerja ekspor serta ketidakpastian arah kebijakan pemerintah pascapemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian ekonomi global dan domestik diperkirakan bakal melambatkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dari sisi domestik, ketidakpastian iklim politik akibat Pemilihan Umum 2024 juga bisa memperlambat momentum reformasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bank Dunia memprediksi, sampai dua tahun ke depan, ekonomi Indonesia akan tertahan di bawah 5 persen.
Hal itu disebutkan dalam laporan terbaru Bank Dunia bertajuk ”Indonesia Economic Prospects” edisi Desember 2023. Dalam laporan itu, Bank Dunia menyebutkan risiko perlambatan ekonomi Indonesia akan semakin intensif dalam beberapa tahun mendatang meski secara umum perekonomian domestik tetap terhitung kuat.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Perekonomian Indonesia diproyeksi akan tumbuh rata-rata 4,9 persen per tahun selama periode 2024-2026. Itu di bawah rentang rata-rata pertumbuhan 5 persen yang selalu dicapai Indonesia dalam dua dekade terakhir, kecuali saat pandemi Covid-19.
Baca juga: Proyeksi Tahun 2024, Ekonomi Dua Cerita
Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Habib Rab, Rabu (13/12/2023), mengatakan, perlambatan itu lebih banyak disebabkan oleh melambatnya kinerja ekspor akibat perekonomian global yang semakin tidak pasti.
Bank Dunia pun memprediksi defisit transaksi berjalan secara bertahap akan naik menjadi 1,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2026. Sebagai perbandingan, sejak triwulan II tahun 2023, neraca transaksi berjalan sudah mengalami defisit setelah tujuh bulan mengalami surplus.
Pada triwulan II-2023, defisit transaksi berjalan adalah 2,2 miliar dollar AS atau 0,6 persen dari PDB. Defisit itu menurun pada triwulan III-2023 menjadi sebesar 900 juta dollar AS atau 0,2 persen dari PDB.
”Ini karena surplus neraca perdagangan juga terus menyusut. Harga komoditas semakin rendah, pertumbuhan global melemah, ekspor komoditas terhambat, sementara impor jasa kemungkinan meningkat. Prospek ekonomi Indonesia, meski masih kuat, akan menghadapi beberapa risiko downturn yang cukup signifikan,” katanya di Jakarta.
Sebagai gambaran, per Oktober 2023, surplus neraca perdagangan Indonesia tercatat sebesar 3,48 miliar dollar AS. Meski masih surplus, jumlahnya terus menurun dari bulan ke bulan seiring dengan melemahnya kinerja ekspor.
Ketidakpastian akibat Pemilu 2024 juga bisa memperlambat momentum reformasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Habib menambahkan, tekanan eksternal lain juga akan datang dari fragmentasi geopolitik dan ancaman krisis iklim, yang akan semakin menambah tekanan pada kinerja perdagangan. Rantai pasok global akan terdisrupsi dengan adanya peralihan rute perdagangan (trade rerouting) berdasarkan aliansi dan sikap geopolitik.
”Kalau untuk investasi langsung dari luar (foreign direct investment/FDI), Indonesia kemungkinan masih akan stabil. Secara jangka pendek, investasi portofolio di sektor keuangan memang ’kabur’ karena dampak kebijakan moneter negara maju, tetapi untuk jangka panjang keyakinan investor FDI terhadap kondisi ekonomi Indonesia masih terjaga,” tutur Habib.
Berdampak ke fiskal
Kinerja perdagangan yang terganggu ini otomatis akan mengurangi penerimaan negara dan memperketat posisi fiskal Indonesia. Ekonom Senior Bank Dunia Wael Mansour menilai, sejauh ini kondisi fiskal Indonesia masih bisa dikelola dengan penuh kehati-hatian. Hal itu tampak dari penerimaan negara yang masih tumbuh dan belanja yang tidak berlebihan.
Menurut Wael, secara umum, pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang hati-hati itu akan menekan defisit fiskal tahun 2023 jauh lebih rendah dari target, yaitu 2,8 persen.
”Di satu sisi mungkin ini pengelolaan yang prudent, tetapi bagaimana dengan elemen pertumbuhan ekonominya? Kondisi fiskal Indonesia masih sehat, tetapi kita butuh lebih banyak program dan kebijakan yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai kehati-hatian fiskal di sisi lain menjadi trade off untuk pertumbuhan,” papar Wael.
Baca juga: Ekonomi RI Melambat, Konsumsi Tumbuh Tetapi Rapuh
Risiko tidak hanya datang secara eksternal. Laporan Bank Dunia menunjukkan, dari dalam negeri, ketidakpastian iklim politik akibat Pemilihan Umum 2024 juga bisa memperlambat momentum reformasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Hal itu akan bergantung pada presiden dan wakil presiden yang akan terpilih. Bank Dunia memprediksi, jika pemimpin mendatang tidak melanjutkan program reformasi struktural di bidang ekonomi yang saat ini sudah berjalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa turun di bawah 5 persen pada dua tahun mendatang.
Namun, jika reformasi dilanjutkan dan diperluas ke sektor perdagangan, Indonesia bisa saja tumbuh sesuai potensinya, yakni di kisaran 6 persen pada periode 2024-2026.
Jika pemimpin mendatang tidak melanjutkan program reformasi struktural di bidang ekonomi yang saat ini sudah berjalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa turun di bawah 5 persen pada dua tahun mendatang.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, proyeksi Bank Dunia mengenai pertumbuhan ekonomi di level 4,9 persen hanya berbeda tipis dengan target pemerintah yang ada di kisaran 5 persen. ”Masih sejalanlah dengan target pemerintah. Kita juga akan ada kegiatan pemilu, konsumsi rumah tangga biasa akan naik,” katanya.
Menurut dia, apa pun hasil pemilu mendatang, reformasi struktural ekonomi akan tetap dilanjutkan. ”Kita lagi memproses Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) di parlemen. Jadi, kisi-kisinya sudah ada untuk presiden mendatang. Reformasi ini sudah dimasukkan juga dalam RPJPN,” ujar Airlangga.