WTO: Restriksi Dagang Makin Meningkat
Dalam setahun terakhir, WTO mencatat terdapat 99 restriksi ekspor baru. Restriksi tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan melambat.
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah restriksi atau pembatasan ekspor dan impor di negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO semakin meningkat. Kondisi itu memperburuk perdagangan global tahun ini dan berpotensi menghambat laju pertumbuhan sektor tersebut tahun depan.
WTO, Kamis (7/12/2023), waktu setempat, melaporkan, dalam periode perbandingan 16 Oktober 2022-15 Oktober 2023, terdapat 193 pembatasan perdagangan barang. Dari total tersebut, dua di antaranya berupa restriksi ekspor sebanyak 99 pembatasan (51 persen) dan impor 93 pembatasan (48 persen).
Total nilai pembatasan barang ekspor dan impor itu sebesar 337,1 miliar dollar AS, meningkat dibandingkan medio Oktober 2021-medio Oktober 2022 yang mencapai 278 miliar dollar AS. Pembatasan ekspor dilakukan untuk mengamankan stok dan kebutuhan dalam negeri, sedangkan pembatasan impor terutama guna melindungi produk dan industri domestik.
Restriksi ekspor pangan, pakan, dan pupuk juga masih cukup banyak, yakni 75 pembatasan dari 122 tindakan serupa yang muncul sejak perang Rusia-Ukraina pada Februari 2022. Negara-negara yang membatasi ekspor komoditas-komoditas itu, antara lain, Rusia dan Ukraina (pupuk dan gandum); India, Mesir, dan Kirgistan (beras); serta Maroko (bawang, tomat, dan kentang).
Sementara itu, dalam periode perbandingan yang sama, langkah-langkah fasilitasi perdagangan justru turun dari 406 upaya menjadi 303 upaya. Total nilai barang yang diurai hambatan perdagangannya tersebut juga turun dari 1.160,5 miliar dollar AS menjadi 977,2 miliar dollar AS.
Restriksi ekspor pangan, pakan, dan pupuk juga masih cukup banyak, yakni 75 pembatasan dari 122 tindakan serupa yang muncul sejak perang Rusia-Ukraina pada Februari 2022.
Baca juga: Restriksi Dagang Masih Membayangi
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, di tengah upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global pascapandemi Covid-19, fasilitasi perdagangan sangat penting dilakukan. Melalui fasilitasi dagang itu, semua negara dapat mengakses berbagai jenis komoditas global, terutama pangan, pakan, dan pupuk.
Fasilitasi perdagangan juga dapat menekan biaya ekspor dan impor, serta menjadi alat berharga melawan tekanan inflasi. Oleh karena itu, restriksi ekspor komoditas-komoditas penting, termasuk pangan, perlu dihapus.
”Setiap negara anggota WTO perlu berperan memperkuat perekonomian dunia dengan bekerja secara kolektif memperkuat sistem perdagangan multilateral,” ujarnya melalui siaran pers.
Dalam laporan tersebut, WTO juga menyebutkan restriksi dan proteksionisme perdagangan menjadi salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Dua faktor lain yang memengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi adalah konflik geopolitik, serta perlambatan ekonomi China dan Amerika Serikat.
WTO memperkirakan volume perdagangan global pada 2023 hanya tumbuh 0,8 persen atau turun dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,7 persen. Kemudian pada 2024, volume perdagangan dunia diperkirakan tumbuh 3,3 persen. Namun, jika restriksi dan proteksionisme perdagangan semakin meningkat, pertumbuhan perdagangan tersebut akan melambat.
Baca juga: Perdagangan Dunia Tumbuh 0,8 Persen
Kebijakan di Indonesia
Dalam laporan itu, WTO mencatat sejumlah upaya yang dilakukan Indonesia untuk memfasilitasi perdagangan. Indonesia telah menyederhanakan ketentuan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen barang impor untuk meningkatkan arus barang yang dibutuhkan industri dalam negeri.
RI juga mempermudah ekspor ke Jepang melalui dokumen ketentuan asal barang baik dalam bentuk kertas maupun elektronik. Hal itu dalam konteks Perjanjian Kemitraan Ekonomi Indonesia-Jepang (IJEPA).
Di sektor perlindungan produk dan industri dalam negeri, RI menginisiasi investigasi antidumping terhadap impor film nilon dari China, Taiwan, dan Thailand; impor benang filamen sintetik dari China; dan impor ubin keramik dari China. Adapun dari sisi hambatan perdagangan, WTO mencatat RI menerapkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel dan bauksit, serta menaikkan bea keluar komoditas mineral, seperti konsentrat tembaga, besi laterit, timbal, dan seng.
Baca juga: Larangan Ekspor Bauksit Berpotensi Timbulkan Proteksionisme Negara Lain
Sementara itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, restriksi ekspor pangan, terutama beras, menyebabkan Indonesia kesulitan mendapatkan komoditas pangan pokok itu. Hal itu terjadi di tengah penurunan produksi beras nasional pada 2023 dan peningkatan kebutuhan beras untuk bantuan pangan bagi keluarga miskin.
Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, restriksi ekspor beras yang dilakukan sejumlah negara juga berpengaruh terhadap impor beras yang dilakukan Indonesia. Ada tiga negara yang menerapkan pembatasan ekspor beras, yakni India (20 Juli 2022-31 Desember 2023), Bangladesh (29 Juni 2022-31 Desember 2023), dan Rusia (30 Juni 2022-31 Desember 2023).
Dari ketiga negara itu, proporsi impor beras Indonesia dari India turun setelah negara tersebut melarang ekspor jenis beras tertentu. Adapun larangan ekspor beras yang dilakukan Bangladesh dan Rusia tidak berdampak langsung terhadap RI karena keduanya bukan negara asal impor utama beras RI.
”Pada September 2023 proporsi beras asal India hanya mencakup 0,39 persen dari total impor beras Indonesia. Sementara impor beras Indonesia dari Vietnam dan Thailand semakin besar, masing-masing 74,06 persen dan 24,35 persen karena RI mencari pasar impor beras lain, terutama ke kedua negara itu,” katanya.
Baca juga: Stok Beras Tertekan Penurunan Produksi dan Restriksi
Bapanas akan terus mendorong terwujudnya ketahanan pangan berbasis peningkatan produksi di dalam negeri guna mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengaku Indonesia sempat kesulitan mendapatkan beras impor dari sejumlah negara, termasuk India. Kalaupun bisa mendapatkannya dari negara lain, jumlahnya terbatas dan harganya cukup tinggi.
Oleh karena itu, ke depan, Indonesia mau tidak mau harus meningkatkan pangan yang dapat diproduksi di dalam negeri, terutama beras. Dengan begitu, cadangan beras pemerintah dapat dipenuhi melalui serapan dalam negeri.
”Untuk mengurangi pengadaan beras asal luar negeri, Kementerian Pertanian telah berupaya mempercepat produksi pangan. Salah satunya melalui gerakan nasional tambah tanam padi seluas 586.000 hektar di 10 provinsi sentra produksi padi,” katanya.
Ke depan, lanjut Arief, Bapanas akan terus mendorong terwujudnya ketahanan pangan berbasis peningkatan produksi di dalam negeri guna mengurangi ketergantungan terhadap impor. Hal itu selaras dengan semangat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Merujuk data BPS, Bapanas menyebutkan, tren volume impor beberapa komoditas pangan selain beras dalam dua tahun terakhir turun. Volume impor kedelai turun dari 2,47 juta ton pada 2020 menjadi 2,32 juta ton pada 2020. Dalam periode perbandingan yang sama, volume impor bawang putih juga turun dari 594.000 ton menjadi 575.000 ton.
Baca juga: Jalan Impor Pangan